Oleh : Irwan Adam 1), Siswanto Mulyaman 2)
1) Staf Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura
2) Fungsional Pengendali OPT (POPT) Madya, Direktorat Perlindungan Tanaman
Hortikultura
Belajar dari pengalaman terjadinya serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada komoditas strategis di beberapa daerah terutama yang berdampak kepada terganggunya pasokan kepada konsumen, sistem mitigasi dan pengelolaan OPT perlu terus menerus disosialisasikan kepada para pihak, sehingga timbul sikap kewaspadaan (awareness) dan cepat anggap (rapid respon) dari para pihak untuk mengambil langkah-langkah antisipasi dan terkoordinasi. Alasan terkait ketidaktahuan timbulnya serangan, gejala, sifat, karakteristik dan dampak serangan OPT, perlu dijawab dengan upaya mendudukan kembali kepada kewenangan dan tanggung jawab operasional pengendalian OPT sesuai peraturan yang ada.
Tulisan ini tidak bermaksud mencari-cari kesalahan, melainkan mencoba menjelaskan permasalahan yang muncul di lapangan baik langsung atau tidak langsung ikut berperan ”memicu” berkembangnya epidemi penyakit virus kuning dalam 5 tahun terakhir (2003 – 2007) di Indonesia. Dengan demikian pengelolaan OPT pada tanaman cabai ke depan makin baik, sehingga keberlangsungan agribisnis cabai berkelanjutan dan menguntungkan petani.
Pendahuluan
Manusia hidup di dunia tidak boleh berhenti untuk belajar baik melalui pendidikan formal di ruang kelas maupun dengan pertemuan tidak formal di bilik-bilik balai desa atau di alam terbuka, secara otodidak perorangan ataupun kumpul bersama teman di bawah bimbimingan guru. Tujuan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam rangka merubah sesuatu yang belum baik menjadi lebih baik, namun begitu belajar tidak hanya dari pengalaman orang yang sukses, tetapi bisa juga dari orang yang mengalami kegagalan guna mengetahui penyebab dan menghindari kegagalan tersebut supaya tidak terulang kembali, sehingga keberuntungan dapat diraih
Demikian pula kita bisa belajar dari kejadian buruk yang menimpa petani cabai akibat mewabahnya serangan penyakit virus kuning di hampir seluruh daerah sentra produksi dan pengembangan cabai di Indonesia, sehingga pada tahun 2007 kerugian petani tercatat Rp 20 Miliyar lebih. Musibah ini merupakan isyarat alam bagi petugas Deptan di pusat dan daerah untuk menjadikannya sebagai pelajaran atau bahan renungan, mengapa penyakit yang disebabkan oleh geminivirus yang awal serangannya pada tahun 2003 terbatas di Kabupaten Magelang – Provinsi Jawa Tengah, kini penyebaran dan luas serangannya sudah bertambah hampir seluruh daerah tanaman cabai di bumi Nusantara. Akibatnya, tidak hanya berdampak buruk terhadap ketersediaan cabai (rantai pasokan) di pasaran tidak lancar, yang kemudian memicu terjadinya harga yang tinggi, terutama menjelang hari-hari besar keagamaan dan nasional, juga prihatin terhadap kehidupan petani karena besarnya kerugian yang diderita akibat usahataninya mengalami gagal panen atau puso. Bahkan sebagian petani mengalami trauma untuk menanam cabai, lalu beralih usahatani pada komoditas pertanian lain.
Kata orang bijak, pengalaman adalah guru yang terbaik. Belajar dari kejadian tentang kurang berhasilnya petugas pertanian di pusat dan daerah dalam koordinasi penanggulangan serangan penyakit virus kuning pada tanaman cabai, hingga menimbulkan kerugian puluhan miliyar bagi petani. Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman buruk tersebut diharapkan menjadi bahan kajian berharga bagi petugas pertanian untuk pembinaan dan bimbingan para pelaku agribisnis cabai ke depan, sehingga hasil jerih payah dalam berusahatani mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga petani, dan kalaupun terserang OPT tidak sampai menimbulkan kerugian secara ekonomi.
