Mengenai Saya
Sabtu, 11 Februari 2023
Tetangga menikahkan putrinya
SISTEM MITIGASI PENYIAPAN PRODUK EKSPOR HORTIKULTURA DARI DAERAH PREVALENSI OPT RENDAH
Oleh : Siswanto Mulyaman –
Fungsional Pengendali OPT (POPT) Madya,
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura
Sinar Tani, No. 3254 : 28 Mei - 3 Juni 2008
Dengan adanya tekanan perdagangan internasional melalui penerapan prinsip kesehatan tumbuhan (Sanitary and Phytosanitary, SPS) pada umumnya, sistem pendekatan yang terpadu telah menjadi kebutuhan terutama dari sisi pengurangan risiko berkembangnya organisme pengganggu tumbuhan (OPT) baru, antara lain melalui penyediaan data biologis OPT dalam proses penilaian risiko (a biological basis to risk assessment). Sistem mitigasi adalah sistem peringatan melalui serangkaian kegiatan yang secara kumulatif memperoleh hasil maksimal dibandingkan satu sara tunggal. Dalam pengelolaan OPT sistem ini dapat dilakukan melalui program penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) skala luas, dan telah dikembangkan lebih luas dalam menjawab tantangan perdagangan global tersebut (Jang dan Moffit, 1994).
Sistem mitigasi ini dikembangkan paralel dengan upaya-upaya penerapan PHT dan mendukung pemenuhan persyaratan SPS serta penerapan prinsip budidaya tanaman sehat sesuai prinisp GAP (Good Agricultural Practices) dan standar prosedur operasionalnya (SOP). Sistem PHT yang dilaksanakan Indonesia sejak tahun 1989 melalui program Nasional PHT hingga saat ini, telah meletakkan dasar pemberdayaan petani dalam berusahatani yang didasarkan kepada analisis agroekosistem dan kelestarian sumberdaya alam, melalui pemanfaatan unsur pengendali alami dalam menekan perkembangan OPT. Dalam per-kembangan selanjutnya, penerapan PHT dikembangkan dalam areal yang luas (kawasan) untuk menangani OPT di kawaan. Penerapan PHT skala luas tersebut idealnya dapat dikembangkan dalam rangka penyiapan produk untuk ekspor.
Tulisan ini memaparkan berbagai prosedur kompleks yang merupakan metode yang menjamin hubungan investasi OPT dapat diminimalisasi, antara lain melalui sistem mitigasi penerapan PHT skala luas (Area Wide Integrated Pest Management, AWIPM) dalam mengurangi risiko OPT seperti hama lalat buah (Tephrididae) di daerah dengan prevalensi lalat buah rendah (Area of Low Pest Prevalence. ALPP).
Konsepsi Penerapan PHT Skala Luas
Program pengembangan agribisnis hortikultura berbasis kawasan hortikultura saat ini telah dicanangkan oleh Direktur Jenderal Hortikultura. Konsepsi kawasan ini terletak pada ruang geografis yang dideliniasi oleh ekosistem yang disatukan oleh fasilitas infrastruktur yang sama sehingga membentuk kawasan yang berisi berbagai kegiatan usaha berbasis hortikultura melalui penyediaan sarana produksi, budidaya, penanganan dan pengolahan pasca panen, pemasaran serta berbagai kegiatan pendukungnya. Konsepsi atau lebih tepat disebut sebagai pendekatan sistem pengelolaan terpadu mulai periode pratanam, pertanaman, penanganan dan pengolahan pasca panen dan pemasarannya yang dilaksanakan dengan dukungan infrastruktur sistem produksi, investasi dan sistem jaminan mutunya.
Dalam aspek produksi, penerapan GAP dan teknologi maju merupakan langkah operasional yang perlu dilakukan, sehingga memperoleh hasil yang tinggi dan mutu produk yang baik. Dalam aspek distribusi, penataan dan pengembangan pengelolaan rantai pasokan (Supply Chain Management / SCM) merupakan langkah penataan rantai distribusi dan pemasaran, yang mampu menjamin keberlanjutan produksi dan ke-puasan produsen, pedagang dan konsumen. Ketiga aspek tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang ada, baik lingkung-an domestik maupun global, serta keberadaan potensi, tantangan dan peluangnya.
Tantangan di bidang perlindungan tanaman dalam mendukung pengembangan agrisbisnis hortikultura adalah penerapan PHT. Penerapan PHT skala luas sesungguhnya dapat menjawab tantangan tersebut. Salah satu contoh negara yang berhasil mengembangkan sistem mitigasi ini adalah Hawai. Penerapan PHT skala luas atau Area Wide Integrated Pest Management (AWIPM) telah diterapkan di kawasan produksi pepaya yang disiapkan untuk ekspor ke USA. Sementara hambatan utamanya adalah adanya lalat buah mediterranean fruit fly, Ceratitis capitata (Medfly).
Beberapa hal penting yang perlu dilakukan untuk menginisiasi mitigasi sistem AWIPM antara lain adalah melakukan penilian risiko (Risk Assessment), cara mitigasinya, sistem perkarantinaan yang diterapkan, dan pengembangan keterpaduan langkah yang perlu dilakukan membangun sistem mitigasi tersebut.
Penilaian Risiko OPT (Pest Risk Assessments)
Untuk tujuan penilaian yang memadai karena ancaman OPT, beberapa negara melaksanakan penilaian risiko OPT (Pest Risk Assessments), yaitu suatu metode untuk menentukan secara relatif potensi risiko masuknya OPT ke wilayah produksi dari perdagangan yang dilakukan. Apabila suatu OPT telah diketahui dan berpotensi tinggi mengancam sistem budidaya dan perdagangan karena kemampuan bertahannya diperkirakan mengancam sistem budidaya, maka OPT tersebut dikategorikan sebagai OPT karantina (OPTK). Kategorisasi kelompok jenis OPT sebagai OPTK atau non OPTK penting dilaku-kan sebagai proses awal (initiation), proses selanjutnya penilaian risiko (risk assessment) terkait dengan kemungkinan berkembang, menetap dan menyebarnya, serta kemungkinan opsi yang dimintakan untuk pengelolaan OPT (risk management). Proses tersebut telah diatur dalam standarnya, yaitu International Standard on Phytosanitary Measures (ISPM) yang dihasilkan melalui konvensi perlindungan tanaman internasional (International Plant Protection Convention, IPPC, 1997) oleh Negara-negara anggota organisasi perdagangan dunia (World Trade Organizarion, WTO). Sampai saat ini sekurang-kurangnya telah diterbitkan 29 standar ISPM yang diberlakukan untuk mengatur perdagangan hasil tumbuhan.
Mitigasi Risiko OPT (Mitigation of Pest Risk)
Mitigasi risiko OPT adalah tanggung jawab negara-negara pengimpor produk dalam menentukan produk impor boleh masuk ke negaranya. Termasuk dalam kategori mitigasi sistem ini adalah persyaratan suatu produk yang akan diekspor dari daerah bebas OPT tertentu (Pest Free Area, PFA), daerah/tempat produksi bebas OPT (Pest Free Production Site, PFPS), daerah prevalensi OPT rendah (Area of Low Pest Prevalence, ALPP) dan diperlukannya tindakan karantina, seperti fumigasi, perlakuan panas dan dingin (hot and cold treatments), iradiasi, dsb. Pendekatan sistem mitigasi kompleks (multiple mitigation systems approaches) lainnya yang secara kumulatif dapat menurangi/ mencegah risiko OPT pada areal produksi adalah penerapan AWIPM dalam mitigasi risiko OPT yang invasif.
Pendekatan sistem untuk keamanan perkarantinaan
Penerapan sistem mitigasi risiko OPT ini bukanlah konsep baru, tetapi telah popular sejak 20-30 tahun lalu sebagai suatu kebutuhan pengambilan keputusan pencegahan OPT berdasarkan aspek biologi dalam melakukan analisis risiko. Namun demikian, perlakukan tunggal di bidang perkarantinaan yang saat ini masih tetap berlangsung, seperti perlakuan fumigasi dengan metil bromida (saat ini penggunaannya dibatasi hanya untuk tindakan karantina yang terkontrol) terutama untuk pengendalian OPT pasca panen. Dalam penanganan OPT semacam ini diperlukan pendekatan terpadu, mulai tindakan pra dan pasca panen, pengepakan dan perdagangan yang dipersyaratkan ketentuan perkatantinaan. Lebih jauh, IPPC telah menetapkan pendekatan sistem, yaitu integrasi pengelolaan terpadu berdasarkan pertimbangan yang layak di bidang perlindungan tanaman (Appropriate Level of Phytosanitary/Protection, ALOP) seperti yang diatur dalam ISPM No. 14, tahun 2002. Penetapan ALOP masing-masing negara berbeda-beda berdasarkan pertimbangan penentu kebijakan yang kompeten.
Pendekatan sistem terpadu selayaknya mengintegrasikan aspek biologi, fisik, dan faktor operasional yang berpengaruh kepada biologi OPT terkait hubungannya dengan lingkungannya, kemampuan bertahannya, dan cara penanganan risikonya. Hal ini telah ditetapkan dalam ISPM No. 14, tentang integrasi aturan dalam pendekatan sistem pengelolaan risiko OPT (The use of integrated mesures in a system approach for pest risk management).
Komponen Sistem Mitigasi
Bagan 1 menunjukkan contoh bagaimana pendekatan sistem dilaksanakan pada suatu komoditas dengan target OPTK tertentu. Komponen sistemnya sangat luas, tetapi secara umum dimulai dengan identifikasi OPT, pengetahuan dasar biologi OPT termasuk hubungannya dengan lingkungan terutama tanaman inangnya, penyebaran OPT, inang alternatif, habitat dan dinamika populasinya. Sejak dini, deteksi dan surveilans OPT sesuai standar internasional (ISPM No. 6), sangat penting dilakukan untuk mengetahui/meng-identifikasi jenis OPT secara pasti dan scientific (ilmiah), disebut pula sebagai “ambang terjadinya OPT (Pest Incidence Threshold, PITs)”.
Komponen lainnya adalah tindakan pasca panen, pengepakan, penjualan produk dan aspek regulasinya seperti sertifikat kesehatan tumbuhan (Phytosanitary Certificate) dari dan oleh negara pengimpor dan pengekspor. Pendekatan sistem ini secara umum cukup rumit dilakukan dibandingkan dari pada hanya mengandalkan satu tindakan pasca pangan tunggal. Secara skematis sistem mitigasi penanganan produk untuk ekspor seperti bagan 2.
