Laman

Refkesi Perlindungan Tahun 2010 dan Prospek 2011


1. Latar belakang
Perlindungan tanaman hortikultura merupakan bagian integral dari sistem produksi hortikultura. Peran perlindungan tanaman dalam mendukung keberhasilan pengembangan hortikultura sangat besar, terutama dalam mempertahankan produktivitas melalui upaya penekanan kehilangan hasil akibat serangan OPT dan meningkatkan kualitas hasil produk yang aman konsumsi, meningkatkan daya saing produk hortikultura sesuai standar yang dipersyaratkan dalam perdagangan, serta menciptakan suatu sistem produksi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Dalam mendukung pengembangan hortikultura, peran perlindungan tanaman sangat penting, terutama dalam hal; 1) pengamanan produksi, 2) peningkatan mutu produk yang aman konsumsi, 3) pemberdayaan petani yang mandiri dalam penguasaan dan penerapan teknologi PHT dan ramah lingkungan, serta 4) memberikan dukungan terhadap upaya penerapan budidaya tanaman sehat dan ramah lingkungan dan peningkatan daya saing produk hortikultura untuk akses pasar domestik dan global.
Kegiatan-kegiatan tersebut ditujukan guna mencapai tujuan efisiensi usahatani yang bermutu dan berdaya saing yaitu 1) penguatan pengamatan OPT, 2) penguatan pengen-dalian OPT melalui penerapan budidaya tanaman sehat untuk mendukung penerapan usahatani yang baik sesuai SOP-GAP, 3) penguatan penerapan dan pemasyarakatan PHT melalui SLPHT, 4) penguatan pemantauan residu pestisida, dan 5) penguatan pemenuhan persyaratan SPS-WTO melalui surveillance, koleksi dan identifikasi OPT dan apabila memungkinkan mengembangan daerah bebas OPT (Pest Free Area/PFA) dan/atau tempat/ lokasi produksi bebas OPT (Pest Free of Production Site/PFPS atau Pest Free Places of Production).

2. Capaian tahun 2010

a. Penguatan Pengamatan OPT
Di bidang pengamatan, penguatan Sistem Informasi Management (SIM) OPT yang telah dirancang sejak 2003 menjadi dasar dalam penghimpunan data, analisis dan evaluasi hasil-hasil pementauan serangan OPT. Sesuai Renstra 2009 – 2014 dan laporan dan hasil analisis serangan OPT oleh UPTD BPTPH (32 provinsi), capaian luas serangan OPT hortikultura 2010 dapat dicapai < 5 % dari luas panennya. Munculnya beberapa OPT yang endemis dan OPT baru, dapat dikendalikan secara baik oleh jajaran perlindungan tanaman di daerah.

b. Penguatan pengendalian OPT dan penerapan teknologi ramah lingkungan
Pengendalian OPT diarahkan dalam rangka penanggulangan OPT melalui gerakan-gerakan pengendalian OPT endemis atau OPT prioritas masing-masing wilayah/daerah dan pemanfaatan agens hayati dan cara-cara pengendalian secara biologi yang berorientasi kepada pengelolaan budidaya tanaman sehat dan ramah lingkungan, serta koordinasi-koordinasi penanggulangan OPT.
Dalam membantu masalah OPT yang timbul di lapangan,jajaran perlindungan tanaman melakukan gerakan pengendalian OPT bersama petani/kelompok tani. OPT yang sering menimbulkan masalah di lapangan dan telah ditangani oleh jajaran perlindungan tanaman di daerah dan berhasil menanggulangi OPT endemis pada komoditas utama hortikultura.

Di samping itu, timbulnya serangan OPT baru di beberapa daerah seperti kutu putih pada papaya, virus kuning kacang panjang, dan virus kuning pada cabai, dapat ditanggulangi dengan menerapkan prinsip-prinsip PHT, teknologi ramah lingkungan, dan gerakan pengendalian melibatkan petani.
Pengendalian OPT secara biologi dengan pemanfaatan agens hayati dan biopestisida juga dilakukan karena merupakan salah satu komponen pengendalian yang didasarkan kepada prinsip utama PHT, yaitu budidaya tanaman sehat, telah banyak diterapkan petani di sentra-sentra produksi, khususnya sayuran.
Pengembangan penerapan agens hayati dan biopestisida dalam rangka pengendalian OPT ramah lingkungan tidak berdampak negatif bagi lingkungan, hewan, dan manusia. Di samping itu memiliki keuntungan, bila dibandingkan dengan teknik pengendalian lain terutama pestisida, yaitu: 1) tidak menimbulkan persisten; 2) aman; dan 3) ekonomis.
Beberapa jenis agens hayati yang telah dikembangkan dan menjadi pilihan cara pengendalian oleh petani hortikultura dan diaplikasikan petani di lapangan, antara lain:

a. Trichoderma sp., Gliocladium sp., Pseudomonas fluorescens, merupakan patogen antagonis, digunakan untuk mengendalikan penyakit terutama patogen tular tanah dan sering diaplikasikan sebagai kompos,
b. Beauveria bassiana, Metarrhizium anisopliae, Bacillus thuringiensis, Sl-NPV, Se-NPV merupakan entomopatogen, digunakan untuk mengendalian larva/ulat berbagai OPT,
c. Trichogramma sp., merupakan parasitoid larva,
d. PGPR, terdiri dari Bacillus, Pseudomonas, Rhizobium dll., yang digunakan untuk memperkuat ketahanan tanaman.

Sedangkan tanaman yang telah dikembangkan sebagai biopestisida, adalah: selasih, nimba, Mellaleucha, akar tuba, sirsak, dan lain-lain. Biopestisida merupakan hasil ekstrak bagian tanaman yaitu : daun, biji/buah, dan/atau akar.
Pengembangan penerapan agens hayati dan biopestisida telah banyak dilakukan di tingkat petani, terutama untuk perbanyakan massalnya. Di beberapa daerah dengan pembinaan Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP), telah banyak dibentuk kelompok-kelompok tani pengguna agens hayati, yaitu Sumatera Barat - POS IPAH (Pos Informasi Pelayanan Agens Hayati) 73 kelompok, Jatim-PPAH (Pusat Pelayanan Agens Hayati) 210 kelompok, Jawa Tengah- PUSPAHATI (Pusat Pelayanan Agens Hayati) 99 kelompok, dan Jambi - POS IPAH 10 kelompok, dan provinsi lain yaitu Provinsi Sumsel 12 kelompok, Kaltim 3 kelompok, Sumut 4 kelompok, Bali 2 kelompok, Banten 1 kelompok, Bengkulu 6 kelompok dan DIY 36 kelompok, Sulut 3 kelompok, NTB 7 kelompok, NAD 27 kelompok, Jabar 4 kelompok, Lampung 12 kelompok, Gorontalo 15 kelompok, dan Maluku 3 kelompok, dengan total sebanyak 527 kelompok.

c. Penguatan Penerapan dan pemasyarakatan PHT
Sesuai dengan semangat UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, pengendalian OPT harus dilaksanakan dengan sistem PHT. Keberhasilan penerapan PHT melalui metodologi Sekolah Lapangan PHT (SLPHT) terletak pada partisipasi petani secara kelompok dalam menerapkan PHT dan menerapkan prinsip budaya tanaman sehat/ramah lingkungan dengan menggunakan agens hayati dan pestisida nabati.
Di subsektor hortikultura, penerapan PHT diarahkan dalam mendukung upaya penerapan budidaya yang baik dan benar sesuai prinsip Good Agricultural Practices (GAP) dan penggunaan pestisida yang baik dan benar dengan residu minimum. Kedua hal tersebut, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penerapan SOP-GAP. Selanjutnya melalui sertifikasi produk dan pemantauan sistem mutu yang dilaksanakan secara baik, akan dapat meningkatkan daya saing produk, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor.

Pemasyarakatan PHT pada budidaya salak yang dilaksanakan sesuai SOP-GAP di DI Yogyakarta (Sleman) dan Jawa Tengah (Magelang) sejak tahun 2009 - saat ini, salak dari dua daerah ini telah diterima pasar/diekspor ke China.

d. Penguatan pemantauan residu pestisida
Penerapan teknologi pengendalian ramah lingkungan, tidak hanya penggunaan dan pemanfaatan agens hayati, tetapi juga penggunaan pestisida secara baik dan benar dengan residu minimal sesuai prinsip GAP (Good Agricultural Practices) yang diwujudkan dalam prinsip GPP (Good Pesticide Practices). Prinsip GPP menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam penerapan GAP, antara lain mengatur berbagai teknik/cara-cara :
• Memilih pestisida : yang tepat jenis, yang mudah terurai (tidak persisten),
• Pengaturan cara aplikasi pestisida yang baik : waktu, dosis, sasaran, jangka waktu sebelum panen, alat dan teknik aplikasi yang tepat,
• Pengambilan sampel dan analisis residu pestisida, dsb.

Kandungan residu pestisida di atas Batas Maksimum Residu (BMR) merupakan faktor pembatas ditolaknya produk untuk ekspor dan berdampak negatif terhadap kesehatan konsumen, dan pencemaran lingkungan. Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura secara rutin melakukan pemantauan residu pestisida dan pemberdayaan masyarakat petani agar penggunaan pestisida dilakukan secara baik dan benar dengan residu minimum.

Kegiatan yang telah dilakukan adalah :
• Pengambilan sampel pada berbagai komoditas di lahan budidaya maupun di pasar-pasar yang menjajakan produk hortikultura impor dan lokal.
• Analisis residu pestisida dilakukan di Laboratorium Pestisida, Balai Pengujian Mutu Produk Pertanian, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan.
• Pembinaan/bimbingan teknis penggunaan pestisida secara baik dan benar dengan residu minimum, diarahkan dalam mendukung penerapan SOP-GAP,
• Penyediaan sarana Laboratorium Pestisida.