Mengenal Gejala Serangan Virus Kuning
Ketika mulai hebohnya serangan virus kuning cabai di Jateng, DIY, dan Lampung Barat (2003-2004), Ditlintan Hortikultura telah mengingatkan daerah sentra produksi dan pengembangan cabai untuk waspada terhadap bahaya penyakit virus kuning cabai dan mengambil langkah operasional secara nyata dan koordinatif. Kurangnya tanggapan dan langkah operasional yang memadai dari semua pihak di daerah, menyebabkan penyebaran virus kuning cabai ini meluas ke seluruh daerah sentra produksi dan pengembangan cabai. Seyogyanya, sejak dini masalah ini dapat ditanggulangi melalui upaya pengendalian vektor dengan menerapkan teknologi yang ada dan telah dikenal petani dan pemberdayaan petani melalui sekolah-sekolah lapang PHT (SLPHT). Sayangnya respon para pihak terhadap serangan virus gemini ini masih kurang bahkan memandang tidak berpengaruh banyak terhadap produksi. Kurangnya awareness dan rapid response dari para pihak ini menyebabkan virus gemini terus berkembang dan potensial mengancam upaya pengembangan agribisnis cabai.
Pengalaman ini menunjukkan, banyak petugas lapang belum paham betul dengan gejala serangan virus kuning, sehingga di lapangan rancu dengan gejala virus lain pada cabai (Mosaic virus, virus keriting, kerupuk, dll). Akibatnya, laporan virus kuning yang masuk ke pusat juga relatif sedikit. Namun setelah dilakukan monitoring, pembinaan dan bimbingan dari pusat ke daerah, telah banyak daerah yang melaporkan serangan virus kuning.
Dari gejalanya, virus ini terjadi sejak di pembibitan sampai periode pertumbuhan vegetatif dan pembungaan. Gejala khas yang terlihat pada tanaman sakit di lapangan adalah klorosis atau kuning pucat antar vena daun, daun menguning cerah, daun melekuk ke atas atau ke bawah, daun meyempit, tanaman kerdil disertai pertumbuhan daun muda yang kecil-kecil banyak, bunga rontok, dan akhirnya tanaman tinggal ranting dan batang saja, kemudian mati. Namun di lapangan tidak semua daun menunjukkan kuning cerah, tergantung respon varietas, tinggi tempat dan agroklimatnya.
Tindakan korektif yang dinilai efektif menekan penularan penyakit lebih lanjut adalah pencabutan dan pemusnahan (eradikasi) tanaman sakit dan pengurangan infestasi vektor. Sebab bila dibiarkan hidup, tanaman tidak akan menghasilkan atau gagal panen (puso). Sedangkan bila gejala serangan baru terlihat saat berbunga, hasil panennya masih bisa diharapkan di atas 50 %.
Perkembangan Virus Kuning
Patogen penyebab penyakit virus kuning adalah Geminivirus “TYLCV” (Tomato Yellow Leaf Curl Virus). Penyakit dari group Begomovirus ini tidak ditularkan melalui biji, tetapi dapat menular melalui penyambungan dan tusukan kutu kebul (Bemisia tabaci) yang hingga kini diketahui merupakan penular efektif dari satu tanaman ke tanaman lain. Terlebih kutu kecil berwarna putih ini termasuk folifag menyerang berbagai jenis tanaman, antara lain tanaman hias, sayuran, buah-buahan, maupun tanaman liar dan gulma. Khusus tanaman budidaya yang menjadi inangnya meliputi, tomat, cabai, kentang, mentimun, terung, kubis,buncis, selada, bunga potong Gerbera, ubi jalar, singkong, kedelai, tembakau, dan lada sedangkan tanaman yang disukai adalah babadotan (Ageratum conyzoides). Pengendalian terhadap serangga vektor yang hanya mengandalkan pestisida kimia saja terbukti kurang efektif karena tubuhnya berlapis lilin, kemampuan terbang tinggi, juga diketahui relatif resisten terhadap pestisida kimia.