PHT dan PHT Skala Luas (Integrated Pest Management (IPM) and Area-Wide Inte-grated pest management, AWIPM)
Pengendalian OPT di lapangan selalu menjadi dasar pencapaian sasaran produksi pertanian. PHT dilaksanakan dengan cara memadukan berbagai cara yang dilandasi pertimbangan informasi biologi OPT melalui pengendalian populasi di bawah ambang ekonominya. PHT telah menjadi satu alat kontrol penanganan OPT dan menjawab berbagai masalah yang berkembang, seperti berkembangnya berbagai cara pengendalian dengan pestisida (pestisida penggunaannya harus makin dikurangi), terjadinya resistensi/resurjensi OPT dan berkembangnya pertanian organik. Prinsip PHT tergantung pada pengelolaan biologi untuk pengambilan keputusan (melalui survei, ekologi, dsb.) dibandingkan cara pengendalian konvensional yaitu penggunaan pestisida secara kalender. Di samping itu, pendekatan PHT didasarkan kepada pengelolaan risiko dibandingkan cara eradikasi total terhadap OPT. Sistem PHT memadukan cara-cara pengendalian yang ada (biologi, kimia, dan budidaya, dsb.) dan menjamin tercapainya kelangsungan budidaya pertanian yang berwawasan ekologi dan ekonomi.
PHT skala luas (AWIPM) merupakan bagian penting dari pendekatan penerapan PHT, terutama terkait dengan OPT tertentu yang memiliki kisaran inang yang sangat luas dan tidak dapat dikendalikan pada suatu kawasan usahatani seperti lalat buah. Penerapan AWIPM dapat kompatibel dengan sistem keamanan perkarantinaan melalui upaya memperkecil risiko timbulnya OPT pada setiap pintu masuknya (pathway), mulai tingkat produksi sampai produk siap diekspor. Dengan mengurangi tingkat populasi sejak dini pada semua pintu masuk mulai proses produksi sampai proses pemasaran, kemungkinan risiko masuknya OPT dapat diminimalisasikan.
Berikut adalah mitigasi saat pra dan pasca panen dalam pendekatan sistem AWIPM dalam penanganan hama lalat buah (medfly) di Hawai pada komoditas pepaya, yaitu :
Mitigasi lapangan pada prapanen :
· Monitoring dan deteksi lapangan untuk menentukan tingkat populasi OPT,
· Pemerangkapan dan pengumpulan koleksi dengan jaring serangga, survey, sampling buah terserang saat panen untuk mengetahui pemicu timbulnya serangan OPT,
· Perlakuan lapangan seperti pemasangan umpan, penyemprotan pestisida, perlakuan terhadap buah gugur, pengantongan buah, sterilisasi serangga, dan pengendalian hayati,
· Mitigasi lapangan lainnya seperti pembebasan OPT di areal pertanaman inang utama atau inang lain melalui pengembangan daerah bebas OPT, penggunaan kultivar resisten, daerah bebas OPT atau daerah tempat/lokasi produksi bebas OPT, daerah dengan prevalensi OPT rendah, dsb.
Cara pengumpulan populasi lalat buah
Identifikasi jenis OPT dengan pakar
Mitigasi pascapanen :
· Pengawalan (safeguarding) produk dari infestasi lalat buah, mulai panen-pengepakan-ekspor
· Inspeksi kerusakan pada saat proses pengimporan atau pengeksporan,
· Pemanenen buah yang baik
· Volume pengapalan/tipe/pelabuhan masuk sesuai kesepakatan dengan negara pengimpor
· Tingkat kematangan buah yang dipersyaratkan (1/4 masak atau kurang)
· Persyaratan izin, audit fumigasi, pelabelan, dsb.
Strategi Karantina dalam Pengembangan Ekspor
Perdagangan ekspor selalu membutuhkan keterlibatan institusi pengatur, yaitu institusi negara yang bertanggungjawab terhadap pengaturan boleh tidaknya komoditas impor masuk ke wilayah negaranya. Di berbagai negara atau bagian negara dalam kawasan suatu negara telah melakukan harmonisasi prosedur dan aturan kesehatan tumbuhan (phytosanitary) sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh WTO. Beberapa negara seperti China melalui AQSIQ (Administration Quality Service and Information Quarantine), Amerika Utara melalui NAPPO (North American Plant Protection Organization), New Zealand melalui Departemen Pertanian-nya, AQIS (Australia Quarantine Information Service), atau Indonesia melalui Badan Karantina Pertanian adalah otoritas perlindungan tanaman yang bertanggung jawab melakukan pengaturan perdagangan internasional atas masuknya berbagai produk ke negaranya masing-masing. Kadang-kadang organisasi ini dapat berupa organisasi regional yang telah melakukan harmonisasi sistem SPS. Organisasi-organisasi tersebut sering memerlukan berbagai informasi terkait komoditas yang masuk ke wilayahnya, antara lain tentang :
· Identifikasi jenis lalat buah oleh negara pengimpor melalui NPPO
· Rancangan prosedur mitigasi yang diusulkan,
· Penilaian biaya dan keuntungan,
· Dokumentasi yang baik dari system mitigasinya,
· Penggalian data sesuai standar internasional (harus ilmiah)
· Publikasi/laporan tentang efektivitas mitigasi,
· Pengujian sistemnya,
· Penilaian Risiko Analisa OPT (Pest Risk assessment / PRA)
· Mitigasi OPT lain dalam PRA yang dilakukan,
· Penulisan proposal/rencana tindak lanjutnya.
Rencana tindak lanjut dan proposal yang teliti dan cermat dan masukan informasi yang lengkap sangat diperlukan dari entitas pengekspor serta verifikasi barang oleh otoritas pengimpor untuk pengujian dan pembuktian lebih lanjut. Secara umum, tanggung jawab untuk memberikan bukti yang memuaskan terletak kepada pengekpor untuk menunjukkan bahwa komoditas dan sertifikat yang dipersyaratkan haruslah sesuai dengan tingkat risiko yang diminta oleh negara pengimpor.
Salah satu contoh pendekatan sistem mitigasi mulai pra-panen adalah ekpor pepaya dari Hawai ke USA yang harus memenuhi ketentuan USDA (USDA 7CFR 319.56-2W), sebagai berikut :
· Komoditas yang diekspor ke USA adalah papaya (Carica papaya L.) dari daerah yang telah disepakati
· OPT yang diwaspadai adalah mediterranean fruit fly, Ceratitis capitata (Medfly)
· Aturan mitigasi utama/pokok yang diperlukan : komoditas yang diperdagangkan adalah papaya, dari daerah prevalensi OPT rendah, pada kultivar khusus, tingkat kematangan buah khusus yang dipersyaratkan, dilakukannya tindakan pencelupan/perendaman buah dalam air panas (suhu tertentu), dan dilakukan sesuai ketentuan audit fitosanitari.
· Secara khusus ketentuan mitigasi tersebut meliputi :
- persyaratan tipe papaya yang dikapalkan ke USA dari wilayah area/negara yang ditentukan, 30 hari sebelum panen haruslah bebas dari pepaya yang ½ matang atau lebih, semua buah jelek/jatuh dimusnahkan dari lapangan,
- perendaman buah dalam air hangat selama 20 menit pada suhu 49o C,
- hanya papaya yang < ½ matang dan bebas OPT yang boleh dipak,
- pengawasan sampah papaya dari paparan lalat buah sejak panen sampai pengeksporan,
- tidak boleh ada buah lain dalam barang kiriman dengan tanda tidak diperjualbelikan untuk Hawai,
- semua pengapalan barang dilengkapi sertifikat fitosanitari dari menteri Pertanian,
- mulai 1 tahun sebelum panen harus dilakukan :
§ pemerangkapan lalat buah di lapangan dengan ketentuan : 1 trap/ha dipantau setiap minggu (setiap trapping/ha/minggu) oleh Departemen Pertanian,
§ komposisi trapping : 50% McPhail trap dan 50% Jackson trap,
§ pemicu/trigger : 7 ekor/trap/minggu, mulai dilakukan pengendalian apabila tertangakap > 7 ekor/trap/minggu s/d < 14 ekor/trap/minggu dan tidak dilakukan importasi, serta boleh dilakukan importasi dari daerah produksi apabila tangkapan lalat buah < 7 ekor/trap/minggu (nilai hasil tangkapan ini merupakan implikasi dari tingkat prevalensi OPT yang disepakati)
Prosedur mitigasi lain dapat dilaksanakan apabila pihak pengimpor mempertimbang-kan secara cermat tingkat risiko yang dapat diterima secara wajar (appropriate low of protection, ALOP) tidak dipenuhi. Pihak eksportir disarankan untuk selalu menghubungi kantor perdagangan internasional untuk memenuhi semua ketentuan yang ada termasuk apabila terjadi perubahan-perubahan.
Implikasi penerapan PHT skala luas (AWIPM) di Indonesia dalam penyiapan produk eksor
Penerapan PHT skala luas (AWIPM) yang perlu dilakukan di Indonesia adalah upaya-upaya untuk mengembangkan sistem terpadu mulai tingkat budidaya (pra panen), penanganan panen dan pasca panen, serta sertifikasi untuk produk potensial ekspor, seperti mangga atau paprika.
Penerapan PHT skala luas yang dikembangkan haruslah mulai dari upaya mem-bangun kepedulian petani/masyarakat (public awareness) tentang perlunya menangani lalat buah, dengan melakukan pemasangan perangkap lalat buah di kawasan. Kepedulian masyarakat dapat dibangun melalui pola sekolah lapangan PHT (SLPHT).
Prosesnya adalah kelompok-kelompok kecil petani (sebagai unit inti SL) melakukan proses SLPHT dan diskusi-diskusi membahas penanganan lalat buah dengan perangkap beratraktan seperti methyl eugenol, dsb. Selanjutnya, gerakan penanganan lalat buah ini dikembangkan oleh kelompok inti oleh alumni SLPHT ke kelompok-kelompok lainnya sehingga mencakup kawasan komoditas yang lebih luas. Materi SL yang dibahas oleh petani dengan bimbingan Pemandu (fungsional Pengendali OPT/POPT-Pengamat Hama dan Penyakit/PHP), haruslah mencakup upaya penerapan sistem budidaya yang baik sesuai GAP dan SOP-nya (standar operasional prosedur), upaya membangun kepedulian petani melakukan pemerangkapan lalat buah, cara pemrosesan hasil panen yang baik, dsb.
Pengendalian lalat buah di lapangan dilakukan dengan menerapkan teknologi dan cara yang minimal menggunakan bahan kimia (insektisida) yang dapat mempengaruhi penilaian pasar karena residu pestisidanya dan sesuai hasil kajian bahwa populasi lalat buah telah melampaui ambang batas yang dipersyaratkan dan disepakati negara pengimpor. Pengendalian yang dilakukan inipun dilakukan berdasarkan pertimbangan pemantauan dan analisis populasi dalam proses SLPHT yang berlangsung.
Hal penting yang perlu dilakukan dalam SLPHT skala luas dalam pendekatan sistem ini adalah tersedianya hasil-hasil pencatatan setiap kegiatan yang dilakukan seperti yang dipersyaratkan dalam GAP, termasuk catatan hasil pemerangkapan lalat buah (ekor/ perangkap/minggu) yang dipantau dan dibina secara baik oleh petugas lapang (POPT-PHP). Koleksi dan identifikasi jenis lalat buah juga perlu dilakukan oleh petugas dengan bimbingan ahli taksonomi serangga (entomolog) dan ahli penyakit (/fitopatolog). Hasil-hasil tangkapan, koleksi dan identifikasi spesies lalat buah tersebut merupakan bukti ilmiah yang nantinya diperlukan dalam negosiasi perdagangan dengan negara pengekspor. Dalam hal ini, perlu diketahui pula tingkat populasi tangkapan lalat buah yang dapat diterima dari negara pengimpor (ekor/perangkap/minggu).