Hasil pengambilan sampel produk buah-buahan dan sayuran dari pusat-pusat perdagangan dan analisis residunya oleh Balai Pengujian Mutu Produk Pertanian-Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, menunjukkan bahwa produk hortikultura tersebut masih aman konsumsi dan residu pestisida yang terdeteksi masih di bawah BMR yang ditetapkan.

e. Penguatan Pemenuhan Persyaratan SPS-WTO
Secara internasional, peraturan dibidang kesehatan tanaman tergambar dalam kesepakatan mengenai sanitary and phytosanitary yang ditetapkan WTO (SPS-WTO). Menunjuk pada ketentuan SPS-WTO tersebut, maka dalam perdagangan internasional, produk pertanian termasuk hortikultura dari suatu negara dapat ditolak masuknya ke negara lain karena alasan mengandung OPT berbahaya.
Terkait dengan hal tersebut diatas, peran perlindungan hortikultura akan menjadi semakin vital, tidak saja untuk mengamankan produksi hasil, tetapi juga mendukung terjaminnya mutu produk yang akan diekspor, yang memang bebas cemaran OPT. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meraih maksud tersebut adalah dengan mengembangkan sinergisme sistem perlindungan hortikultura yang lebih diarahkan pada upaya pemenuhan persyaratan SPS-WTO. Sinergisme tersebut menyangkut upaya mensosialisasikan/memasyarakatkan persyaratan SPS-WTO, penyusunan standard dan pelaksanaan surveillance, koleksi dan identifikasi OPT dan pengembang-an daerah bebas OPT (Pest Free Area / PFA), daerah/tempat lokasi produksi bebas OPT (Pest Free Production Site / PFPS) dan atau daerah prevalensi OPT rendah (Area Low of Pest Prevalence / ALPP).

Langkah yang telah ditempuh sampai 2010 (sejak 2008) adalah membangun sinergi kerja sistem perlindungan tanaman sesuai persyaratan SPS-WTO di 12 provinsi (17 LPHP) untuk melaksanakan kegiatan surveillnas, koleksi, dan identifikasi OPT pada komoditas unggulan ekspor.

Salah satu keberhasilan melalui kegiatan sinergisme ini adalah diterimanya produk salak Indonesia oleh China, sementara itu untuk manggis telah dapat dinegosiasikan untuk pangsa pasar ekspor ke Australia, dengan syarat dipenuhinya syarat tambahan yaitu penanganan OPT pasca panen. Upaya penanganan pasca panen telah dipenuhi Indonesia dan saat ini dalam kajian Biosecurity Australia. Untuk produk mangga telah dapat dinegosiasikan untuk menembus pasar Jepang, dengan syarat dipenuhinya persyaratan penanganan hama lalat buah dengan teknologi VHT (Vapour Heat Treatment). Dengan bantuan Pemerintah Jepang dalam kerangka kerjasama Indonesia Japan Economic Partnership (IJEPA), Indonesia pada tahun 2010 ini memperoleh bantuan 2 mesin VHT skala laboratorium dan kelengkapan lainnya, untuk mendesinfestasi (membunuh) lalat buah pada buah mangga gedong gincu yang akan diekspor setelah tahun 2013.

Kunci keberhasilan pelaksanaan kegiatan ini pada umumnya adalah penerapan PHT berbasiskan partisipasi petani dalam menerapkan prinsip budidaya tanaman sehat sesuai SOP-GAP dan upaya-upaya memenuhi persyaratan perdagangan global (SPS-WTO) untuk akses pasar lokal dan internasional, yaitu tersedianya Pest List yang dihasilkan melalui surveilans yang dipersyaratkan, tersedianya koleksi OPT, dan hasil identifikasi OPT yang bersifat ilmiah (scientific justifiable). Sampai dengan tahun 2010, telah disiapkan Pest List pada 26 jenis komoditas. Pest List ini akan terus dilakukan update setiap tahun sesuai permintaan Negara pengimpor produk.
Sedangkan untuk pengembangan daerah prevalensi rendah OPT (Area Low of Pest Prevalence/ALPP), masih terus disempurnakan operasionalisasinya di lapangan.
Dengan upaya-upaya yang ditempuh tersebut, kegiatan perlindungan tanaman diharapkan dapat mencapai hasil yang efektif, efisiensi dan berdaya saing serta memenuhi persyaratan perdagangan.

f. Penguatan Kerjasama Luar Negeri
Pada tahun 2010, kerjasama luar negeri dalam penanganan OPT yang dilaksanakan oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura dilakukan dalam rangka memperkuat basis teknis dan ilmiah di bidang pengelolaan OPT. Kerjasama tersebut dilaksanakan dalam memperkuat akses pasar produk horikultura.
Kerjasama yang dilaksanakan tersebut, yaitu :
• Pemerintah Australia (ACIAR, Australia Centre Institute for Agriculture Reseach) dalam pengelolaan hama lalat buah melalui kegiatan surveilans, koleksi dan identifikasi lalat buah, pengelolaan OPT manggis dan penyakit layu pisang.
• Kerjasama bilateral dengan pemerintah Jepang dalam konteks kerjasama ekonomi (Economic Partnership, dalam IJ-EPA / Indonesia Japan Economic Partnership Agreement) telah disepakati bahwa pemerintah Jepang bersedia memberikan hibah 2 unit mesin Vapor Heat Treatment (VHT) beserta kelengkapannya dan pembangunan Laboratorium VHT melalui kegiatan Improvement of Thermal Technique Against Fruit Flies on Fresh Mango.

Kerjasama ini akan meletakkan dasar ilmiah desinfestasi (mematikan) lalat buah pada buah mangga yang dipersyaratkan Jepang. Kerjasama ini dirintis mulai 2009, dilaksanakan tahun 2010 dan berakhir pada tahun 2013. Setelah tahun 2013, diharapkan buah mangga gedong gincu akan dapat diekspor ke Jepang.

3. Prospek tahun 2011
Berdasarkan capaian kegiatan tahun 2010 tersebut, kegiatan perlindungan hortikultura tetap memfokuskan kegiatan dalam : 1) pengamanan produksi, 2) peningkatan mutu produk yang aman konsumsi, 3) pemberdayaan petani yang mandiri dalam penguasaan dan penerapan PHT dan penerapan teknologi ramah lingkungan, serta 4) memberikan dukungan terhadap upaya penerapan budidaya tanaman sehat dan ramah lingkungan dan peningkatan daya saing produk hortikultura untuk akses pasar domestik dan global.
Namun demikian, sesuai dengan program Direktur Jenderal Hortikultura, terutama pengembangan kawasan yang berintikan penerapan SOP-GAP secara komprehensif di lapangan, maka pada tahun 2011 Direktorat Perlindungan Hortikultura akan lebih memfokuskan kepada kegiatan nyata di lapangan sbb. :

a. Penyediaan dan penerapan teknologi ramah lingkungan dengan agens hayati dan pestisida dalam jumlah yang cukup di tingkat lapangan, diproduksi secara masal dan dimasyarakatkan penggunaannya di tingkat kelompok-kelompok pengguna agens hayati dan pestisida nabati yang dibina dan difasilitasi oleh LPHP (87 unit) tersebar di 32 UPTD BPTPH.
Pemasyarakatan penggunaan teknologi ini diyakini dapat menciptakan budidaya tanaman sehat dan ramah lingkungan, mengurangi penggunaan pestisida dan dapat mensubstitusi penggunaan bahan kimia anorganik.

b. Pemasyarakatan penggunaan bahan kimia anorganik (khususnya pestisida) secara baik dan benar sesuai prinsip Good Pesticide Practices (GPP).
Dengan sosialisasi dan pemasyarakatan penggunaan pestisida yang baik dan benar, diharapkan produk hortikultura aman konsumsi dan residu pada produk di bawah ambang batas (Minimum Residue Limits/MRLs atau Batas Maksimum Residu/BMR) yang ditetapkan WHO dalam Codex Alimantarius Commission (CAC). Kegiatan pemantauan residu pestisida agar residunya minimum, akan dilakukan melalui kegiatan sosialisasi, pemasyarakatan penggunaan, dan analisis residu pestisida.

c. Peningkatan kegiatan sinergisme sistem perlindungan tanaman dalam pemenuhan persyaratan SPS-WTO melalui surveilans, koleksi dan identifikasi pada komoditas unggulan ekspor di sentra produksi unggulan serta mengembangkan area prevalensi rendah OPT (ALPP) atau lokasi/tempat produksi bebas OPT (Pest Free Production Site / PFPS atau Pest Free Places of Production / PFPP) untuk OPT dan komoditas tertentu.
Kegiatan ini dilakukan untuk memperkuat basis/sandaran ilmiah dalam pemenuhan risk analysis yang dipersyaratkan / dimintakan oleh Negara pengimpor.

d. Melanjutkan upaya penerapan teknologi thermal treatment dengan mesin VHT (Vapor Heat Treatment) untuk penanggulangan OPT lain pada komoditas ekspor lain, di samping untuk penanggulangan lalat buah pada mangga. Di samping itu mendorong pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengelolaan mesin VHT di tempat-tempat pelabuhan keluar masuk produk hortikultura. Kerjasama dengan Pusat Karantina Tumbuhan akan ditingkatkan.

e. Melanjutkan upaya-upaya yang mendukung penerapan SOP-GAP komoditas unggulan di sentra-sentra produksinya melalui penerapan dan pemasyarakatan PHT dalam pola pemberdayaan dan partisipasi petani (SLPHT) serta pengembangannya. Di samping itu, kegiatan pengamatan dan pengendalian OPT tetap dilaksanakan untuk mendukung upaya pengamanan produksi dari serangan OPT.

f. Meningkatkan komunikasi dan koordinasi dengan para pakar dari perguruan tinggi dan lembaga penelitian terkait dalam wadah Komisi Perlindungan Tanaman (KPT) dan Kelompok-kelompok Kerja (Pokja) penanggulangan OPT. Peningkatan komunikasi dan koordinasi ini dilakukan untuk memperoleh saran, masukan, dan arahan yang bersifat teknis dalam pengendalian OPT.

g. Menyiapkan ketentuan, peraturan, norma dan standar teknis tentang perlindungan tanaman sebagai tindak lanjut dari diberlakukannya Undang-undang Hortikultura Nomor 13 Tahun 2010.