Melihat sejarah perkembangannya, penyakit ini cepat menyebar dari satu negara ke negara lain, sehingga penyebarannya di berbagai Negara di dunia tercatat sebagai berikut, di Asia 37 negara, Afrika 39 negara, Eropa 26 negara, Amerika 30 negara dan Oceania 14 negara. Awal infeksi geminivirus pada cabai dilaporkan di Mexiko tahun 1990 dan, Texas 1996, Thailand 1997, dan Indonesia 2003. Kurangnya kesadaran terhadap bahaya penyebaran penyakit yang ditularkan dengan lincah oleh serangga vektor dari tanaman ke tanaman dari daerah terserang ke daerah lain yang masih sehat, menyebabkan luas serangan dan daerah sebarannya meningkat cepat.
Di Indonesia. awal mula serangan virus kuning terjadi pada 2003 terbatas di Magelang, Jateng, Sleman, DIY, dan setelah 5 tahun terakhir (2003 – 2007) perkembangan virus kuning makin bertambah hingga 14 provinsi, meliputi NAD, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, Kaltim, Sulut, Maluku, Gorontalo, Irjabar. Luas tambah serangan virus kuning cabai pada tahun 2003 seluas 884 ha dan pada tahun 2007 meningkat tajam hingga mencapai 3.015,05 ha, terluas terjadi di Jateng 1.071,6 ha, NAD 404 ha dan Jabar 307 ha. Menurut laporan Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura (Ditlintan Hortikultura), bahwa total kerugian pada tanaman cabai akibat serangan virus kunig pada tahun 2007 tercatat lebih dari 20 Miliyar rupiah (harga cabai tingkat petani Rp 6.000/kg), terbesar terjadi di Jateng di atas 5 Miliyar rupiah, Jatim di atas 4 Miliyar rupiah dan Nad di atas 3 Miliyar rupiah.
Pokja Virus kuning
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura dengan daya dan kemampuan yang ada selama lima tahun terakhir telah berusaha maksimal untuk mensosialisasikan upaya penanggulangan penyakit virus kuning cabai setiap tahun anggaran dengan melibatkan instansi terkait di pusat dan daerah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan stakeholder bidang agribisnis sayuran, baik melalui pertemuan formal atau kegiatan non formal lainnya, yaitu meliputi kegiatan-kegiatan : (1) pertemuan Kelompok Kerja (Pokja) Nasional Penanggulangan Penyakit Virus Kuning Pada Tanaman Cabai (sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2008, telah dilaksanakan 6 kali), (2) pertemuan dan sosialisasi di daerah endemis (3 kali), (3) pembinanaan/bimbingan petugas dan monitoring di lahan petani daerah sentra dan pengembangan cabai, (4) penyebaran informasi pengenalan dan pengendalian virus kuning cabai dalam bentuk buku pedoman (3.000 eksp) dan leaflet (1.000 eksp), serta penulisan di koran Sinar Tani (2 kali) dan majalah bulanan Hortikultura (2 kali).
Pertemuan Pokja, menjadi forum andalan dalam menghimpun informasi teknologi dan mencari upaya pemecahan masalah virus kuning. Pada setiap pertemuan para pakar dari perguruan tinggi (IPB, UGM) dan lembaga penelitian (Balitsa-Lembang) dengan praktisi dari jajaran instansi terkait (Diperta/BPTPH), peserta dan narasumber terlibat dalam diskusi intensif memahami fenomena virus kuning cabai. Diskusi hasil-hasil penelitian dan kajian serta pengalaman yang bersifat terapan di lapangan, telah menjadi ”amunisi baru” bagi peserta daerah khususnya bagi daerah endemis virus kuning. Selanjutnya, masukan informasi ini kemudian menjadi bahan perjuangan peserta untuk mengendalikan virus kuning cabai di daerahnya masing-masing. Sampai-sampai Direktur Perlindungan Tanaman Hortikultura setiap kali mengingatkan peserta untuk mencermati diskusi dan memberi penekanan khusus (stressing) agar hasil-hasil Pokja ditindaklanjuti di daerahnya masing-masing. Hal yang diinginkan Direktur adalah menghilangkan kesan bahwa hasil-hasil Pokja tidak ada tindak lanjutnya di daerah. Kegiatan Pokja tidak semata pertemuan rutin tahunan, tetapi perlu tindak lanjut yang memadai dari jajaran perlindungan tanaman dan petani cabai di daerah untuk menerapkan teknologi yang direkomendasikan.