Proses selanjutnya yang mempengaruhi suatu produk diterima oleh negara pengimpor adalah penanganan pasca penen dan pengangkutan yang baik serta persyaratan tindakan karantina yang dipersyaratkan oleh negara pengimpor. Dalam sistem yang terpadu ini, mulai proses penanganan pasca panen, haruslah dilibatkan eksportir yang kapabel dan memahami prosedur karantina yang berlaku.
Kesimpulan
Pengelolaan OPT pada pra dan pasca panen merupakan suatu hal yang kritis dalam pemenuhan prosedur standar karantina untuk mencegah masuknya OPT invasif. Pendekatan penerapan PHT dan PHT skala luas (AWIPM) dapat dipadukan dalam kerangka mengurangi risiko OPT yang terjadi mulai pra panen sampai pasca panen, melalui prosedur mitigasi yang kompleks. Salah satunya adalah memadukan berbagai cara pengendalian lalat buah dalam area yang luas dan dilaksanakan dengan pola sekolah lapang. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah deteksi dan surveilans OPT, trapping, pemberian makanan (baiting) lalat buah, sanitasi lingkungan, pelepasan serangga jantan mandul (dihasilkan melalui teknologi sterilisasi serangga, Sterile Insect Technology, SIT), dan cara-cara budidaya sesuai prinsip GAP termasuk penanganan produk yang baik Good Handling Practices/GHP, Good Manufacturing Practices/GMP, dan Good Trading Practices/GTP, dsb. Dengan pendekatan sistem mitigasi tersebut, serangkaian kegiatan pemenuhan produk untuk ekspor dapat dilaksanakan dengan baik oleh semua pelakunya mulai tingkat budidaya sampai produk diperdagangkan.
Jakarta, Mei 2008
Siswanto Mulyaman – Fungsional Pengendali OPT Madya,
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura
BELAJAR DARI KERUGIAN PETANI CABAI
Oleh : Irwan Adam 1), Siswanto Mulyaman 2)
1) Staf Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura
2) Fungsional Pengendali OPT (POPT) Madya, Direktorat Perlindungan Tanaman
Hortikultura
Sinar Tani No. 3258 : 25 Juni - 1 Juli 2008
Belajar dari pengalaman terjadinya serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada komoditas strategis di beberapa daerah terutama yang berdampak kepada terganggunya pasokan kepada konsumen, sistem mitigasi dan pengelolaan OPT perlu terus menerus disosialisasikan kepada para pihak, sehingga timbul sikap kewaspadaan (awareness) dan cepat anggap (rapid respon) dari para pihak untuk mengambil langkah-langkah antisipasi dan terkoordinasi. Alasan terkait ketidaktahuan timbulnya serangan, gejala, sifat, karakteristik dan dampak serangan OPT, perlu dijawab dengan upaya mendudukan kembali kepada kewenangan dan tanggung jawab operasional pengendalian OPT sesuai peraturan yang ada.
Tulisan ini tidak bermaksud mencari-cari kesalahan, melainkan mencoba menjelaskan permasalahan yang muncul di lapangan baik langsung atau tidak langsung ikut berperan ”memicu” berkembangnya epidemi penyakit virus kuning dalam 5 tahun terakhir (2003 – 2007) di Indonesia. Dengan demikian pengelolaan OPT pada tanaman cabai ke depan makin baik, sehingga keberlangsungan agribisnis cabai berkelanjutan dan menguntungkan petani.
Pendahuluan
Manusia hidup di dunia tidak boleh berhenti untuk belajar baik melalui pendidikan formal di ruang kelas maupun dengan pertemuan tidak formal di bilik-bilik balai desa atau di alam terbuka, secara otodidak perorangan ataupun kumpul bersama teman di bawah bimbimingan guru. Tujuan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam rangka merubah sesuatu yang belum baik menjadi lebih baik, namun begitu belajar tidak hanya dari pengalaman orang yang sukses, tetapi bisa juga dari orang yang mengalami kegagalan guna mengetahui penyebab dan menghindari kegagalan tersebut supaya tidak terulang kembali, sehingga keberuntungan dapat diraih
Demikian pula kita bisa belajar dari kejadian buruk yang menimpa petani cabai akibat mewabahnya serangan penyakit virus kuning di hampir seluruh daerah sentra produksi dan pengembangan cabai di Indonesia, sehingga pada tahun 2007 kerugian petani tercatat Rp 20 Miliyar lebih. Musibah ini merupakan isyarat alam bagi petugas Deptan di pusat dan daerah untuk menjadikannya sebagai pelajaran atau bahan renungan, mengapa penyakit yang disebabkan oleh geminivirus yang awal serangannya pada tahun 2003 terbatas di Kabupaten Magelang – Provinsi Jawa Tengah, kini penyebaran dan luas serangannya sudah bertambah hampir seluruh daerah tanaman cabai di bumi Nusantara. Akibatnya, tidak hanya berdampak buruk terhadap ketersediaan cabai (rantai pasokan) di pasaran tidak lancar, yang kemudian memicu terjadinya harga yang tinggi, terutama menjelang hari-hari besar keagamaan dan nasional, juga prihatin terhadap kehidupan petani karena besarnya kerugian yang diderita akibat usahataninya mengalami gagal panen atau puso. Bahkan sebagian petani mengalami trauma untuk menanam cabai, lalu beralih usahatani pada komoditas pertanian lain.
Kata orang bijak, pengalaman adalah guru yang terbaik. Belajar dari kejadian tentang kurang berhasilnya petugas pertanian di pusat dan daerah dalam koordinasi penanggulangan serangan penyakit virus kuning pada tanaman cabai, hingga menimbulkan kerugian puluhan miliyar bagi petani. Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman buruk tersebut diharapkan menjadi bahan kajian berharga bagi petugas pertanian untuk pembinaan dan bimbingan para pelaku agribisnis cabai ke depan, sehingga hasil jerih payah dalam berusahatani mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga petani, dan kalaupun terserang OPT tidak sampai menimbulkan kerugian secara ekonomi.
Mengenal Gejala Serangan Virus Kuning
Ketika mulai hebohnya serangan virus kuning cabai di Jateng, DIY, dan Lampung Barat (2003-2004), Ditlintan Hortikultura telah mengingatkan daerah sentra produksi dan pengembangan cabai untuk waspada terhadap bahaya penyakit virus kuning cabai dan mengambil langkah operasional secara nyata dan koordinatif. Kurangnya tanggapan dan langkah operasional yang memadai dari semua pihak di daerah, menyebabkan penyebaran virus kuning cabai ini meluas ke seluruh daerah sentra produksi dan pengembangan cabai. Seyogyanya, sejak dini masalah ini dapat ditanggulangi melalui upaya pengendalian vektor dengan menerapkan teknologi yang ada dan telah dikenal petani dan pemberdayaan petani melalui sekolah-sekolah lapang PHT (SLPHT). Sayangnya respon para pihak terhadap serangan virus gemini ini masih kurang bahkan memandang tidak berpengaruh banyak terhadap produksi. Kurangnya awareness dan rapid response dari para pihak ini menyebabkan virus gemini terus berkembang dan potensial mengancam upaya pengembangan agribisnis cabai.
Pengalaman ini menunjukkan, banyak petugas lapang belum paham betul dengan gejala serangan virus kuning, sehingga di lapangan rancu dengan gejala virus lain pada cabai (Mosaic virus, virus keriting, kerupuk, dll). Akibatnya, laporan virus kuning yang masuk ke pusat juga relatif sedikit. Namun setelah dilakukan monitoring, pembinaan dan bimbingan dari pusat ke daerah, telah banyak daerah yang melaporkan serangan virus kuning.
Dari gejalanya, virus ini terjadi sejak di pembibitan sampai periode pertumbuhan vegetatif dan pembungaan. Gejala khas yang terlihat pada tanaman sakit di lapangan adalah klorosis atau kuning pucat antar vena daun, daun menguning cerah, daun melekuk ke atas atau ke bawah, daun meyempit, tanaman kerdil disertai pertumbuhan daun muda yang kecil-kecil banyak, bunga rontok, dan akhirnya tanaman tinggal ranting dan batang saja, kemudian mati. Namun di lapangan tidak semua daun menunjukkan kuning cerah, tergantung respon varietas, tinggi tempat dan agroklimatnya.
Tindakan korektif yang dinilai efektif menekan penularan penyakit lebih lanjut adalah pencabutan dan pemusnahan (eradikasi) tanaman sakit dan pengurangan infestasi vektor. Sebab bila dibiarkan hidup, tanaman tidak akan menghasilkan atau gagal panen (puso). Sedangkan bila gejala serangan baru terlihat saat berbunga, hasil panennya masih bisa diharapkan di atas 50 %.
Perkembangan Virus Kuning
Patogen penyebab penyakit virus kuning adalah Geminivirus “TYLCV” (Tomato Yellow Leaf Curl Virus). Penyakit dari group Begomovirus ini tidak ditularkan melalui biji, tetapi dapat menular melalui penyambungan dan tusukan kutu kebul (Bemisia tabaci) yang hingga kini diketahui merupakan penular efektif dari satu tanaman ke tanaman lain. Terlebih kutu kecil berwarna putih ini termasuk folifag menyerang berbagai jenis tanaman, antara lain tanaman hias, sayuran, buah-buahan, maupun tanaman liar dan gulma. Khusus tanaman budidaya yang menjadi inangnya meliputi, tomat, cabai, kentang, mentimun, terung, kubis,buncis, selada, bunga potong Gerbera, ubi jalar, singkong, kedelai, tembakau, dan lada sedangkan tanaman yang disukai adalah babadotan (Ageratum conyzoides). Pengendalian terhadap serangga vektor yang hanya mengandalkan pestisida kimia saja terbukti kurang efektif karena tubuhnya berlapis lilin, kemampuan terbang tinggi, juga diketahui relatif resisten terhadap pestisida kimia.
Melihat sejarah perkembangannya, penyakit ini cepat menyebar dari satu negara ke negara lain, sehingga penyebarannya di berbagai Negara di dunia tercatat sebagai berikut, di Asia 37 negara, Afrika 39 negara, Eropa 26 negara, Amerika 30 negara dan Oceania 14 negara. Awal infeksi geminivirus pada cabai dilaporkan di Mexiko tahun 1990 dan, Texas 1996, Thailand 1997, dan Indonesia 2003. Kurangnya kesadaran terhadap bahaya penyebaran penyakit yang ditularkan dengan lincah oleh serangga vektor dari tanaman ke tanaman dari daerah terserang ke daerah lain yang masih sehat, menyebabkan luas serangan dan daerah sebarannya meningkat cepat.