Di samping itu,
Perubahan Struktur dan Pejabat Ditlinhor, Akhir Tahun 2010, tepatnya tanggal 31 Desember 2010, Direktur Jenderal Hortikultura melantik Pejabat Es III dan IV baru di lingkungan Ditjen Hortikultura, salah satunya adalah Direktorat Perlindungan Hortikultura, yang beberapa waktu lalu juga ditetapkan Direktur baru di lingkungan Ditjen Hortikultura. Direktur Perlindungan Hortikultura saat ini adalah Bapak Ir. Soesilo, MSi.

Perubahan nama Direktorat dan Pemangku Jabatan Es III dan IV adalah sbb.:

1. Subdit Perlindungan Tanaman Buah - Kasubdit : Dr. Ir. Dwi Iswari teridiri dari,
- Seksi Teknologi : Ir. Anik Kustaryati
- Seksi Pengendalian OPT : Issusilaningtyas, UH., S.Sos

2. Subdit Perlindungan Tanaman Sayuran dan Tanaman Obat (sebelumnya dengan nama
Subdit Perlindungan Tanaman Sayuran) - Kasubdit : Ir. Cahyaniati, MSi. (sebelumnya Kasubdit Perlindungan Tanaman Buah),
- Seksi Teknologi : Endik Mulyadi, STP.
- Seksi Pengendalian OPT : Wita Khairia, SP., MSi.

3. Subdit Perlindungan Tanaman Florikultura (sebelumnya dengan nama Subdit
Perlindungan Tanaman Hias dan Biofarmaka) - Kasubdit : Ir. Siswanto Mulyaman(sebelumnya Fungsional POPT),
- Seksi Teknologi : Ir. Nadra Illiyina Khalid, MM.
- Seksi Pengendalian OPT : Ir. Medirena Railan,MM.

4. Subdit Dampak Iklim dan Persyaratan Teknis (sebelumnya Subdit Pengamatan,
Analisis dan Pelaporan) - Kasubdit : Ir. Ellen Elvinardewi,
- Seksi Pengelolaan Dampak Iklim : Ir. Irwan Adam
- Seksi Informasi dan Persyaratan Teknis : Ir. Ripah Karyatiningsih.

Di samping itu juga terjadi perubahan, dengan mutasi beberapa orang pejabat ke direktorat lain, yaitu :

1. Ir. Liliek Sri Utami, MSc., menjabat salah satu Kasubdit di Direktorat Tanaman
Florikultura,
2. Ir. Sulistio Sukamto, MSc, menjabat salah satu Kasubdit Pasca Panen Tanaman
Buah Terna, Dit. Budidaya dan Pasca Panen Buah
3. Ir. Kurnia Nur, menjabat salah satu Subbag di Bagian Perencanaan, Setditjen
Hortikultura.

Mohon dukungan dan kerjasama semua pihak dalam melaksanakan tugas pembangunan bidang perlindungan hortikultura.


Jakarta, 27 Desember 2010

Siswanto Mulyaman, POPT Ahli Madya,
Direktorat Perlindungan Hortikultura

Jumat, 17 Desember 2010

BELAJAR DARI KERUGIAN PETANI CABAI

Oleh : Irwan Adam 1), Siswanto Mulyaman 2)
1) Staf Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura
2) Fungsional Pengendali OPT (POPT) Madya, Direktorat Perlindungan Tanaman
Hortikultura


Belajar dari pengalaman terjadinya serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada komoditas strategis di beberapa daerah terutama yang berdampak kepada terganggunya pasokan kepada konsumen, sistem mitigasi dan pengelolaan OPT perlu terus menerus disosialisasikan kepada para pihak, sehingga timbul sikap kewaspadaan (awareness) dan cepat anggap (rapid respon) dari para pihak untuk mengambil langkah-langkah antisipasi dan terkoordinasi. Alasan terkait ketidaktahuan timbulnya serangan, gejala, sifat, karakteristik dan dampak serangan OPT, perlu dijawab dengan upaya mendudukan kembali kepada kewenangan dan tanggung jawab operasional pengendalian OPT sesuai peraturan yang ada.
Tulisan ini tidak bermaksud mencari-cari kesalahan, melainkan mencoba menjelaskan permasalahan yang muncul di lapangan baik langsung atau tidak langsung ikut berperan ”memicu” berkembangnya epidemi penyakit virus kuning dalam 5 tahun terakhir (2003 – 2007) di Indonesia. Dengan demikian pengelolaan OPT pada tanaman cabai ke depan makin baik, sehingga keberlangsungan agribisnis cabai berkelanjutan dan menguntungkan petani.

Pendahuluan
Manusia hidup di dunia tidak boleh berhenti untuk belajar baik melalui pendidikan formal di ruang kelas maupun dengan pertemuan tidak formal di bilik-bilik balai desa atau di alam terbuka, secara otodidak perorangan ataupun kumpul bersama teman di bawah bimbimingan guru. Tujuan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam rangka merubah sesuatu yang belum baik menjadi lebih baik, namun begitu belajar tidak hanya dari pengalaman orang yang sukses, tetapi bisa juga dari orang yang mengalami kegagalan guna mengetahui penyebab dan menghindari kegagalan tersebut supaya tidak terulang kembali, sehingga keberuntungan dapat diraih
Demikian pula kita bisa belajar dari kejadian buruk yang menimpa petani cabai akibat mewabahnya serangan penyakit virus kuning di hampir seluruh daerah sentra produksi dan pengembangan cabai di Indonesia, sehingga pada tahun 2007 kerugian petani tercatat Rp 20 Miliyar lebih. Musibah ini merupakan isyarat alam bagi petugas Deptan di pusat dan daerah untuk menjadikannya sebagai pelajaran atau bahan renungan, mengapa penyakit yang disebabkan oleh geminivirus yang awal serangannya pada tahun 2003 terbatas di Kabupaten Magelang – Provinsi Jawa Tengah, kini penyebaran dan luas serangannya sudah bertambah hampir seluruh daerah tanaman cabai di bumi Nusantara. Akibatnya, tidak hanya berdampak buruk terhadap ketersediaan cabai (rantai pasokan) di pasaran tidak lancar, yang kemudian memicu terjadinya harga yang tinggi, terutama menjelang hari-hari besar keagamaan dan nasional, juga prihatin terhadap kehidupan petani karena besarnya kerugian yang diderita akibat usahataninya mengalami gagal panen atau puso. Bahkan sebagian petani mengalami trauma untuk menanam cabai, lalu beralih usahatani pada komoditas pertanian lain.
Kata orang bijak, pengalaman adalah guru yang terbaik. Belajar dari kejadian tentang kurang berhasilnya petugas pertanian di pusat dan daerah dalam koordinasi penanggulangan serangan penyakit virus kuning pada tanaman cabai, hingga menimbulkan kerugian puluhan miliyar bagi petani. Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman buruk tersebut diharapkan menjadi bahan kajian berharga bagi petugas pertanian untuk pembinaan dan bimbingan para pelaku agribisnis cabai ke depan, sehingga hasil jerih payah dalam berusahatani mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga petani, dan kalaupun terserang OPT tidak sampai menimbulkan kerugian secara ekonomi.

Mengenal Gejala Serangan Virus Kuning
Ketika mulai hebohnya serangan virus kuning cabai di Jateng, DIY, dan Lampung Barat (2003-2004), Ditlintan Hortikultura telah mengingatkan daerah sentra produksi dan pengembangan cabai untuk waspada terhadap bahaya penyakit virus kuning cabai dan mengambil langkah operasional secara nyata dan koordinatif. Kurangnya tanggapan dan langkah operasional yang memadai dari semua pihak di daerah, menyebabkan penyebaran virus kuning cabai ini meluas ke seluruh daerah sentra produksi dan pengembangan cabai. Seyogyanya, sejak dini masalah ini dapat ditanggulangi melalui upaya pengendalian vektor dengan menerapkan teknologi yang ada dan telah dikenal petani dan pemberdayaan petani melalui sekolah-sekolah lapang PHT (SLPHT). Sayangnya respon para pihak terhadap serangan virus gemini ini masih kurang bahkan memandang tidak berpengaruh banyak terhadap produksi. Kurangnya awareness dan rapid response dari para pihak ini menyebabkan virus gemini terus berkembang dan potensial mengancam upaya pengembangan agribisnis cabai.