Pertemuan Pokja Virus Kuning Cabai
Rumusan Pokja pada tahun ke empat (2008) telah menghasilkan anjuran teknologi terapan pengendalian virus kuning dan langkah-langkah penerapannya sesuai dengan Pengendalian Hama terpadu (PHT). Bila petani mau melaksanakan rekomendasi pengendalian secara utuh dengan baik dan benar (mulai para tanam sampai dengan panen), hasilnya mampu menekan serangan virus kuning antara 60 – 80 %. Namun sayangnya, baru sebagian kecil petani di daerah endemis yang telah melaksanakan anjuran teknologi pengendalian virus kuning cabai. Hal ini mungkin terjadi karena daerah masih kurang antisipasi terhadap bahaya virus kuning, lemahnya koordinasi pengendalian antar petugas lapang di daerah dan belum seriusnya perhatian pemegang kebijakan terhadap kehilangan hasil akibat virus kuning cabai.
Tindakan antisipatif melalui pengaturan pola tanam
Tanaman cabai dikonsumsi dalam bentuk segar dan tidak dapat disubsitusi dengan bahan lain, maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang meningkat tiap tahun, ketersediaan tanaman cabai harus ada sepanjang tahun sebagaimana diatur dalam quota tanam. Pola pengelolaan quota ini menjadi kunci dari upaya pemenuhan ketersediaan produk cabai. Sayangnya, pengaturan tanam (quota tanam) sering tidak dipatuhi petani terutama saat harga tinggi di pasaran, petani seakan berlomba menanam cabai. Pada kondisi ini akan menyulitkan upaya pengendalian virus kuning di daerah serangan, karena siklus hidupnya tidak terputus sehingga baik inang virus, vektor dan inang vektor selalu ada.
Pemerintah dalam hal ini Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura, sesuai dengan tupoksi melaksanakan kebijakan di bidang perlindungan tanaman, yaitu sebagai fasilitator dan regulator baik kebijakan operasional maupun teknis dalam mendukung keberhasilan program pengembangan agribisnis hortikultura, dan bukan pihak yang bertindak langsung menangani di lapangan. Tanggung jawab di lapangan adalah menjadi tupoksi daerah yang memiliki kewenangan langsung : merencanakan, membina dan mengupayakan agar agribisnis cabai dapat meningkatkan dan mensejahterakan petani serta menyumbang pendapatan asli daerah (PAD). Oleh karena itu, pengelolaan budidaya melalui pewilayahan komoditas dan pengaturan pola tanam yang baik menjadi wewenang pemerintah daerah.
Langkah-langkah pengendalian virus kuning cabai
Teknologi pengendalian penyakit virus kuning pada tanaman cabai ini merupakan penyempurnaan dari hasil penelitian dan kajian para pakar yang berasal dari lembaga penelitian (Balitsa-Lembang), perguruan tinggi (IPB, UGM) dan praktisi di daerah endemis virus kuning. Hasil di lapangan menunjukkan, bahwa apabila petani melaksanakan rekomendasi pengendalian secara utuh (mulai para tanam sampai dengan panen) dengan baik dan benar sesuai PHT, mampu menekan serangan virus kuning antara 60 – 80 %. Bahkan petani di Magelang, Jateng yang lebih menekankan pengendalian pada pengerodongan bibit cabai di pesemaian dengan menggunakan kain sifon/kasa, dan dilapangan dilanjutkan menanam 6 baris tanaman border jagung 2-3 minggu sebelum tanam cabai disekeliling kebun cabai, dari hasil panen lebih kurang 3.000 batang tanaman, mampu membeli 2 unit sepeda motor (harga cabai tingkat petani Rp 18.000/kg). Pengalaman tersebut membuktikan bahwa teknologi yang diterapkan dapat memberikan keuntungan.