Di Indonesia. awal mula serangan virus kuning terjadi pada 2003 terbatas di Magelang, Jateng, Sleman, DIY, dan setelah 5 tahun terakhir (2003 – 2007) perkembangan virus kuning makin bertambah hingga 14 provinsi, meliputi NAD, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, Kaltim, Sulut, Maluku, Gorontalo, Irjabar. Luas tambah serangan virus kuning cabai pada tahun 2003 seluas 884 ha dan pada tahun 2007 meningkat tajam hingga mencapai 3.015,05 ha, terluas terjadi di Jateng 1.071,6 ha, NAD 404 ha dan Jabar 307 ha. Menurut laporan Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura (Ditlintan Hortikultura), bahwa total kerugian pada tanaman cabai akibat serangan virus kunig pada tahun 2007 tercatat lebih dari 20 Miliyar rupiah (harga cabai tingkat petani Rp 6.000/kg), terbesar terjadi di Jateng di atas 5 Miliyar rupiah, Jatim di atas 4 Miliyar rupiah dan Nad di atas 3 Miliyar rupiah.
Pokja Virus kuning
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura dengan daya dan kemampuan yang ada selama lima tahun terakhir telah berusaha maksimal untuk mensosialisasikan upaya penanggulangan penyakit virus kuning cabai setiap tahun anggaran dengan melibatkan instansi terkait di pusat dan daerah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan stakeholder bidang agribisnis sayuran, baik melalui pertemuan formal atau kegiatan non formal lainnya, yaitu meliputi kegiatan-kegiatan : (1) pertemuan Kelompok Kerja (Pokja) Nasional Penanggulangan Penyakit Virus Kuning Pada Tanaman Cabai (sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2008, telah dilaksanakan 6 kali), (2) pertemuan dan sosialisasi di daerah endemis (3 kali), (3) pembinanaan/bimbingan petugas dan monitoring di lahan petani daerah sentra dan pengembangan cabai, (4) penyebaran informasi pengenalan dan pengendalian virus kuning cabai dalam bentuk buku pedoman (3.000 eksp) dan leaflet (1.000 eksp), serta penulisan di koran Sinar Tani (2 kali) dan majalah bulanan Hortikultura (2 kali).
Pertemuan Pokja, menjadi forum andalan dalam menghimpun informasi teknologi dan mencari upaya pemecahan masalah virus kuning. Pada setiap pertemuan para pakar dari perguruan tinggi (IPB, UGM) dan lembaga penelitian (Balitsa-Lembang) dengan praktisi dari jajaran instansi terkait (Diperta/BPTPH), peserta dan narasumber terlibat dalam diskusi intensif memahami fenomena virus kuning cabai. Diskusi hasil-hasil penelitian dan kajian serta pengalaman yang bersifat terapan di lapangan, telah menjadi ”amunisi baru” bagi peserta daerah khususnya bagi daerah endemis virus kuning. Selanjutnya, masukan informasi ini kemudian menjadi bahan perjuangan peserta untuk mengendalikan virus kuning cabai di daerahnya masing-masing. Sampai-sampai Direktur Perlindungan Tanaman Hortikultura setiap kali mengingatkan peserta untuk mencermati diskusi dan memberi penekanan khusus (stressing) agar hasil-hasil Pokja ditindaklanjuti di daerahnya masing-masing. Hal yang diinginkan Direktur adalah menghilangkan kesan bahwa hasil-hasil Pokja tidak ada tindak lanjutnya di daerah. Kegiatan Pokja tidak semata pertemuan rutin tahunan, tetapi perlu tindak lanjut yang memadai dari jajaran perlindungan tanaman dan petani cabai di daerah untuk menerapkan teknologi yang direkomendasikan.
Rumusan Pokja pada tahun ke empat (2008) telah menghasilkan anjuran teknologi terapan pengendalian virus kuning dan langkah-langkah penerapannya sesuai dengan Pengendalian Hama terpadu (PHT). Bila petani mau melaksanakan rekomendasi pengendalian secara utuh dengan baik dan benar (mulai para tanam sampai dengan panen), hasilnya mampu menekan serangan virus kuning antara 60 – 80 %. Namun sayangnya, baru sebagian kecil petani di daerah endemis yang telah melaksanakan anjuran teknologi pengendalian virus kuning cabai. Hal ini mungkin terjadi karena daerah masih kurang antisipasi terhadap bahaya virus kuning, lemahnya koordinasi pengendalian antar petugas lapang di daerah dan belum seriusnya perhatian pemegang kebijakan terhadap kehilangan hasil akibat virus kuning cabai.
Tindakan antisipatif melalui pengaturan pola tanam
Tanaman cabai dikonsumsi dalam bentuk segar dan tidak dapat disubsitusi dengan bahan lain, maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang meningkat tiap tahun, ketersediaan tanaman cabai harus ada sepanjang tahun sebagaimana diatur dalam quota tanam. Pola pengelolaan quota ini menjadi kunci dari upaya pemenuhan ketersediaan produk cabai. Sayangnya, pengaturan tanam (quota tanam) sering tidak dipatuhi petani terutama saat harga tinggi di pasaran, petani seakan berlomba menanam cabai. Pada kondisi ini akan menyulitkan upaya pengendalian virus kuning di daerah serangan, karena siklus hidupnya tidak terputus sehingga baik inang virus, vektor dan inang vektor selalu ada.
Pemerintah dalam hal ini Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura, sesuai dengan tupoksi melaksanakan kebijakan di bidang perlindungan tanaman, yaitu sebagai fasilitator dan regulator baik kebijakan operasional maupun teknis dalam mendukung keberhasilan program pengembangan agribisnis hortikultura, dan bukan pihak yang bertindak langsung menangani di lapangan. Tanggung jawab di lapangan adalah menjadi tupoksi daerah yang memiliki kewenangan langsung : merencanakan, membina dan mengupayakan agar agribisnis cabai dapat meningkatkan dan mensejahterakan petani serta menyumbang pendapatan asli daerah (PAD). Oleh karena itu, pengelolaan budidaya melalui pewilayahan komoditas dan pengaturan pola tanam yang baik menjadi wewenang pemerintah daerah.
Langkah-langkah pengendalian virus kuning cabai
Teknologi pengendalian penyakit virus kuning pada tanaman cabai ini merupakan penyempurnaan dari hasil penelitian dan kajian para pakar yang berasal dari lembaga penelitian (Balitsa-Lembang), perguruan tinggi (IPB, UGM) dan praktisi di daerah endemis virus kuning. Hasil di lapangan menunjukkan, bahwa apabila petani melaksanakan rekomendasi pengendalian secara utuh (mulai para tanam sampai dengan panen) dengan baik dan benar sesuai PHT, mampu menekan serangan virus kuning antara 60 – 80 %. Bahkan petani di Magelang, Jateng yang lebih menekankan pengendalian pada pengerodongan bibit cabai di pesemaian dengan menggunakan kain sifon/kasa, dan dilapangan dilanjutkan menanam 6 baris tanaman border jagung 2-3 minggu sebelum tanam cabai disekeliling kebun cabai, dari hasil panen lebih kurang 3.000 batang tanaman, mampu membeli 2 unit sepeda motor (harga cabai tingkat petani Rp 18.000/kg). Pengalaman tersebut membuktikan bahwa teknologi yang diterapkan dapat memberikan keuntungan.
Langkah-langkah pengendalian virus kuning cabai yang dianjurkan tersebut adalah sebagai berikut :
· Perendaman benih dengan larutan PGPR (20 ml Pseudomonas fluorescens) selama 6 – 12 jam,
· Mengerudungi pesemaian sejak benih di sebar dengan menggunakan kain sifon/ kelambu/kasa halus yang tembus sinar matahari, guna mencegah kutu kebul masuk untuk menginfeksi pesemaian. Lindungi pesemaian dengan pestisida nabati,
Sampai sekarang, petani umumnya belum mengetahui pembuatan pengerodongan pembibitan cabai yang memenuhi standar baik model rumah maupun model tutup keranda (tunnel) untuk mencegah tanaman terhindar dari vektor dan infeksi virus kuning. Untuk itu perlu alokasi dana guna pengadaan rumah kasa percontohan standar terutama bagi kelompok tani di daerah sentra dan pengembangan cabai yang kronis virus kuning
· Pemberian pupuk kandang yang matang atau kompos minimal 20 ton/ha dan menggunakan plastik perak sebagai mulsa,
· Sanitasi lingkungan kebun, terutama gulma bebadotan dan bunga kancing yang dapat berperan sebagai inang alternatif bagi virus dan vektor, dan eradikasi tanaman terserang dengan segera lalu dimusnahkan,
· Menanam 6 baris tanaman jagung 2-3 minggu sebelum tanaman cabai disekeliling kebun, dengan jarak tanam rapat (15-20 cm). atau tanaman border lain Orok-orok (Clorotoria sp) dan tanaman perangkap tagetes, 6 baris Tanaman border jagung (kiri) dan Orok-orok (kanan)
ditanam di sekeliling pertanaman cabai
· Memasang perangkap likat sebanyak 40 lembar/ha digantung atau dijepit pada kayu/bambu setinggi 30 cm di atas kanopi tanaman,
· Melepaskan predator Monochilus sexmaculatus (kumbang macan) 1 ekor/10 m2 dua minggu sekali,
· Aplikasi pestisida (50-100 lembar daun sirsak atau daun tembakau/5 liter air + 15 gr sabun colek) atau 20 gr biji atau 50 gr daun nimba + 1 gr sabun colek/liter air). Ramuan ditumbuk halus, dicampur air, disaring, dan direndam 1 malam,
· Selain itu menggunakan ekstrak bunga pukul empat dan bayam duri sebagai induser mulai dari pembibitan hingga pembungaan minimal 2 minggu sekali.
Kesimpulan dan Saran
Sejalan dengan perluasan penanaman tanaman cabai di daerah sentra produksi untuk memenuhi permintaan konsumen yang meningkat setiap tahun, maka diprakirakan luas dan daerah sebaran virus kuning ke depan akan meningkat pula, terutama apabila upaya pengendaliannya tidak mendapat perhatian serius dan tidak adanya awareness dan rapid respon yang memadai dari para pihak. Oleh karena itu koordinasi antara pusat dan daerah dalam menyusun program pengendalian perlu terus ditingkatkan dan dikembang-kan, termasuk alokasi dana operasional pengendalian yang memadai, diantaranya alokasi dana untuk pengadaan rumah-rumah kasa percontohan bagi kelompok tani di daerah endemis virus kuning cabai. Selain itu supaya permohonan dan harapan terwujud, perlu pula mandekatkan diri kepada kemauan Yang Maha Kuasa dan mensyukuri atas ni’matnya dengan kerja keras meningkatkan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi kerja yang tulus dan baik dalam mendorong, membina, dan melaksanakan kegiatan perlindungan tanaman yang sebaik-baiknya.