Pengalaman ini menunjukkan, banyak petugas lapang belum paham betul dengan gejala serangan virus kuning, sehingga di lapangan rancu dengan gejala virus lain pada cabai (Mosaic virus, virus keriting, kerupuk, dll). Akibatnya, laporan virus kuning yang masuk ke pusat juga relatif sedikit. Namun setelah dilakukan monitoring, pembinaan dan bimbingan dari pusat ke daerah, telah banyak daerah yang melaporkan serangan virus kuning.
Dari gejalanya, virus ini terjadi sejak di pembibitan sampai periode pertumbuhan vegetatif dan pembungaan. Gejala khas yang terlihat pada tanaman sakit di lapangan adalah klorosis atau kuning pucat antar vena daun, daun menguning cerah, daun melekuk ke atas atau ke bawah, daun meyempit, tanaman kerdil disertai pertumbuhan daun muda yang kecil-kecil banyak, bunga rontok, dan akhirnya tanaman tinggal ranting dan batang saja, kemudian mati. Namun di lapangan tidak semua daun menunjukkan kuning cerah, tergantung respon varietas, tinggi tempat dan agroklimatnya.
Tindakan korektif yang dinilai efektif menekan penularan penyakit lebih lanjut adalah pencabutan dan pemusnahan (eradikasi) tanaman sakit dan pengurangan infestasi vektor. Sebab bila dibiarkan hidup, tanaman tidak akan menghasilkan atau gagal panen (puso). Sedangkan bila gejala serangan baru terlihat saat berbunga, hasil panennya masih bisa diharapkan di atas 50 %.

Perkembangan Virus Kuning
Patogen penyebab penyakit virus kuning adalah Geminivirus “TYLCV” (Tomato Yellow Leaf Curl Virus). Penyakit dari group Begomovirus ini tidak ditularkan melalui biji, tetapi dapat menular melalui penyambungan dan tusukan kutu kebul (Bemisia tabaci) yang hingga kini diketahui merupakan penular efektif dari satu tanaman ke tanaman lain. Terlebih kutu kecil berwarna putih ini termasuk folifag menyerang berbagai jenis tanaman, antara lain tanaman hias, sayuran, buah-buahan, maupun tanaman liar dan gulma. Khusus tanaman budidaya yang menjadi inangnya meliputi, tomat, cabai, kentang, mentimun, terung, kubis,buncis, selada, bunga potong Gerbera, ubi jalar, singkong, kedelai, tembakau, dan lada sedangkan tanaman yang disukai adalah babadotan (Ageratum conyzoides). Pengendalian terhadap serangga vektor yang hanya mengandalkan pestisida kimia saja terbukti kurang efektif karena tubuhnya berlapis lilin, kemampuan terbang tinggi, juga diketahui relatif resisten terhadap pestisida kimia.
Melihat sejarah perkembangannya, penyakit ini cepat menyebar dari satu negara ke negara lain, sehingga penyebarannya di berbagai Negara di dunia tercatat sebagai berikut, di Asia 37 negara, Afrika 39 negara, Eropa 26 negara, Amerika 30 negara dan Oceania 14 negara. Awal infeksi geminivirus pada cabai dilaporkan di Mexiko tahun 1990 dan, Texas 1996, Thailand 1997, dan Indonesia 2003. Kurangnya kesadaran terhadap bahaya penyebaran penyakit yang ditularkan dengan lincah oleh serangga vektor dari tanaman ke tanaman dari daerah terserang ke daerah lain yang masih sehat, menyebabkan luas serangan dan daerah sebarannya meningkat cepat.
Di Indonesia. awal mula serangan virus kuning terjadi pada 2003 terbatas di Magelang, Jateng, Sleman, DIY, dan setelah 5 tahun terakhir (2003 – 2007) perkembangan virus kuning makin bertambah hingga 14 provinsi, meliputi NAD, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, Kaltim, Sulut, Maluku, Gorontalo, Irjabar. Luas tambah serangan virus kuning cabai pada tahun 2003 seluas 884 ha dan pada tahun 2007 meningkat tajam hingga mencapai 3.015,05 ha, terluas terjadi di Jateng 1.071,6 ha, NAD 404 ha dan Jabar 307 ha. Menurut laporan Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura (Ditlintan Hortikultura), bahwa total kerugian pada tanaman cabai akibat serangan virus kunig pada tahun 2007 tercatat lebih dari 20 Miliyar rupiah (harga cabai tingkat petani Rp 6.000/kg), terbesar terjadi di Jateng di atas 5 Miliyar rupiah, Jatim di atas 4 Miliyar rupiah dan Nad di atas 3 Miliyar rupiah.

Pokja Virus kuning
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura dengan daya dan kemampuan yang ada selama lima tahun terakhir telah berusaha maksimal untuk mensosialisasikan upaya penanggulangan penyakit virus kuning cabai setiap tahun anggaran dengan melibatkan instansi terkait di pusat dan daerah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan stakeholder bidang agribisnis sayuran, baik melalui pertemuan formal atau kegiatan non formal lainnya, yaitu meliputi kegiatan-kegiatan : (1) pertemuan Kelompok Kerja (Pokja) Nasional Penanggulangan Penyakit Virus Kuning Pada Tanaman Cabai (sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2008, telah dilaksanakan 6 kali), (2) pertemuan dan sosialisasi di daerah endemis (3 kali), (3) pembinanaan/bimbingan petugas dan monitoring di lahan petani daerah sentra dan pengembangan cabai, (4) penyebaran informasi pengenalan dan pengendalian virus kuning cabai dalam bentuk buku pedoman (3.000 eksp) dan leaflet (1.000 eksp), serta penulisan di koran Sinar Tani (2 kali) dan majalah bulanan Hortikultura (2 kali).
Pertemuan Pokja, menjadi forum andalan dalam menghimpun informasi teknologi dan mencari upaya pemecahan masalah virus kuning. Pada setiap pertemuan para pakar dari perguruan tinggi (IPB, UGM) dan lembaga penelitian (Balitsa-Lembang) dengan praktisi dari jajaran instansi terkait (Diperta/BPTPH), peserta dan narasumber terlibat dalam diskusi intensif memahami fenomena virus kuning cabai. Diskusi hasil-hasil penelitian dan kajian serta pengalaman yang bersifat terapan di lapangan, telah menjadi ”amunisi baru” bagi peserta daerah khususnya bagi daerah endemis virus kuning. Selanjutnya, masukan informasi ini kemudian menjadi bahan perjuangan peserta untuk mengendalikan virus kuning cabai di daerahnya masing-masing. Sampai-sampai Direktur Perlindungan Tanaman Hortikultura setiap kali mengingatkan peserta untuk mencermati diskusi dan memberi penekanan khusus (stressing) agar hasil-hasil Pokja ditindaklanjuti di daerahnya masing-masing. Hal yang diinginkan Direktur adalah menghilangkan kesan bahwa hasil-hasil Pokja tidak ada tindak lanjutnya di daerah. Kegiatan Pokja tidak semata pertemuan rutin tahunan, tetapi perlu tindak lanjut yang memadai dari jajaran perlindungan tanaman dan petani cabai di daerah untuk menerapkan teknologi yang direkomendasikan.

Pertemuan Pokja Virus Kuning Cabai

Rumusan Pokja pada tahun ke empat (2008) telah menghasilkan anjuran teknologi terapan pengendalian virus kuning dan langkah-langkah penerapannya sesuai dengan Pengendalian Hama terpadu (PHT). Bila petani mau melaksanakan rekomendasi pengendalian secara utuh dengan baik dan benar (mulai para tanam sampai dengan panen), hasilnya mampu menekan serangan virus kuning antara 60 – 80 %. Namun sayangnya, baru sebagian kecil petani di daerah endemis yang telah melaksanakan anjuran teknologi pengendalian virus kuning cabai. Hal ini mungkin terjadi karena daerah masih kurang antisipasi terhadap bahaya virus kuning, lemahnya koordinasi pengendalian antar petugas lapang di daerah dan belum seriusnya perhatian pemegang kebijakan terhadap kehilangan hasil akibat virus kuning cabai.

Tindakan antisipatif melalui pengaturan pola tanam
Tanaman cabai dikonsumsi dalam bentuk segar dan tidak dapat disubsitusi dengan bahan lain, maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang meningkat tiap tahun, ketersediaan tanaman cabai harus ada sepanjang tahun sebagaimana diatur dalam quota tanam. Pola pengelolaan quota ini menjadi kunci dari upaya pemenuhan ketersediaan produk cabai. Sayangnya, pengaturan tanam (quota tanam) sering tidak dipatuhi petani terutama saat harga tinggi di pasaran, petani seakan berlomba menanam cabai. Pada kondisi ini akan menyulitkan upaya pengendalian virus kuning di daerah serangan, karena siklus hidupnya tidak terputus sehingga baik inang virus, vektor dan inang vektor selalu ada.
Pemerintah dalam hal ini Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura, sesuai dengan tupoksi melaksanakan kebijakan di bidang perlindungan tanaman, yaitu sebagai fasilitator dan regulator baik kebijakan operasional maupun teknis dalam mendukung keberhasilan program pengembangan agribisnis hortikultura, dan bukan pihak yang bertindak langsung menangani di lapangan. Tanggung jawab di lapangan adalah menjadi tupoksi daerah yang memiliki kewenangan langsung : merencanakan, membina dan mengupayakan agar agribisnis cabai dapat meningkatkan dan mensejahterakan petani serta menyumbang pendapatan asli daerah (PAD). Oleh karena itu, pengelolaan budidaya melalui pewilayahan komoditas dan pengaturan pola tanam yang baik menjadi wewenang pemerintah daerah.
Langkah-langkah pengendalian virus kuning cabai
Teknologi pengendalian penyakit virus kuning pada tanaman cabai ini merupakan penyempurnaan dari hasil penelitian dan kajian para pakar yang berasal dari lembaga penelitian (Balitsa-Lembang), perguruan tinggi (IPB, UGM) dan praktisi di daerah endemis virus kuning. Hasil di lapangan menunjukkan, bahwa apabila petani melaksanakan rekomendasi pengendalian secara utuh (mulai para tanam sampai dengan panen) dengan baik dan benar sesuai PHT, mampu menekan serangan virus kuning antara 60 – 80 %. Bahkan petani di Magelang, Jateng yang lebih menekankan pengendalian pada pengerodongan bibit cabai di pesemaian dengan menggunakan kain sifon/kasa, dan dilapangan dilanjutkan menanam 6 baris tanaman border jagung 2-3 minggu sebelum tanam cabai disekeliling kebun cabai, dari hasil panen lebih kurang 3.000 batang tanaman, mampu membeli 2 unit sepeda motor (harga cabai tingkat petani Rp 18.000/kg). Pengalaman tersebut membuktikan bahwa teknologi yang diterapkan dapat memberikan keuntungan.
Langkah-langkah pengendalian virus kuning cabai yang dianjurkan tersebut adalah sebagai berikut :