Langkah-langkah pengendalian virus kuning cabai yang dianjurkan tersebut adalah sebagai berikut :
• Perendaman benih dengan larutan PGPR (20 ml Pseudomonas fluorescens) selama 6 – 12 jam,
• Mengerudungi pesemaian sejak benih di sebar dengan menggunakan kain sifon/ kelambu/kasa halus yang tembus sinar matahari, guna mencegah kutu kebul masuk untuk menginfeksi pesemaian. Lindungi pesemaian dengan pestisida nabati,
Pengerodongan pembibitan cabai dalam rumah kasa (atas) dan
model tunnel (bawah)
Sampai sekarang, petani umumnya belum mengetahui pembuatan pengerodongan pembibitan cabai yang memenuhi standar baik model rumah maupun model tutup keranda (tunnel) untuk mencegah tanaman terhindar dari vektor dan infeksi virus kuning. Untuk itu perlu alokasi dana guna pengadaan rumah kasa percontohan standar terutama bagi kelompok tani di daerah sentra dan pengembangan cabai yang kronis virus kuning
• Pemberian pupuk kandang yang matang atau kompos minimal 20 ton/ha dan menggunakan plastik perak sebagai mulsa,
• Sanitasi lingkungan kebun, terutama gulma bebadotan dan bunga kancing yang dapat berperan sebagai inang alternatif bagi virus dan vektor, dan eradikasi tanaman terserang dengan segera lalu dimusnahkan,
• Menanam 6 baris tanaman jagung 2-3 minggu sebelum tanaman cabai disekeliling kebun, dengan jarak tanam rapat (15-20 cm). atau tanaman border lain Orok-orok (Clorotoria sp) dan tanaman perangkap tagetes,
6 baris Tanaman border jagung (kiri) dan Orok-orok (kanan)
ditanam di sekeliling pertanaman cabai
• Memasang perangkap likat sebanyak 40 lembar/ha digantung atau dijepit pada kayu/bambu setinggi 30 cm di atas kanopi tanaman,
• Melepaskan predator Monochilus sexmaculatus (kumbang macan) 1 ekor/10 m2 dua minggu sekali,
• Aplikasi pestisida (50-100 lembar daun sirsak atau daun tembakau/5 liter air + 15 gr sabun colek) atau 20 gr biji atau 50 gr daun nimba + 1 gr sabun colek/liter air). Ramuan ditumbuk halus, dicampur air, disaring, dan direndam 1 malam,
• Selain itu menggunakan ekstrak bunga pukul empat dan bayam duri sebagai induser mulai dari pembibitan hingga pembungaan minimal 2 minggu sekali.
Kesimpulan dan Saran
Sejalan dengan perluasan penanaman tanaman cabai di daerah sentra produksi untuk memenuhi permintaan konsumen yang meningkat setiap tahun, maka diprakirakan luas dan daerah sebaran virus kuning ke depan akan meningkat pula, terutama apabila upaya pengendaliannya tidak mendapat perhatian serius dan tidak adanya awareness dan rapid respon yang memadai dari para pihak. Oleh karena itu koordinasi antara pusat dan daerah dalam menyusun program pengendalian perlu terus ditingkatkan dan dikembang-kan, termasuk alokasi dana operasional pengendalian yang memadai, diantaranya alokasi dana untuk pengadaan rumah-rumah kasa percontohan bagi kelompok tani di daerah endemis virus kuning cabai. Selain itu supaya permohonan dan harapan terwujud, perlu pula mandekatkan diri kepada kemauan Yang Maha Kuasa dan mensyukuri atas ni’matnya dengan kerja keras meningkatkan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi kerja yang tulus dan baik dalam mendorong, membina, dan melaksanakan kegiatan perlindungan tanaman yang sebaik-baiknya.
.
Jakarta, Juni 2008
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura
Ir. Irwan Adam dan Ir. Siswanto Mulyaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bacalah....