Jakarta, Juni 2008
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura
Ir. Irwan Adam dan Ir. Siswanto Mulyaman
Mewaspadai OPT Baru yang Eksplosif dan Upaya Penanggulangannya,
MEWASPADAI OPT BARU YANG EKSPLOSIF DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
Sinar Tani N0. 3254 : 28 Mei - 3 Juni 2009
Perubahan iklim dan cara budidaya serta kebijakan global, dapat mengubah komposisi spesies serangga di alam. Perubahan faktor iklim biasanya paling awal dituding sebagai penyebab merebaknya serangan OPT. Hal ini sering terjadi pada lahan pangan, beberapa OPT sering meningkat saat perubahan faktor iklim terjadi dan sangat ekstrim. Di bidang hortikultura, ada 2 (dua) kategori OPT baru, yaitu OPT yang benar-benar baru ada di suatu wilayah dan OPT yang memang baru diketahui dan dilaporkan. Kategori OPT yang benar-benar baru di suatu wilayah, umumnya terjadi karena berbagai hal, antara lain perubahan faktor iklim yang mengubah komposisi (nisbah) musuh alami dan OPT yang tidak imbang di alam dan terbawa benih yang diimpor. Sementara OPT yang baru diketahui dan dilaporkan, lebih banyak terjadi akibat keterbatasan pengetahuan petugas lapangan untuk mengenali, memantau dan mengupayakan langkah penanggulangannya.
Konsepsi OPT baru
P
ara ahli bidang perlindungan tanaman yang tergabung dalam Komisi Perlindungan Tanaman (KPT) dalam suatu pertemuan KPT di Mataram, Maret 2009 mendeskripsikan penyebab rimbulnya serangan OPT baru, disebabkan karena perubahan iklim mengakibatkan perubahan musim, pola tanam, cara budidaya, dan penurunan ketahanan tanaman terhadap OPT seperti perubahan dominasi spesies dan peningkatan intensitas serangan. Adanya cara budidaya yang tidak tepat, mengabaikan syarat tumbuh yang hakiki, sehingga perlu dilakukan budidaya tanaman sehat dalam pengembangan suatu komoditas. Munculnya OPT baru, memang benar-benar baru atau sebenarnya sudah ada tetapi baru muncul dan diketahui, karena menimbulkan masalah. Pergeseran status OPT baik hama maupun penyakit, dari lemah menjadi kuat karena kondisi tanaman yang lemah. Kelemahan tanaman disebabkan karena berbagai faktor antara lain kurangnya unsur hara untuk tanaman, lingkungan, dan adanya dampak anomali iklim sehingga kondusif bagi perkembangan OPT.
Dengan penjelasan tersebut, memberikan gambaran kepada kita bahwa timbulnya serangan OPT itu memerlukan penanganan yang komprehensif, terutama dalam pengelolaan tanaman yang memenuhi prinsip budidaya tanaman sehat sesuai sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Beberapa OPT baru dan langkah penanggulangannya
1. Kutu putih Pepaya
Beberapa OPT pada komoditas hortikultura akhir-akhir ini diketahui sebagai OPT baru yang eksplosif adalah OPT kutu putih (Paracoccus marginatus William and Granara de Willink, 1992, Hemiptera: Pseudococcidae) yang menyerang tanaman pepaya dengan wilayah penyebaran di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Kota Depok Propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten.
Kutu kebul papaya bersifat polifag, menyerang beberapa tanaman inang, termasuk tanaman buah tropis dan tanaman hias. Pada tahun 1998, ditemukan di Negara Bagian Florida, yaitu Manatee and Palm Beach dan menyebar secara cepat ke Negara bagian lainnya. Serangan kutu kebul ini merugikan jutaan dollar di Florida, bila tidak dikendalikan. Pengendalian biologi telah diidentifikasi sebagai strategi kunci pengendalian yang efektif. Program pengendalian biologi telah dimulai pada tahun 1999 berdasarkan kerjasama antara Departemen Pertanian Amerika, Departemen Pertanian Puerto Rico dan Kementrian Pertanian republik Dominika.
Kutu betina tidak bersayap berwarna kuning, tubuhnya diselimuti dengan lilin berwarna putih, panjang 2,2 mm dan lebar 1.4 mm. Telur berwarna kuning kehijauan diletakkan pada kantong telur yang panjangnya 3 – 4 kali panjang tubuhnya dan diselimuti dengan lapisan lilin putih. Kutu jantan berwarna merah muda namun pada saat instar pertama dan kedua berwarna kuning. Kutu jantan berbentuk oval dengan panjang kira-kira 1,0 mm dan lebar 0,3 mm. Kutu jantan bersayap dan mempunyai antena dengan 10 segmen. Unruk identifikasi sederhana, kutu ini akan berubah menjadi hitam kebiruan apabila dicelupkan kedalam alkohol, berbeda dengan kutu putih lainnya.
Di Indonesia, pada bulan Agustus, 2008, serangga tersebut telah dilaporkan menyerang tanama papaya di Kabupaten Bogor. Prof Dr. Aunu Rauf (IPB) dan berdasarkan konfirmasi identifikasi dengan pakar entomologi Dr. Gillian W. Watson, dari Plant Pest Diagnostic Center - California Department of Food & Agriculture, secara jelas mengidentifikasinya sebagai kutu kebul papaya (Paracoccus marginatus) – dalam terminologi Bayer Code diakronimkan sebagai PACOMA.
Dari pemantauan di lapangan, serangga berlilin ini disebarkan oleh angin (instar 1), burung/serangga, bibit bahkan pakaian ini telah menyebar luas. Di samping wilayah Propinsi Jawa Barat, juga telah ditemukan di wilayah DKI Jakarta yaitu di Jakarta Selatan (Kecamatan Jagakarsa, Cilandak, Pasar Minggu dan Senayan). Akibat serangan berat, daun menjadi kering, tanaman merangas, daun muda keriting dan tunas baru pertumbuhananya menjadi terhambat. Selain tanaman pepaya, juga ditemukan cukup berat menyerang tanaman singkong, jarak pagar, jati emas dan beberapa jenis gulma.
Langkah dan upaya penanggulangan
Sifat kutu putih yang invasif dan belum ada musuh alaminya ini, memerlukan upaya penanganan yang komprehensif. Apabila dilihat asal OPT dan sifatnya invasif / merusak, maka perlu segera dilakukan langkah cepat untuk mendatangkan musuh alami yang dianggap efektif dari negara asalnya melalui serangkaian kajian yang baik. Hal ini karena musuh alami, predator lokal masih jarang dijumpai di lapangan, sementara dari golongan cendawan, yaitu Neozygites, dinilai terlambat dan belum dapat diperbanyak di laboratorium. Jalan pintas yang baik, meskipun memerlukan waktu, adalah mendatangkan parasitoid dari negara asalnya. Beberapa parasitoid yang ada di daerah asal kutu putih pepaya tersebut adalah Anagyrus loecki, Acerophagus papaya, Pseudleptomastix mexicana. Beberapa negara yang sudah melakukan introduksi parasitoid tersebut untuk pengendalian kutu putih pepaya adalah Republik Dominika, Puerto Rico, Guam, Palau, Florida dan Hawai. Satu tahun setelah pelepasan parasitoid tersebut populasi kutu putih menurun sampai 97 %. Oleh karena itu, upaya introduksi musuh alami seperti yang dilakukan oleh negara-negara tersebut, perlu ditiru dengan pengawasan Komisi Agens Hayati Departemen Pertanian.
Hal ini dilakukan, agar nantinya musuh alami tersebut mampu beradaptasi dengan lingkungan Indonesia dan tidak menjadi menjadi spesies asing (Invasive Alien Spesies, IAS) yang mungkin juga menimbulkan perubahan biodiversitas lokal, menimbulkan kerusakan, dan persaingan makan dengan musuh alami lokal, dan menyerang/ mengancam keberadaan musuh alami lokal.
Langkah yang perlu ditempuh untuk mendatangkan musuh alami tersebut adalah penyusunan Environmental Assessment, survey baseline parasitisasi, dan penentuan tempat pelepasan dan evaluasinya. Hal-hal tersebut lebih lanjut diatur oleh Komisi Agens Hayati, Departemen Pertanian.
Langkah penanggulangan yang disarankan
a. Mencegah agar tidak menyebar dari daerah terserang ke daerah belum terserang, dilakukan dengan tindakan eradikasi. Meskipun relatif sulit dilaksanakan, namun perlu keterpaduan semua pihak di lapangan, baik institusional, teknik dan operasionalnya. Di samping itu, tindakan pengaturan lalu lintas media pembawanya (bagian tanaman, buah terserang) dari daerah terserang ke daerah yang belum terserang. Peran Pemerintah Daerah melalui Dinas Pertanian sangat penting.
b. Menurunkan populasi di daerah terserang, dengan melakukan gerakan pengendalian untuk melakukan sanitasi tanaman terserang (pembakaran/penimbunan), penyemprot-an air sabun pada bagian tanaman terserang, dan penyemprotan insektisida pada bagian tanaman terserang saat eksplosi terjadi.
c. Melakukan pemantauan dan surveilans sesuai standar kesehatan tumbuhan (Sanitary and Phytosanitary) dengan melakukan surveilans, penetapan status, dan pelaporan OPT. Hal ini terutama karena OPT ini menyerang komoditas pepaya yang saat ini, Indonesia berupaya mengekspor pepaya unggulan ekspor, yaitu pepaya hawai. Informasi serangan OPT yang terlanjur ada dalam berbagai situs internet, tidak bisa dihindarkan bagi calon negara pengekspor untuk mengklarifikasi keberadaan OPT dan pengelolaan risiko yang dilakukan.
2. Penyakit virus kuning pada kacang panjang
OPT ke dua yang juga cukup merepotkan upaya budidaya kacang panjang adalah virus kuning pada tanaman kacang panjang di beberapa daerah pantai utara (Pantura) Jawa Barat. Informasi serangan OPT ini awalnya disampaikan oleh Dr. Ir. Suryo Wiyono, anggota KPT pada pertemuan KPT di Bogor pada bulan November 2008.
Hasil pemantauan Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura pada bulan-bulan berikutnya dan laporan beberapa UPTD BPTPH mengindikasikan bahwa penyakit ini telah menyebar ke berbagai provinsi Jawa Barat (Bekasi, Karawang, Subang, Purwakarta, Bogor), Jawa Tengah (Brebes, Tegal), D.I. Yogyakarta (Sleman / Muntilan), Banten (Tangerang). Mungkinkan serangan penyakit telah ada di wilayah provinsi lain ?. Masih memerlukan kerja keras jajaran perlindungan tanaman untuk memantaunya.
Awalnya, identifikasi para pakar per-lindungan tanaman, masih belum ada kesama-an penyebabnya. Ada pakar yang menyebutkan sebagai BCMV (Bean Common Mosaic Virus), BGMV (Begomo Virus, Bean Golden Mosaik Virus dari kelompok Gemini Virus, bahkan perusahaan penyedia benih Nasional, PT East West Seed meyakini pathogen penyakit tergolong gemini virus, dan hasil uji laboratorium di IPB menyimpulkan sementara bahwa virus tersebut bukan sebagai gemini virus maupun BYMV (Bean Yellow Mosaic Virus).