• Perendaman benih dengan larutan PGPR (20 ml Pseudomonas fluorescens) selama 6 – 12 jam,
• Mengerudungi pesemaian sejak benih di sebar dengan menggunakan kain sifon/ kelambu/kasa halus yang tembus sinar matahari, guna mencegah kutu kebul masuk untuk menginfeksi pesemaian. Lindungi pesemaian dengan pestisida nabati,

Pengerodongan pembibitan cabai dalam rumah kasa (atas) dan
model tunnel (bawah)

Sampai sekarang, petani umumnya belum mengetahui pembuatan pengerodongan pembibitan cabai yang memenuhi standar baik model rumah maupun model tutup keranda (tunnel) untuk mencegah tanaman terhindar dari vektor dan infeksi virus kuning. Untuk itu perlu alokasi dana guna pengadaan rumah kasa percontohan standar terutama bagi kelompok tani di daerah sentra dan pengembangan cabai yang kronis virus kuning

• Pemberian pupuk kandang yang matang atau kompos minimal 20 ton/ha dan menggunakan plastik perak sebagai mulsa,
• Sanitasi lingkungan kebun, terutama gulma bebadotan dan bunga kancing yang dapat berperan sebagai inang alternatif bagi virus dan vektor, dan eradikasi tanaman terserang dengan segera lalu dimusnahkan,
• Menanam 6 baris tanaman jagung 2-3 minggu sebelum tanaman cabai disekeliling kebun, dengan jarak tanam rapat (15-20 cm). atau tanaman border lain Orok-orok (Clorotoria sp) dan tanaman perangkap tagetes,

6 baris Tanaman border jagung (kiri) dan Orok-orok (kanan)
ditanam di sekeliling pertanaman cabai

• Memasang perangkap likat sebanyak 40 lembar/ha digantung atau dijepit pada kayu/bambu setinggi 30 cm di atas kanopi tanaman,
• Melepaskan predator Monochilus sexmaculatus (kumbang macan) 1 ekor/10 m2 dua minggu sekali,
• Aplikasi pestisida (50-100 lembar daun sirsak atau daun tembakau/5 liter air + 15 gr sabun colek) atau 20 gr biji atau 50 gr daun nimba + 1 gr sabun colek/liter air). Ramuan ditumbuk halus, dicampur air, disaring, dan direndam 1 malam,
• Selain itu menggunakan ekstrak bunga pukul empat dan bayam duri sebagai induser mulai dari pembibitan hingga pembungaan minimal 2 minggu sekali.

Kesimpulan dan Saran
Sejalan dengan perluasan penanaman tanaman cabai di daerah sentra produksi untuk memenuhi permintaan konsumen yang meningkat setiap tahun, maka diprakirakan luas dan daerah sebaran virus kuning ke depan akan meningkat pula, terutama apabila upaya pengendaliannya tidak mendapat perhatian serius dan tidak adanya awareness dan rapid respon yang memadai dari para pihak. Oleh karena itu koordinasi antara pusat dan daerah dalam menyusun program pengendalian perlu terus ditingkatkan dan dikembang-kan, termasuk alokasi dana operasional pengendalian yang memadai, diantaranya alokasi dana untuk pengadaan rumah-rumah kasa percontohan bagi kelompok tani di daerah endemis virus kuning cabai. Selain itu supaya permohonan dan harapan terwujud, perlu pula mandekatkan diri kepada kemauan Yang Maha Kuasa dan mensyukuri atas ni’matnya dengan kerja keras meningkatkan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi kerja yang tulus dan baik dalam mendorong, membina, dan melaksanakan kegiatan perlindungan tanaman yang sebaik-baiknya.
.





Jakarta, Juni 2008

Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura

Ir. Irwan Adam dan Ir. Siswanto Mulyaman

Jumat, 10 Desember 2010

Studi Banding SLPHT Mangga ke Thailand



Berisi laporan :

1. Kegiatan studi banding dilaksanakan pada tanggal 8 - 12 Desember 2010. Tim Sterdiri dari Ir. Soekirno, MSi, Ir. Siswanto Mulyaman, Ir. Kurnia Nur, Novida Sj. SP., Jamilah, SP, dan Sutanto SH. (Asosiasi Mangga "Mitra Usaha Tani" Indramayu, tidak hadir H. Abdurokhim (petani mangga Cirebon)

Kunjungan tersebut dalam kerangka kerjasama Indonesia – Thailand (Joint Agriculturat Working Group / JWAG), khususnya Farmer Field School (FFS) of IPM Implementation on Mango (Project 06/INA/I). Kunjungan tersebut merupakan kunjungan balasan atas kunjungan Tim Thailand tahun 2009 yang lalu dan hasil kesepakatan pertemuan JWAG di Makasar pada 28-30 Juni 2009.

2. Selama kunjungan, dilakukan kegiatan :
Hari 1 : diskusi dengan jajaran Department of Agricultural Extention (DOAE), lakosi Vapor heat Treatment (VHT) skala komersial dan sekaligus Eksportir buah (mangga ”Nam Dokmai” dan mangga ”Mahachanok”, manggis, dan durian),

Hari ke 2 : kunjungan ke Koperasi (Petani) mangga di Provinsi Chachoengsao, Petani/Pengusaha mangga, Penakar benih mangga, dan

Hari ke 3 : kunjungan ke Pusat Pengelolaan OPT / Pest Management Centre di Provinsi Chonburi. Sementara itu, karena ketiadaan kesempatan, jadwal kunjungan ke pasar produk-produk pertanian tidak terlaksana.

3. Beberapa hal yang dapat diambil sebagai pelajaran untuk pengembangan mangga di Indonesia adalah :

a. Sebagai pusat penyuluhan, diseminasi informasi teknis yang dilakukan oleh DOAE cukup baik. Di kantor pusat, tersedia bagian dan ruangan penyebaran informasi dan interaksi yang dapat diakses oleh masyarakat/petani melalui jaringan elektronik termasuk akses internet.


b. Sebagi negara pengekspor (mangga dan buah-buahan lainnya), di Thailand tersedia VHT skala komersial sebanyak 9 unit. Perusahaan VHT (P&F Techno Co., Ltd.) yang dikunjungi sudah beroperasi sekitar 20 tahun melakukan treatment buah mangga, manggis dan durian untuk diekspor ke Jepang. Pada kesempatan ini, Pimpinan perusahaan sempat menawarkan kerjasama operasional VHT di Indonesia sekaligus pelatihan operasionalnya dan pemasaran produk buah ke Jepang. Perusahaan ini mempunyai jaringan pasar buah yang luas di Jepang.

Tekhnologi VHT pada umumnya digunakan untuk mencegah adanya lalat buah pada buah mangga yang akan dipasarkan terutama untuk skala pasar ekspor. Pada umumnya persyaratan ekspor Mangga terutama untuk tujuan ekspor ke Jepang harus memenuhi beberapa persyaratan, salah satunya adalah produk yang aman konsumsi tanpa adanya lalat buah dengan perlakuan VHT.


c. Koperasi (Petani) mangga di Distrik Phanom Sarakham berdiri pada tahun 1998 dengan anggota 180 orang, dengan luas pertanaman mangga 1.600 ha. Produksi mangga sekitar 7.000 ton/tahun, 30 % diantaranya untuk pasar ekspor dan 70 % untuk pasar lokal. Saat ini, aset koperasi senilai 6 juta Baht (sekitar Rp 1,98 milyar). Sistem jaminan mutu produk mendapatkan prioritas tinggi, baik melalui penerapan Good Agricultural Practices (GAP), PHT, perlakuan Hot Water Treatment (HWT) dan penerapan Rapid Test residu pestisida. Satu hal penting yang dicatat dari koperasi ini adalah sistem traceability / ketelusuran buah mangga yang sudah memanfaatkan bar code setiap buah mangga dan dapat ditelusuri melalui jaringan internet (dikembangkan DOAE) oleh konsumen dimanapun.
Asosiasi ini terdiri atas 180 petani dengan total luasan lahan mencapai 1.600 ha. Produksi mangga yang dicapai sebesar 7.000 ton/tahun, sebesar 30% diantaranya adalah untuk pangsa ekspor dan 70% pangsa lokal untuk memenuhi pasar modern, tradisional, dan kebutuhan industri.
Sistem jaminan mutu produk mendapatkan prioritas tinggi, baik melalui penerapan Good Agricultural Practices (GAP), PHT, perlakuan Hot Water Treatment (HWT) dan penerapan Rapid Test residu pestisida. Satu hal penting yang dicatat dari asosiasi/koperasi ini adalah sistem traceability / ketelusuran buah mangga yang sudah memanfaatkan bar code setiap buah mangga dan dapat ditelusuri melalui jaringan internet (dikembangkan DOAE) oleh konsumen dimanapun. Di samping itu, sistem produksi dan penanganan produk pada koperasi ini telah mendapatkan sertifikat GAP, Good Manufacture Practices (GMP) dan Quality Management (QM).

d. Dalam kunjungan ke penangkar benih mangga, diperoleh masukan teknologi perbanyakan berupa ”penyusuan” batang bawah kepada batang atas (varietas unggulan). Reknik ini dianggap mempunyai kelebihan, al. cabang batang atas yang ”disusui” tidak tergantung umur cabang; ketika ditanam jumlah perakaran menjadi 2 kali lipat (berasal dari batang bawah dan batang atas); dan tanaman tidak mudah roboh/patah.


e. Dalam kunjungan ke kebun mangga petani, budidaya mangga yang diterapkan untuk menjamin mutu produk, petani melakukan langkah-langkah GAP al. melalui pemangkasan reguler cabang/batang dan pengurangan jumlah buah.

f. Pengembangan teknologi PHT yang banyak dilakukan petani adalah pengembangan agens hayati, SLPHT maupun diseminasi teknologi ke tingkat kelompok tani. Catatan penting dalam pengembangan PHT ini adalah pengembangan agens hayati jenis ”green lacewing” Chrysoperla spp.: Neuroptera, Chrysopidae) dan ”earwing” (Euborellia spp.: Dermaptera, Proto-diplatidae, Indonesia disebut Cocopet). Jenis Lacewing efektif untuk mengendalikan berbagai hama jenis mealybug (kutu-kutuan), thrips, tungau. Earwing/cocopet, predator yang efektif untuk mengendalikan berbagai ulat/ larva. Berdasarkan penelusuran, ke dua jenis musuh alami tersebut ada di Indonesia, salah satunya adalah earwing yang dapat digunakan untuk mengendalikan penggerek batang tebu.


g. Selain pengembangan di tingkat on farm, hal yang perlu dicatat pula adalah pengembangan sistem maupun penanganan pasca panen dan pemasaran produk buah-buahan yang cukup baik sehingga mampu menjangkau pasar global.

4. Pada kesempatan kunjungan, pihak Thailand mengharapkan kesempatan kedatangan Tim Thailand di Indonesia pada tahun depan. Tim Thailand bersedia menyertakan petani mangga untuk memberikan alih teknologi, termasuk perbanyakan benih kepada petani mangga Indonesia. Dalam kerjasama ini nanti, kunjungan Tim menjadi tanggung jawab negara pengirim, sementara negara penerima bertanggung jawab dalam transport lokal, pendampingan, koordinasi-koordinasi, penyediaan/penyiapan lokasi/objek kunjungan, dan biaya-biaya internal lainnya.

5. Sebagai tindak lanjut dan dalam rangka percontohan pengembangan kawasan buah-buahan, khususnya mangga, diusulkan agar kelompok usaha Asosiasi Mangga ”Mitra Usaha Tani” (Mutan), Indramayu, dapat didorong untuk menangani usahatani mangga secara komprehensif seperti koperasi petani mangga di Distrik Phanom Sarakham, Chachoengsao, Thailand. Kelompok Asosiasi Mangga Mutan, saat ini telah ditetapkan sebagai kelompok PMD yang mencakup 15 kelompok tani mangga dengan cakupan areal seluas 22.000 ha.

Minggu, 27 Juni 2010

RBPR

“RAPID BIOASSAY PESTICIDE RESIDUE (RBPR) “,
SISTEM DETEKSI CEPAT RESIDU PESTISIDA PADA PRODUK HORTIKULTURA



Oleh : Siswanto Mulyaman – Fungsional Pengendali OPT (POPT) Madya,
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura


Akhir-akhir ini residu pestisida sudah menjadi perhatian konsumen modern hasil pertanian. Residu Pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil pertanian, bahan pangan, atau pakan hewan baik sebagai akibat langsung maupun tak langsung dari penggunaan pestisida. Istilah ini mencakup senyawa turunan pestisida, seperti senyawa hasil konversi metabolit, senyawa hasil reaksi, dan zat pencemar yang dapat memberikan pengaruh toksikologis, bahkan bahaya bagi kesehatan konsumen dan lingkungan. Dengan persepsi konsumen ini, membuktikan bahwa penggunaan pestisida tidak boleh lagi sembarangan, tidak bijaksana, karena dapat menimbulkan pengaruh/dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Adalah wajar, bila konsumen memilih hasil pertanian yang aman konsumsi (dalam hal ini yang bebas pestisida) atau kalau mengandung residu pestisida, kadarnya masih di bawah batas toleransi.

Kalau sudah demikian besarnya tuntutan konsumen terhadap produk pertanian, peran pemerintah dalam deteksi dini adanya residu pestisida sangat penting, terutama dalam memberikan informasi (deteksi) dini adanya residu pestisida pada produk-produk pertanian yang akan dikonsumsi masyarakat. Uji Rapid Bioassay Pesticide Residue (RBPR), yaitu suatu cara cepat mendeteksi dini keberadaan residu golongan pestisida tertentu, merupakan jawaban untuk merancang regulasi, membangun sistem peringatan dini, dan mengelola sistem pelayanan kesehatan konsumen untuk produk-produk pertanian yang aman konsumsi masyarakat.

RBPR dikembangkan di Taiwan sejak tahun 1985 dan telah berhasil diadopsi dalam sistem pasokan produk pertanian (sayuran dan buah-buahan), serta rantai pasok pasar swalayan besar. Pengujian “bioassay” adalah pengujian memanfaatkan unsur biologi, yaitu enzym Acetilcholinesterase (AchE) dari otak/kepala lalat rumah, Musa domestica dan bakteri Bacillus thuringiensis. RBPR dilaksanakan dengan biaya rendah dan memberikan hasil cepat (hanya selama 15 menit test uji dapat diketahui), langsung dan praktis. Pemeriksaan sampel secara cepat dapat membantu mendeteksi dini residu pestisida dan jaminan keamanan produk produk sayuran dan buah-buahan yang akan diperdagangkan ke tempat lain dengan aman melalui sistem sertifikasi yang dikelola dengan baik.

Penerapan RBPR di Taiwan, dilandasi pemikiran sederhana yang berbeda dengan prinsip yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga perlindungan konsumen di Negara-negara maju lain seperti Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US-EPA), yaitu mendeteksi residu setelah masuk dalam tubuh melalui produk yang dimakan versus prinsip RBPR, yaitu deteksi sebelum masuk dalam tubuh. Prinsip ini dikembangkan oleh Dr. Edward Chen, seorang pakar di bidang analisa kimia makanan di FFTC (Food and Fertilizer Technology Centre) Taiwan, yang menjadikan dirinya terkenal di Negara-negara Asia Pasifik sebagai pakar RBPR. Metode ini sesungguhnya merupakan teknologi klasik dan telah banyak diketahui oleh kalangan analis kimia di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Namun, menjadikan teknologi ini terapan dengan dukungan regulasi, penelitian yang baik, dan sistem manajemen yang baik, adalah terobosan baru.


Dalam penerapan di Taiwan saat ini, RBPR telah dikembangkan di 282 statiun lapangan dalam sistem rantai pasokan produk hasil pertanian yang diperdagangkan, antara lain di asosiasi petani (51 stasiun), koperasi petani (65 stasiun), grosir dan pasar ritel (18 stasiun), rantai pasokan supermarket dan perusahaan swasta lain (100 stasiun), program makanan bagi militer (29 stasiun), program makan siang sekolah (94 stasiun), perusahaan prosesing makanan (19 stasiun), dsb. Stasiun-stasiun tersebut dilaksanakan oleh masing-masing stasiun dengan pengelolaan, bimbingan teknis, dan pengawasan FFTC (Food and Fertilizer Technology Center).
Di samping penerapan di dalam negeri, beberapa negara yang telah mengadopsi teknologi RBPR adalah Korea Selatan, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Negara lain yang telah mengajukan penyebarluasan RBPR adalah Panama, Argentina, Oman, Singapura, Malaysia, Kamboja, Laos, Pakistan dan Australia.

Prinsip dan tujuan pengembangan sistem keamanan pangan melalui pengawasan terhadap residu pestisida adalah : (a) melindungi kesehatan manusia/konsumen sebagai prioritas utama, (b) deteksi dini sebagai upaya pencegahan awal yang memberikan warning terjadinya cemaran residu dari golongan pestisida tertentu, dan (c) catatan bahaya dari racun dideteksi/ditoleransi cukup sampai ppm. Untuk memastikan kandungan residu bahan aktif dari pestisida, dilakukan melalui prosedur analisis baku. Berdasarkan pengalaman dan evaluasi Dr. Chen, bahwa metode ini RBPR
Teori Dasar RBPR, didasarkan pada toksikologi dan dapat menentukan seluruh toksisitas pestisida melalui analisis kimiawi yang bersifat ilmiah. RBPR dirancang untuk pestisida neurotik yaitu insektisida organoposfat dan karbamat, dan fungisida karsinogenik golongan ETU (ethylenthiourea), yang mengandung ethylene bis-thiocarbamates (EBDC).

Pengujian insektisida
Uji RBPR dilaksanakan untuk insektisida dari golongan organofosfat dan karbamat. Dengan melakukan ekstrak tanaman melalui uji Ellman's, penghambatan AChE pada insektisida karbamat dan organoposfat mudah dideteksi.
Reaksi insektisida dapat dideteksi secara in vitro pada AChE yang dimurnikan. Dalam uji Ellman's, warna kuning perlahan bereaksi dengan AChE, yang ditandai dengan perbedaan perubahan warna antara sampel dan larutan blankonya (blank), dan dapat dilihat dengan mata telanjang, namun uji dengan alat spektrofotometer untuk melihat secara jelas perubahan warna dari reaksi yang terjadi dan rekaman datanya, dapat segera diketahui.