Namun, akhirnya Dr. Sri Sulandari dari UGM pada pertemuan Pokja virus kuning di Yogyakarta pada bulan April 2009 lalu bersama pakar-pakar lainnya, memastikan gejala menguning pada tanaman kacang panjang, disebabkan oleh sebagai Begomo Virus, Bean Golden Mosaik Virus dari kelompok Gemini Virus berdasarkan hasil pengujian dengan PCR (Polymerase Chain Reaction). Virus ini tidak tertular melalui benih, tetapi dapat menular melalui penyambungan dan tusukan kutu kebul (Bemisia tabaci), vektornya.
Dengan kejelasan hasil identifikasi ini, jajaran perlilindungan tanaman tetap dituntut untuk mengamanankan areal pertanaman kacang panjang dari virus kuning ini di wilayahnya masing-masing dengan langkah-langkah yang komprehensif.
Langkah dan upaya penanggulangan
Langlah penangggulangan yang direkomendasikan ini terkait dengan kebijakan nasional dalam pengaturan peredaran dan penggunaan benih serta langkah operasional di lapangan, yaitu :
a. Kebijakan pemasukan benih dilakukan sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku. Yang terlebih penting lagi adalah hasil analisis risiko OPT yang direkomendasi-kan oleh Badan Karantina Pertanian, harus dijadikan pedoman untuk memantau adanya – tidaknya OPT potensial terbawa media pembawa atau benih yang diimpor tersebut.
b. Jajaran perlindungan tanaman di daerah melakukan pemantauan yang rutin, melaporkan dan melakukan upaya pengendaliannya apabila diperlukan.
c. Secara operasional, jajaran perlindungan tanaman di daerah melakukan tindakan budidaya yang baik dan benar,yaitu :
· Penggunaan benih sehat dan bukan berasal dari daerah terserang. Benih yang bebas virus dapat diproduksi dengan cara menghindari sumber infeksi awal dengan menanam stok benih sehat. Menanam varietas tahan atau tidak menularkan virus lewat biji.
· Penanaman dengan jarak tanam yang rapat dapat menekan serangan serangga vektor. Beberapa jenis serangga vektor dilaporkan lebih banyak tertangkap pada pertanaman dengan jarak tanam renggang.
· Pergiliran tanaman dengan tanaman non kacang-kacangan
· Menghilangkan tanaman terinfeksi/sanitasi tanaman dan sumber infeksi lain di lapangan, dengan cara mencabut tanaman sakit untuk mengurangi penyebaran vektor lebih lanjut, serta mencabut gulma yang merupakan inang alternatif virus kacang-kacangan.
· Menerapkan teknologi budidaya yang ramah lingkungan dengan penggunaan agens hayati atau perendaman benih dalam larutan PGPR (Plant Growth Promotion Rhizobacter) terutama dengan Pf/Pseudomonas flourescens dengan dosis 20 ml/liter air selama 6 – 12 jam),
· Melakukan pemerangkapan serangga vektor dengan cara pemasangan likat kuning sebanyak 40 lembar/ha secara serentak di pertanaman atau melalui penggunaan plastik reflektif aluminium (sebagai plastik mulsa atau alat pengusiran serangga vektor dengan plastik berkilau di pertanaman dengan cara digantung/dijepit pada kayu/bambu setinggi 30 cm di atas tajuk daun guna mengurangi populasi vektor).
3. OPT lain
a. Turnip Mosaik Virus (TuMV)
Pada awal 2008 tahun lalu, penyakit ini dilaporkan oleh pakar virus tanaman dari Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB, Dr. Sri Hendrastuti Hidayat PhD telah menyerang sentra sayuran di Lampung, Bengkulu, Pontianak, Balikpapan, Samarinda, Poso dan Donggala. Sebelum adanya informasi ini, TuMV masih tergolong dalam OPT Karantina A1 (belum ada di
TuMV merupakan virus yang umum menyerang sayuran dari famili kubis-kubisan (Cruciferae) dan tersebar luas di dunia. TuMV termasuk anggota kelompok “potyvirus” dan mempunyai partikel filamen yang berukuran 750x12 mm. Virus ini terdiri dari beberapa strain yang mempunyai tanaman inang berbeda dan gejala yang berbeda pula. TuMV ditularkan oleh vektor dari beberapa spesies kutu dengan cara yang nonpersisten. Serangga vektor yang penting adalah Bevicoryne brassicae dan Myzus persicae.
TuMV berpengaruh terhadap usahatani kubis, lobak, dan salada air. Sayuran lain yang dapat terinfeksi antara lain selada daun (lettuce), dan tanaman hias juga sebagai tanaman inang.
Gejala klorotik atau spot-spot nekrotik dan cincin, atau umumnya mosaik. Beberapa kultivar berkembang secara sistematik nekrotik dan mosaik.
Infeksi awal, menyebabkan beberapa daun berkerut dan kerdil, dan pada beberapa kasus, terjadi dan tanaman mati.
Pada kubis, beberapa bagian pada daun terlihat gejala bintik-bintik hitam (black spotting) yang lebih berat dibandingkan bagian lain. Pada kubis di penyimpanan, TuMV dapat berkembang pada daun bagian dalam dan menimbulkan gejala luka-luka hitam (kadang-kadang seperti gejala terbakar oleh rokok) seluas 5-10 mm, dan menghasilkan krop yang bermutu rendah (tidak diterima di pasar).
Langkah dan upaya penanggulangan
Langlah penangggulangan yang direkomendasikan sama dengan langkah sebelumnya, terutama terkait dengan kebijakan nasional dalam pengaturan peredaran dan penggunaan benih serta langkah operasional di lapangan melalui pengelolaan budidaya tanaman, yaitu :
a. Kebijakan pemasukan benih dilakukan sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku. Yang terlebih penting lagi adalah hasil analisis risiko OPT yang direkomendasi-kan oleh Badan Karantina Pertanian, harus dijadikan pedoman untuk memantau adanya – tidaknya OPT potensial terbawa media pembawa atau benih yang diimpor tersebut.
b. Jajaran perlindungan tanaman di daerah disarankan untuk melakukan pemantauan rutin, melaporkan dan melakukan upaya pengendaliannya apabila diperlukan.
c. Secara operasional, jajaran perlindungan tanaman di daerah disarankan untuk melakukan sosialisasi penerapan budidaya yang baik dan benar,yaitu :
· Menanam tanaman yang resisten,
· Cara-cara budidaya yang baik/kultur teknis;
· Rotasi tanaman (terutama dengan non famili kubis),
· Pemupukan berimbang, dengan menambah kompos,
· Memilih waktu tanam yang tepat untuk mengurangi serangan penyakit,
· Pengaturan kebutuhan air yang tepat.
· Sanitasi, terutama dari tanaman atau bagian tanaman (sisa tanaman) yang terinfeksi, dikumpulkan lalu dimusnahkan, serta sanitasi gulma,
· Aplikasi insektisida yang terdaftar, untuk pengendalian serangga (kutu) vektor,
· Pengendalian biologi, dengan musuh alami (parasit dan predator) dari serangga kutu vektor.
b. Nematoda Sista kentang (NSK)
Nematoda sista kuning (NSK), Globodera rostochiensis, yang sebelum tahun 2003 dikategorikan sebagai OPTK A-1, pertama kali ditemukan di Indonesia pada Maret 2003 menyerang tanaman kentang di daerah Batu – Jawa Timur. Saat ini, OPT ini telah dapat ditanggulangi dan dilokalisir serangannya hanya di 4 provinsi saja di sentra kentang tertentu di Jabar, Jateng, Jatim dan Sumut.
Keberhasilan melokalisir serangan NSK ini, akrena upaya yang terus menerus diulakukan oleh jajaran perlindungan tanaman di daerah, petani, dan pemerintah daerah setempat.
Namun demikian, upaya-upaya melokalisir agar tidak menyebar ke provinsi sentra kentang lain masih perlu ditingkatkan, termasuk upaya pencegahan dengan peraturan karantina untuk benih kentang dari negara-negara pengekspor di Eropah.
Langkah dan upaya penanggulangan
a. Jajaran perlindungan tanaman di daerah didarankan melakukan pemantauan rutin, melaporkan dan melakukan upaya pencegahan agar tidak menyebar ke wilayah sentra kenatng lainnya, serta pengendalian dengan pestisida yang dianjurkan.
b. Secara operasional, jajaran perlindungan tanaman di daerah disarankan untuk melakukan sosialisasi penerapan budidaya yang baik dan benar,yaitu :
· Menanam benih kentang bermutu bebas NSK (benih harus bersertifikat),
· Tidak membawa tanah atau media pembawa lain dari daerah yang terserang ke daerah belum terserang,
· Penanaman tanaman perangkap (misalnya tomat murah) sebulan ditanam kentang, guna memancing menetasnya larva NSK saat menginfeksi akar tomat (pada umur 30 hari hst, tanaman tomat dicabut dan dimusnahkan)
· Pemupukan berimbang (pupuk organik 20 ton/Ha),
· Rotasi dengan tanaman bukan Solaneceae),
· Penggenangan lahan dalam waktu tertentu (disawahkan), terutama dilahan datar yang relatif luas, mampu menekan populasi NSK,
· Sanitasi, pencabutan tanaman sakit, lalu dimusnahkan,
· Pencegahan penularan NSK di instalasi pengembangan benih kentang,
· memproteksi tamu/karyawan/tenaga harian yang masuk ke kebun dengan cara menyediakan kolam desinfektan, kran air untuk cuci, tempat ganti sepatu/alas kaki dalam lahan,
· pemasangan papan peringatan secara jelas,
· memperbaiki pagar yang rusak disekeliling kebun sehingga tidak menjadi jalan pintu bagi orang yang akan masuk ke kebun,
· Surveillan rutin di daerah yang dicurigai, guna mengetahui keberadaan NSK.
c. Virus kuning pada cabai
Demikian pula dengan virus kuning pada cabai, telah banyak informasi tentang OPT ini. Dari gejalanya, virus ini terjadi sejak di pembibitan sampai periode pertumbuhan vegetatif dan pembungaan. Gejala khas yang terlihat pada tanaman sakit di lapangan adalah klorosis atau kuning pucat antar vena daun, daun menguning cerah, daun melekuk ke atas atau ke bawah, daun meyempit, tanaman kerdil disertai pertumbuhan daun muda yang kecil-kecil banyak, bunga rontok, dan akhirnya tanaman tinggal ranting dan batang saja, kemudian mati. Namun di lapangan tidak semua daun menunjukkan kuning cerah, tergantung respon varietas, tinggi tempat dan agroklimatnya.