AChE diisolasi dari sumber enzym yang memiliki kepekaan terhadap insektisida pada kepala lalat, Musa domestica yang telah terbukti sangat sensitif (Chiu et al, 1991). TARI (Taiwan Agriculture Research Institute) telah menyimpan koloni lalat rumah selama lebih dari 40 tahun, yang bebas dari pembiakan silang antara insektisida – lalat rumah, dan telah digunakan dalam pembuatan AChE untuk mendeteksi residu insektisida pada sayuran dan buah-buahan. AChE diproduksi oleh TARI sangat stabil dan dengan penyimpanan yang baik.

Tes AChE demikian cepat, hanya memerlukan waktu 15 menit dalam seluruh proses uji. Untuk 30 sampel dapat diperiksa dalam waktu satu jam, atau rata-rata 2 menit per sampel, dan telah cukup cepat untuk skrining terhadap sayuran dari pasar grosir sebelum diperdagangkan. Untuk sampel dalam jumlah banyak dan harus diperiksa dalam waktu singkat, maka penggunaan metode ELISA dianjurkan untuk mendeteksi penghambatan enzim dalam mode kinetik, dan 96 sampel dapat diuji secara simultan. Pengujian dilakukan dengan 3 tahap kegiatan, yaitu sampling, pengujian, dan penghitungan penghambatan oleh AChE.

Senyawa insektisida yang peka terhadap AChE melalui uji RBPR adalah :
• Senyawa Organoposfat: Azynphosmethyl, clorpyrifos, diazinon, diclorvos, EPN, fonofos, Metidation, mevinphos, monokrotofos, paration, phenthoate, pirimifosmetil-metil, Profenofos, pyrazophos, pyrida phenthion, phosmet, triazofos (0,8 ppm atau lebih rendah); demeton-S-metil, Terkendali Dimetoat, fenthion, malation, metasystox (R), metil-Paration, prothiophos, triklorfon (0,8-8 ppm).
• Karbamat : Bendiocarb, karbaril, karbofuran, carbosulfon, formetanate, Hokein, methiocarb, propoxur (0,8 ppm atau lebih rendah); BPMC, methomil, thiocarb, MIPC, benfuracarb (0,8-8 ppm).

Pengujian fungisida dengan uji Bt (Bacillus thuringiensis)
Bakteri entomopatogen, Bacillus thuringiensis (Bt) sensitif terhadap banyak fungisida, terutama dari golongan ethylene bis dithio carbamates (EBDC). Bila Bt dimasukan dalam kultur ekstrak tumbuhan, pertumbuhan bakteri dapat dideteksi secara normal dengan larutan TTC (2,3,5-triphenil tetrazolium chloride) yang menghasilkan konversi TF (triphenyl formazan) melalui dehidrogenase, dan perlambatan pertumbuhan bakteri menunjukkan adanya fungisida. Bawang putih, jahe, teh, dll, yang mengandung bahan alami yang mengganggu pertumbuhan Bt, tidak cocok untuk tes ini.

Bt juga sensitif terhadap fungisida selain EBDC, misalnya, antibiotik, captan, flopet, TPTA, clorothalonil, dll. Pengujian dilakukan dengan 3 tahapan kegiatan, yaitu penyiapan larutan Bt, sampling dan ekstraksi larutan campuran, inkubasi dan pengujian. Prosedur selengkapnya seperti dalam lampiran.

Standar BMR dan hasil uji RBPR
Melalui prosedur dan peralatan analisis residu pestisida di laboratorium standar, kandungan bahan aktif suatu pestisida mudah diketahui, meski dalam jumlah yang sangat kecil sekalipun (satu per sejuta/ppm atau bahkan satu per milyar bagian/ppb). Penetapan ambang batas yang aman dikonsumsi oleh konsumen menjadi perhatian masyarakat modern. Oleh karena itu, Codex Allimentarius Commission (CAC), sebagai lembaga dunia yang dibentuk oleh FAO dan WHO pada tahun 1963, telah menetapkan standarnya, yang setiap 2 tahun disidangkan untuk diambil kesepakatan.
Standar Codex tentang residu pestisida menyatakan bahwa Batas Maksimum Residu pestisida (BMR) adalah konsentrasi maksimum residu pestisida (dalam mg/kg), yang diijinkan terdapat pada komoditi pertanian termasuk pakan ternak. Dalam penetapan BMR harus didukung dengan data yang berdasarkan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan/ scientific evidence dan mengutamakan keamanan dan kesehatan pada manusia. BMR ditetapkan melalui Joint FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues (JMPR) yang bersidang setiap dua tahun untuk menentukan level residu yang dapat ditoleransi toxisitasnya.

Menurut JMPR, BMR pestisida diestimasikan berdasarkan asesmen (kemungkinan) tiga risiko residu pestisida, yaitu : (1) asesmen toksikologik terhadap pestisida dan residu pestisida dalam pangan yang berasal dari komoditas pertanian, dengan tujuan menetapkan BMR yang dapat diterima secara toksikologik, baik toksisitas kronik (asupan per hari yang dapat diterima/ ADI (Acceptable Daily Intake) dan akut (dosis referensi, reference dose/RfD), (2) asessmen paparan residu pestisida di lahan produksi komoditas pertanian melalui review data residu pestisida yang berasal dari data percobaan residu, dan (3) pestisida tersupervisi (supervised pesticide residue trial, SPRT) dengan cara aplikasi pestisida menurut panduan nasional cara berbudidaya yang baik dan benar/Good Agricultural Practices agar dapat merefleksikan praktek penggunaan pestisida secara baik dan benar dengan residu minimal.

Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura sejak tahun 2000-an sampai saat ini, bekerjasama dengan Laboratorium Pengujian Mutu Produk Pertanian (Ditjen Tanaman Pangan, terakreditasi), telah memantau berbagai kandungan residu pestisida pada produk hortikultura (buah dan sayuran) baik dari wilayah produksi maupun dari ekspor, dan hasilnya dinilai masih aman konsumsi atau kandungan residunya masih di bawah BMR yang ditetapkan.
Meski kegiatan pemantauan rutin telah dilakukan, namun peringatan dini dan jaminan keamanan konsumsi sebelum produk dikonsumsi masyarakat, masih belum dikembangkan secara memadai. Deteksi dini dengan uji RBPR merupakan altenatif pemecahannya. Dalam uji RBPR, meski belum secara pasti dapat menentukan jenis dan kandungan residu pestisida, namun konsumen telah diberikan warning bahwa produk yang dikonsumsinya telah terpapar pestisida tertentu.

Nilai ekonomi dan investasi yang diperlukan untuk pengembangan deteksi cepat residu pestisida (RBPR)
Untuk mengembangkan penerapan deteksi cepat residu pestisida pada produk buah-buahan dan sayuran, bukan pekerjaan yang mudah dan perlu analisis yang memberikan nilai ekonomi. Taiwan sebagai negara pertama yang mengimplementasikan uji klasik ini, melalui lembaga penelitiannya telah menginformasikan efektifitas dan efisiensi uji ini.

Di suatu lembaga analisis kimia di Taiwan, dengan 18 orang peneliti yang melakukan analisis sebanyak 14,000 sampel/tahun dapat menemukan 420 kasus residu pestisida (sekitar 3 %). Sementara itu, di Grosir supermarket yang menerapkan RBPR dengan 2 orang inspektur pangan yang sudah dilatih RPBR, setiap tahun dapat memeriksa 20.000 sampel. Melalui sistem terpadu (analisis laboratorium residu pestisida dan RBPR), dari 20.000 sampel dapat dideteksi (dengan RBPR) kasus residu sebanyak 300 kasus (20.000 x 3 % x 50 % (deteksi kemampuan RBPR)). Sistem terpadu yang dikembangkan di Taiwan dilaksanakan oleh 2 orang terlatih RBPR dan 1 orang analis kimia residu. Apabila 18 orang peneliti dikerahkan bekerja maksimal dalam sistem terpadu, maka dalam setahun akan dapat menemukan kasus paparan residu pestisida sebanyak 1.800 kasus (300 kasus x 6 working group (18 orang dibagi 3 orang). Dengan sistem terpadu, pekerjaan deteksi dini residu pestisida cukup efektif dalam pengawasan mutu keamanan pangan.

Implikasinya bagi Indonesia
Kunci penerapan RBPR di Taiwan adalah adanya aturan hukum yang memayungi upaya perlindungan konsumen, ketersediaan sarana dan pra-sarana laboratorium, SDM terlatih, komitmen dan fasilitasi pemerintah, serta pengelolaan oleh institusi yang ditunjuk dalam pembinaan dan pengawasan jaringan stasiun-stasiun yang dibangun.
Demikian pula dengan pengalaman Negara Korea Selatan. Di Korea Selatan, melalui Federasi Koperasi Pertanian Nasional (National Agricultural Cooperative Federation, NACF) telah mengembangkan RBPR sejak 1996. Korea Selatan awalnya kurang tertarik untuk menerapkan teknologi ini, namun setelah beberapa staf pertaniannya dikirim ke Taiwan Agricultural Research Institute (TARI) untuk berlatih prosedur bioasai cepat (RBPR), pada awalnya tidak menerima cara pengujian ini. Namun, akhirnya, dengan sistem dan kelembagaan yang tidak berbeda, Korea Selatan mampu mengembangkan sistem aplikasi pengujian residu cepat ini, bahkan akhir-akhir ini mereka telah mengembangkan teknologi ini di stasiun-stasiun (> 100 unit stasiun) yang dibangun Pemerintah, termasuk di lembaga-lembaga pemerintah yang ada. Berbeda dengan di Taiwan, perangkat peraturan yang mengikat di Korea Selatan belum dibangun.
Negara Korea Selatan saja yang termasuk negara maju telah mengadopsi teknologi ini, bagaimana dengan Indonesia ?. Jawabanya terletak kepada good will kita semua. Balitsa, menurut situs resminya juga telah mengembangkan metode ini, hanya belum mengimplementasikan dalam sistem dan kelembagaan yang ada. Teknologi ini merupakan teknologi klasik dan scientific based dan mudah diterapkan.
Bagi Indonesia, teknologi pengujian RBPR merupakan hal penting dan bukan suatu teknologi yang rumit, dan dapat diadopsi untuk pengembangannya. Kelembagaan laboratorium yang ada cukup memadai dan dapat dimanfaatkan untuk penerapan RBPR. Namun demikian, hal-hal yang perlu disiapkan adalah SDM pelaku yang terlatih, penyediaan sarana dan pra-sarana laboratorium uji, dan perlunya di bangun sistem stasiun-stasiun uji, serta adanya aturan yang mengikat semua pelaku agribisnis hortikultura.

Akhirnya, diperlukan tindak lanjut yang diperlukan untuk pengembangan RBPR, yaitu : (1) adanya aturan hukum yang mengikat bagi semua stakeholder termasuk dunia usaha dan peningkatan awareness petani agar mau memeriksakan hasil tanamannya untuk di uji di stasiun di bangun, (2) pelatihan SDM yang kompeten dalam sistem pengawasan mutu keamanan produk, (3) membangun stasiun-stasiun pengujian di pusat-pusat pengumpul, pusat penjualan, grosir, koperasi petani, petani pengumpul, dsb., (4) mengembangkan sistem manajemen pengujian yang baik dan konsisten berbasiskan jaringan stasiun-stasiun, (5) mengembangkan penelitian untuk mengurangi ketergantungan dari negara lain dalam penyediaan bahan uji dasar (explorasi enzim AChE dari lalat rumah dan isolat Bacillus thuringiensis), dan (6) perlunya komitmen pemerintah dalam sistem pengendalian residu pestisida sejak dini dalam kesatuan yang utuh dan fasilitasi sarana pengujian di stasiun-stasiun pengawasan mutu hasil pertanian. Semoga dapat diwujudkan…..



Jakarta, Juli 2010

Siswanto Mulyaman – Fungsional Pengendali OPT Madya,
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura

Sabtu, 20 Maret 2010

Puncak Remunerasi PNS

Mudah-mudahan benar nih.....

Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia (RI) Nomor:195/VII/2009 tanggal 27 juli 2009 tentang Perbaikan Gaji PNS dan Tunjangan (REMUNERASI) menjadi Keppres paling dicari oleh sebagian besar Pegawai Negeri Sipil di seluruh Indonesia. Karena menurut isu yang beredar di sejumlah PNS menyebutkan bahwa. Kepres RI No 195/VII/2009 menyebutkan tentang Kenaikan Gaji dan Tunjangan PNS terdapat perubahan yang sangat signifikan melebihi 100 persen.



Dari gosip yang beredar. Besaran Kenaikan Gaji Menurut Keputusan Presiden (Kepres) RI Nomor:195/VII/2009 disesuaikan berdasarkan Golongan dengan rincian sebagai berikut:
• Besaran Gaji PNS Golongan I menurut Keppres No:195/VII/2009 tanggal 27 Juli 2009 adalah sebesar Rp.3.000.000,- (Tiga Juta Rupiah).
• Besaran Gaji PNS Golongan II menurut Keppres No:195/VII/2009 tanggal 27 Juli 2009 adalah sebesar Rp.5.000.000,- (Lima Juta Rupiah).
• Besaran Gaji PNS Golongan IIIa/IIIb menurut Keppres No:195/VII/2009 tanggal 27 Juli 2009 adalah sebesar Rp.7.500.000,- (Tujuh Juta Lima Ratus Ribu Rupiah).
• Besaran Gaji PNS Golongan IIIc/IIId menurut Keppres No:195/VII/2009 tanggal 27/7/2009 adalah sebesar Rp.8.500.000,- (Delapan Juta Lima Ratus Ribu Rupiah).
• Besaran Gaji PNS Golongan IVa/IVb menurut Keppres No:195/VII/2009 tanggal 27 Juli 2009 adalah sebesar Rp.9.500.000,- (Sembilan Juta Lima Ratus Ribu Rupiah).
• Besaran Gaji PNS Golongan IVc/IVd/IVe menurut Keppres Nomor 195/VII/2009 tanggal 27 Juli 2009 adalah sebesar Rp.12.000.000,- (Dua Belas Juta Rupiah).


Menurut isu yang semakin beredar luas, kenaikan besaran gaji dan tunjangan PNS ini akan dibayarkan pada tanggal 1 April 2010, dan berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010. Seluruh PNS akan mendapatkan rapelan gaji.

Kendati demikian, sejumlah PNS masih meragukan kebenaran gosip kenaikan gaji yang disebut berdasarkan Keputusan Presiden RI tersebut. Selain menilai berdasarkan kemampuan keuangan Negara dan Daerah untuk membayarkan Gaji sesuai yang disebutkan dalam isu REMUNERASI mengataskanamakan Kepres RI No:195/VII/2009 tersebut, sejumlah Pegawai Negeri Sipil yang berusaha mendownload Keputusan Presiden (Kepres) tentang REMUNERASI yang diisukan tersebut juga mengaku masih belum berhasil menemukan Copy dari Kepres yang dianggap akan menyejahterakan seluruh PNS. Mereka juga meragukan kebenaran isu ini karena rencana kenaikan gaji PNS sebesar 5 % sesuai Pidato Presiden beberapa waktu lalu, bahkan belum dibayarkan (terealisasi) di sejumlah daerah. Beberapa PNS yang menerima kabar ini mengaku bahwa info tentang kenaikan gaji PNS ini pertama kali mereka peroleh dari pesan singkat (SMS).

Berdasarkan pengamatan Admin, pada sejumlah situs resmi Pemerintahan seperti website Departemen Keuangan (DEPKEU) dan Departemen Hukum dan Ham (DEPKUMHAM) juga banyak sekali permintaan agar Kepres tersebut dikirimkan ke alamat e-mail masing-masing yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.

Update Admin 17 Maret 2009 : Berdasarkan kesimpulan dan masukan dari berbagai pihak, akhirnya pertanyaan pengunjung mengenai SMS (Keputusan Presiden) Keppres RI No.195/VII/ 2009 tentang Remunerasi Gaji PNS yang beredar seperti disebutkan di atas hanyalah ISU yang tidak berdasar. Semoga saja melalui artikel ini bisa menjawab tingginya tingkat pencarian di Google terhadap Keputusan Presiden yang diisukan tersebut. Melalui update terbaru ini, atas nama Admin juga mengucapkan terimakasih kepada para pengunjung yang telah membantu memberikan penjelasan dan masukan kepada pengunjung lainnya mengenai analisa kebenaran Keppres tentang Remunerasi Gaji PNS di atas. Termasuk tentang kaidah penomoran sebuah Keppres yang terdiri atas Nomor dan Tahun, jadi jika memang benar, maka Keppres tersebut seharusnya adalah Keppres RI Nomor 195 Tahun 2009.

Terimakasih.

Minggu, 14 Maret 2010

Pengaturan Penggunaan Pestisida dengan Residu Minimum

Para pembaca yang budiman...

Di bidang hortikultura, penerapan SOP-GAP dalam pelaksanaan budidaya sudah menjadi keharusan. Demikian pula dengan registrasi kebun. Khusus di bidang perlindungan tanaman, sistem-sistem tersebut tidak asing dan menjadi satu kesatuan dalam penerapan PHT. Konsepsi PHT sudah disertakan dalam pendekatan sistem mutu maupun penerapan SOP-GAP termasuk sertifikasi Prima.....Prima satu, utamanya adalah residu pestisida pada produk harus minimal...

Nah, dalam penerapan sistem tersebut, perlu penataan/pengaturan penggunaan pestisida agar residu pada produk yang dihasilkan minimal. Ada saran...bagaimana sebaiknya mengatur penggunaan pestisida agar residu pada produk minimal.

Silahkan kirim ke mulyamansos@yahoo.com


Terima kasih.

Selasa, 12 Januari 2010

Jadwal hari ini, 12 Januari 2010

Pelepasan para Pejabat yang memasuki pensiun/purna tugas. Pada hari ini, Bapak Ir. Daryanto/Direktur Perlindungan Hortikultura 2000 - 2005, Ir. Atje Hikmat (Kasubdit Perlindungan Tanaman Sayuran 2000 - 2009, Drs Aceng M. Samsu (Kasubbag TU 2005 - 2009), dan Supardi (staf TU), dilepas oleh Pimpinan Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura dan staf...... Semoga dengan purna tugas tersebut, Bapak-bapak dapat lebih meningkatkan lagi kiprah di lingkungannya masing-masing. Purna tugas tidak berarti berhenti segala-galanya, yang berhenti adalah pengabdian kepada institusi......, sedangkan pengabdian kepada negara dan bangsa masih terbuka luas di ladang kemasyarakatan, dunia swasta....dsb. Selamat berkarya yang lebih bermutu....semoga sukses selalu........