Patogen penyebab penyakit virus kuning adalah Geminivirus, TYLCV (Tomato Yellow Leaf Curl Virus). Penyakit dari group Begomovirus (Bean Golden Mosaic Virus) ini tidak ditularkan melalui biji, tetapi dapat menular melalui penyambungan dan tusukan kutu kebul (Bemisia tabaci) yang hingga kini diketahui merupakan penular efektif dari satu tanaman ke tanaman lain. Terlebih kutu kecil berwarna putih ini termasuk folifag menyerang berbagai jenis tanaman, antara lain tanaman hias, sayuran, buah-buahan, maupun tanaman liar dan gulma. Khusus tanaman budidaya yang menjadi inangnya meliputi, tomat, cabai, kentang, mentimun, terung, kubis,buncis, selada, bunga potong Gerbera, ubi jalar, singkong, kedelai, tembakau, dan lada sedangkan tanaman yang disukai adalah babadotan (Ageratum conyzoides). Pengendalian terhadap serangga vektor yang hanya mengandalkan pestisida kimia saja terbukti kurang efektif karena tubuhnya berlapis lilin, kemampuan terbang tinggi, juga diketahui relatif resisten terhadap pestisida kimia. Oleh karena itu, jajaran perlindungan tanaman di daerah telah bekerja maksimal mengendalikan OPT ini.
Dengan penerapan teknologi budidaya untuk pencegahan penyebaran virus kuning melalui upaya penanaman tanaman perangkap jagung, penanaman bibit cabai dalam screen house (pengerodongan) untuk mencegah kehadiran vektor pembawa virus, pemasangan perangkap likat kuning, dan melalui pola pelaksanaan SLPHT. Sudahkah teknologi budidaya ini diterapkan ?, jawabannya adalah tergantung dari upaya sosialisasi kepada petani oleh jajaran perlindungan tanaman di daerah. Bila teknologi ini diterapkan petani, mestinya perkembangan serangan OPT ini dapat ditekan dengan baik.
Langkah dan upaya penanggulangan
Dalam penanggulangan penyakit virus kuning pada cabai, upaya pencegahan masuknya vektor (kutu kebul) ke dalam areal tanaman sangat penting, salah satunya dengan pengerodongan tanaman dalam rumah kassa.
Sementara itu di tingkat lapangan, perlu disosialisasikan langkah budidaya tanaman yang baik dan benar, yaitu :
· Menanam pinggiran lahan dengan 6 baris tanaman jagung 2 – 3 minggu sebelum tanam cabai dengan jarak rapat 15 – 20 cm. Tanaman lainnya : Orok – orok,
· Pemberian pupuk kandang/kompos minimal 20 ton/ha,
· Rotasi/pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang virus (terutama bukan famili solanaceae (tomat, kentang, tembakau) dan famili cucurbitaceae (mentimun), dilakukan dalam satu hamparan, tidak perorangan, dilakukan serentak tiap satu musim tanam dan seluas mungkin.
· Penggunaan mulsa plastik perak di dataran tinggi, dan jerami di dataran rendah mengurangi infestasi serangga pengisap daun dan mengurangi gulma,
· Memasang perangkap likat kuning sebanyak 40 lembar/ha, digantung atau dijepit pada kayu/bambu setinggi 30 cm di atas kanopi tanaman;
· Perendaman benih dengan larutan PGPR (20 ml Pseudomonas fluorescens / liter air) selama 6 – 12 jam;
· Aplikasi PGPR (konsentrasi 20 ml/l air) dikocorkan sekitar perakaran tanaman (21 hst) bersamaan pemupukan susulan,
· Melepaskan predator Menochilus sexmaculatus (1 ekor/10 m2) dua minggu sekali;
· Aplikasi pestisida nabati (50–100 lbr daun sirsak atau daun tembakau/5 liter air+15 gr sabun colek) atau (20 gr biji atau 50 gr daun nimba + 1 gr sabun colek/1 liter air). Ramuan ditumbuk halus, dicampur air, diamkan 1 malam, dan disaring. Selain itu dapat menggunakan ekstrak bunga pukul 4, bayam duri, sirsak dan eceng gondok, sebagai inducer.
· Sanitasi lingkungan, mengendalikan gulma berdaun lebar dari jenis babadotan, gulma bunga kancing, dan ciplukan yang dapat menjadi inang virus.
Kesimpulan
Pengelolaan OPT baru memerlukan langkah penanganan yang komprehensif. Apabila komoditas yang terserang OPT merupakan komoditas potensial ekspor, maka langkah penanganan yang sesuai standar kesehatan tumbuhan (Sanitary and Phytosanitary, SPS) sangat penting dilakukan. Apabila tidak dilakukan, maka negara mitra dagang akan melakukan assessment terhadap pengelolaan risiko yang dilakukan negara pengekspor.
Kunci keberhasilan penanganan OPT baru adalah keterpaduan strategi, kebijakan, dan operasionalnya di lapangan. Jajaran perlindungan tanaman di daerah merupakan pihak terdepan dalam memantau, menganalisis, melaporkan, mengantisipasi dan menentukan tindakan pengendalian yang perlu dilakukan.
Jakarta, Juni 2009
Siswanto Mulyaman – Fungsional Pengendali OPT Madya,
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura
SINERGISME SISTEM PERLINDUNGAN TANAMAN, TANTANGAN DAN PELUANG PENANGANAN OPT UNTUK AKSES PASAR
Perlindungan tanaman sebagai suatu sistem, sesuai Undang-undang No 12 tahun 1996 tentang Sistem Budidaya Tanaman, mengemban amanah melaksanakan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Penerapan PHT telah mengalami per-kembangan yang pesat bahkan sampai kepada penerapannya sebagai teknologi terobosan untuk memecahkan berbagai permasalahan penanganan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Penerapan PHT untuk penanganan OPT dilandasi oleh 7 prinsip dasar, yaitu : (1) sifat dinamis ekosistem pertanian, (2) adanya analisa biaya-manfaat, (3) adanya toleransi tanaman terhadap kerusakan, (4) pengelolaan populasi OPT sedikit mungkin berada di tanaman, (5) budidaya tanaan sehat, (6) pemantauan lahan, dan (7) pemasyarakatan konsepsinya (Kasumbogo, 1993). Penerapan prinsip dasar ini menuntut kemampuan sumberdaya manusia, adanya kelembagaan yang baik, tersedianya standar dan mekanisme operasional yang dinamis.
Dalam subsektor tanaman pangan, kelembagaan dan sistem perlindungan tanaman telah mampu menyumbangkan upaya peningkatan produksi, khususmya padi selama dasa warsa belakangan ini. Kegiatan pengamatan OPT (termasuk survailans, diagnosis OPT dan serangan), pemberian rekomendasi pengendalian, peramalan, pelaporan, penyediaan teknologi serta sarana/prasarana pengendalian OPT, dan terlatihnya petani, telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pengamanan produksi. Sementara, di bidang hortikultura, tantangan perlindungan tanaman, tidak hanya untuk tujuan peningkatan produksi dan konsumsi, tetapi juga diarahkan untuk peningkatan mutu yang berorientasi akses pasar internasional. Di balik tantangan ini, justru ada peluang untuk lebih meningkatkan peran perlindungan tanaman dalam memenuhi persyaratan kesehatan tumbuhan (Sanitary and Phytosanitary/SPS) yang diatur oleh organisasi perdagangan internasional (World Trade Organization/WTO). Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura sejak tahun 2000 berupaya secara serius mensosialisasikan dan menerapkan standar-standar yang berlaku dalam perdagangan internasional tersebut.
Tantangan Penanganan OPT Hortikultura untuk Akses Pasar
Organisme pengganggu tumbuhan adalah salah satu penghambat produksi dan diterimanya produk tersebut masuk ke suatu negara. Dari pengalaman selama ini, masih saja ada OPT yang belum tuntas penanganannya dan perlu kerja keras untuk mengatasinya dengan berbagai upaya dilakukan, seperti lalat buah pada berbagai produk buah dan sayuran buah, virus gemini pada cabai, nematoda sista kuning pada kentang, dan penyakit layu pisang. Belum lagi apabila dikaitkan dengan keberadaannya atau terbawa pada produk yang akan diekspor dan dianalis potensial masuk, menyebar dan menetap di suatu wilayah negara, akan menjadi hambatan yang berarti dalam perdagangan internasional.
Hambatan perdagangan dengan Korea selatan
Salah satu contoh untuk akses produk buah mangga ke Korea Selatan pada tahun 2002 adalah hambatan adanya beberapa OPTK yang mereka mintakan informasinya berdasarkan analisis risiko yang mereka dilakukan, yaitu :
· Permintaan informasi biologi terkait bagian tanaman yang terserang, ekobiologi, tingkat kerusakan, dan status patogen (Crossopora kemangae, Hendersonia mangiferae, Physalospora persea, Zimmermaniella trispora).
· Konfirmasi penyebaran 10 jenis OPT lainnya (Asterina punctiformis, Dothiorella aromatica, D. dominic, D. mangiferae, Elsinoe mangiferae, Hendersonula toruloidea, Mucor circinelloides, Oidium/Pytium mangiferae, Phytophthora heveae.
Prosedur yang diterapkan oleh Korea Selatan dalam penilaian risiko OPT terhadap setiap akses pasar produk buah-buahan yang diekspor ke Korea, termasuk buah mangga dari Indonesia, harus dilakukan melalui tahapan-tahapan analsis risiko OPTyang mereka persyaratkan dalam prosedur :
a. IRA (Import Risk Analysis), khususnya terkait dengan penyediaan informasi tentang jenis produk/komoditi, OPT, gejala, prevalensi OPT di daerah PRA (negara pengekspor produk),
b. Kategorisasi OPT (Preliminary IRA) : Pest List yang dihasilkan oleh negara pengekspor sesuai persyaratan, kategorisasi dan determinasi OPT untuk penilaian risiko OPT,
c. Penilaian risiko OPT terkait risiko introduksi, menetap dan menyebar dan dampak ekonomi, penilaian tingkat risiko untuk mengurangi risiko introduksi, dan komentar/ pernyataan umum tentang OPT,
d. Pengelolaan risiko OPT yang mereka persyaratkan menyangkut opsi pengelolaan OPT melalui penilaian oleh penentu kebijakan perkarantinaan (tumbuhan) dalam organisasi NPQS (National Plant Quarantine Service), konsultasi yang dilakukan dengan negara pengekspor tentang opsi pengelolaan, dan komentar umum yang diperlukan,
e. Konsep/draft ketentuan karantina import yang harus dipenuhi,
f. Penyampaian ketentuan/aturan karantina impor,
g. Notifikasi/pernyataan dan pelaksanaan ekpor produk.
Pest List yang disediakan oleh Indonesia tersebut baru memenuhi 3 tahap awal untuk terpenuhinya syarat akses pasar ke Korea Selatan.
Kasus Hambatan Akses Pasar Ekspor Produk Buah-buahan ke Cina. Serangkaian komunikasi pembukaan akses pasar ekspor produk buah-buahan ke Cina mulai dilakukan pada akhir tahun 2006 lalu. Pemerintah Indonesia menawarkan 12 (dua belas) jenis komoditas buah tropis ke Cina (mangga, salak, alpokat, belimbing, rambutan, nenas, jambu biji, durian, papaya, duku, semangka, dan melon). Pemerintah Cina melalui Deputi Direktur Animal Plant Qurantine Department, Administration of Quality Supervision, Inspection and Quarantine/AQSIQ, telah memberikan informasi tentang persyaratan akses produk ekspor buah-buahan Indonesia ke Cina, menyangkut : (1) isian IRA tentang informasi tanaman dan produk tanaman yang akan diekspor (dengan 7 butir isian), dan (2) informasi OPT dan pengelolaannya (dengan 9 butir informasi yang diperlukan), salah satunya adalah daftar OPT/Pest List, haruslah dihasilkan melalui survailans sesuai standar ISPM No. 6. Belum lagi persyaratan lain terkait dengan status bebas OPT yang dipersyaratkan oleh negara pengimpor, haruslah dibangun sesuai standar ISPM yang berlaku.
Kasus Hambatan Akses Pasar Ekspor Produk Buah-buahan ke Australia
Australia adalah negara yang sangat memproteksi masuknya produk dari negara lain, kecuali dengan memenuhi persyaratan standar SPS yang mereka terapkan. Pada tahun 2007, Indonesia telah menawarkan produk manggis kepada mereka dan memenuhi Draft Protocol Export (DPE) yang mereka persyaratkan. Namun sampai saat ini, tanggapan atas tawaran Indonesia ini belum direspon dengan baik, dengan dalih bahwa belum adanya jaminan mutu produk dan belum tersertifikasikan kebun buah secara baik.
Hal-hal tersebut membuktikan bahwa upaya merespon hambatan ekspor oleh suatu negara terkait keberadaan OPT, harus dipersiapkan dan dilakukan serangkaian kegiatan yang mengarah kepada upaya pemenuhan standar-standar perdagangan yang dipersyaratkan.
Peluang Akses Pasar Internasional
Pada tahap awal untuk menangkap peluang akses pasar adalah melakukan analisis peluang ekspor. Analisis peluang ekspor dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan menyangkut kebutuhan negara pengimpor, terutama terkait dengan : (1) ada tidaknya isu perdagangan dari negara pengimpor yang membatasi peluang ekspor, isu/hambatan karantina, dan isu logistik dari negara pengimpor, (2) analisis permintaan penawaran pasar terutama tekait dengan negara kompetitor, periode permintaan, segmen pasar, volume/ukuran potensial pasar, nilai potensial keuntungan ekonomi dan keuntungan kompetitifnya, (3) persyaratan karantina terkait daftar OPT, perlakuan karantina, analisis dan manajemen risiko OPT, penelitian dan pengembangan perlakuan produk, dsb., (4) analisis kapasitas produksi, lokasi, jumlah, varietas, musim dan penelitian yang dilakukan, (5) analisis peredaran dan logistik terutama terkait dengan aktivitas eksporter, fasilitas pembiayaan dan pelayanan rantai pasokan produk (SCM), kemampuan sistem transportasi, dan penelitian yang dilaksnakan.
Bagaimana melakukan tahapan akses pasar ekspor. Hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam mengakses pasar ekspor adalah memahami ada tidaknya hambatan karantina dan penerapan jaminan keamanan pangan oleh negara tujuan ekspor, serta kemampuan pengelolaan rantai pasokan produk (SCM) secara baik, mulai di tingkat produksi di lahan usahatani, penanganan pasca panen, dan manajemen pengangkutan/ transportasinya saat ekspor dilakukan.
Sementara itu, bagi pelaku eksporter sebagai satu mata rantai pasokan produk, diperlukan dukungan teknis terkait dengan sistem perancangan produk yang bermutu (designing handling system), tersedianya panduan pengelolaan mutu produk, penerapan sistem pengeloaan suhu/temperatur yang baik, dan identifikasi pengembangan serta penelitian yang dapat mengatasi berbagai hambatan yang mungkin timbul selama proses pengaliran produknya.
Pangsa pasar ekspor produk hortikultura khususnya buah-buahan telah terbuka, bahkan telah memperoleh tanggapan yang baik dari negara-negara pengimpornya, antara lain Korea Selatan, China dan Jepang. Negara-negara pengimpor tersebut mempersyaratkan dipenuhinya standar SPS atas risiko masuknya OPT ke wilayah negara mereka. Hal ini sesungguhnya membuka peluang pasar yang baik, apabila Indonesia sebagai negara pengekspor dapat membuktikan secara scientific/ilmiah bahwa produk yang diekspor tidak membawa OPT/K dan dikelola/diatasi secara baik serta mampu menganalisis peluang ekspor seperti diuraikan di atas.
Sinergisme Sistem Perlindungan Tanaman
Pengembangan hortikultura dalam perspektif paradigma baru tidak hanya terfokus pada upaya peningkatan produksi komoditas saja tetapi terkait juga dengan isu-isu strategis dalam pembangunan yang lebih luas lagi. Pengembangan hortikultura merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya: 1) pelestarian lingkungan, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan, 2) menarik investasi skala menengah kecil dengan luasan usaha 1 – 5 Ha dan investasi Rp 1 – 25 milyar di pedesaan, 3) pengendalian inflasi stabilisasi harga komoditas strategis (cabe merah dan bawang), 4) pelestarian dan pengembangan identitas nasional (anggrek, jamu, dll), 5) peningkatan ketahanan pangan melalui penyediaan karbohidrat alternatif, dan 6) menunjang pengembangan sektor parawisata.
Berbagai kendala dan permasalahan yang terkait dalam upaya meningkatkan produksi, mutu dan daya saing produk hortikultura tersebut perlu disikapi dengan pendekatan pengembangan hortikultura secara terpadu dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yang dikenal dengan 6 (enam) pilar pengembangan hortikultura, yang merupakan fokus kegiatan prioritas dalam mengembangkan hortikultura yang dilaksanakan secara simultan dan terintegrasi antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten dalam memfasilitasi dan mempermudah akses swasta/pengusaha dalam mengembangkan hortikultura. Ke 6 (enam) pilar kegiatan pengembangan hortikultura tersebut adalah:
1. Pengembangan Kawasan Agribisnis Hortikultura,
2. Penataan Manajemen Rantai Pasokan (supply chain management),
3. Penerapan Budidaya Pertanian yang Baik (Good Agricultural Practices/GAP) dan Standard Operating Procedure (SOP),
4. Fasilitasi Terpadu Investasi Hortikultura,
5. Pengembangan Kelembagaan Usaha,
6. Peningkatan Konsumsi dan akselerasi ekspor.
Ke semua program tersebut di atas menjadi satu kesatuan yang saling terkait dan tergantung sehingga tidak dapat di pisah – pisahkan.
Dukungan sistem perlindungan tanaman dalam penerapan enam pilar pengembangan agribisnis hortikultura diarahkan kepada upaya pencapaian sasaran : (1) pengamanan produksi, (2) pengembangan sistem jaminan mutu produk termasuk residu pestisida, dan (3) pengembangan akses pasar ekspor. Pencapaian sasaran tersebut ditopang oleh kebijakan dan sistem prosedur kerja, kelembagaan institusi perlindungan tanaman, dan pelaksanaan kegiatan perlindungan tanaman yang mantap di bidang pengamatan/peramalan OPT, penerapan teknologi PHT dan ramah lingkungan, dan pemberdayaan pelaku perlindungan tanaman.
Dengan keberlakuan ketentuan SPS-WTO, menuntut tersedianya produk-produk hortikultura yang memenuhi standar keselamatan dan kesehatan manusia dan kesehatan tumbuhan / SPS. Permasalahannya adalah, sistem perlindungan tanaman hortikultura yang ada saat ini belum mampu memenuhi persyaratan standar-standar SPS-WTO tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya sinergisme sistem perlindungan tanaman yang ada dengan pemenuhan persyaratan SPS-WTO. Tanpa mengubah struktur organisasi perlindungan tanaman yang ada, kegiatan-kegiatan yang sudah berlangsung perlu disesuaikan untuk tujuan pemenuhan persyaratan perdagangan, sekaligus sebagai upaya untuk mendukung akselerasi ekspor produk hortikultura. Dengan demikian pemenuhan persyaratan SPS-WTO menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem perlindungan tanaman hortikultura yang ada.
Tujuan sinergisme sistem perlindungan tanaman ini adalah :
· Mengembangkan sinergisme sistem perlindungan tanaman hortikultura dengan pemenuhan persyaratan SPS-WTO
· Mendukung penyediaan produk hortikultura yng memenuhi standar SPS-WTO untuk ekspor.
Di tingkat Pusat, termasuk instalasi peramalan OPT, mempunyai tugas dan fungsi dalam menyediakan norma, standard teknis dan prosedur yang diperlukan untuk pelaksana kegiatan perlindungan tanaman (pengamatan dan peramalan OPT) oleh jajaran perlindungan di tingkat provinsi sampai kelompok tani. Semua software tersebut diarahkan dalam upaya peningkatan produksi.
Sementara itu, dalam memenuhi tuntutan dan akses pasar global/internasional, sistem perlindungan tanaman, khususnya subsektor hortikultura dituntut lebih jauh dalam pemenuhan standar SPS-WTO, apabila produk yang dihasilkan ingin berkiprah di pasar internasional. Dalam upaya pemenuhan persyaratan SPS-WTO, sistem perlindungan tanaman yang perlu dikembangkan adalah upaya-upaya mensinergikan kegiatan yang ada ke dalam sistem yang memenuhi standar yang dipersyaratkan SPS-WTO, yaitu International Standard on Sanitary and Phytosanitary Measures (ISPM). Sinergisme sistem ini pada prinsipnya tidak mengubah struktur pengembangan system yang ada, tetapi lebih ditingkatkan untuk hal-hal yang berorientasi pemenuhan standar internasional tersebut.
Bagaimana dan apa yang harus disinergikan
Kegiatan pemenuhan standar SPS-WTO terutama berbasis pada Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman (LPHPT). Pada tahun 2009 direncanakan kegiatan sinergisme sistem perlindungan tanaman dalam pemenuhan persyaratan SPS-WTO. Sebagai tahap awal diprioritaskan di 18 Laboratorium PHP di 12 provinsi daerah produksi yang produknya potensial ekspor (14 komoditas: mangga, manggis, alpukat, salak, durian, nenas, buah naga, pepaya, paprika, sayuran daun, anggrek, palm Raphis, rimpang, dan temu lawak).
Sesuai dengan kewenangan masing-masing, di tingkat pusat, kegiatan yang dilakukan adalah dalam penyediaan pedoman dan sosialisasi kerangka tercapainya kesamaan persepsi penerapan sistem yang memenuhi persyaratan SPS-WTO, seperti matriks berikut :
Output
1
Penyusunan pedoman-pedoman
· Tersedianya pedoman-pedoman
2
Sosialisasi kegiatan kepada petugas teknis
· Tercapainya kesamaan persepsi dalam penerapan sinergi sistem perlindungan tanaman yang memenuhi ketentuan SPS-WTO bagi stakeholder dan jajaran perlindungan tanaman di 11 provinsi sumber ekspor 14 produk hortikultura.
3
Workshop Nasional tentang pemenuhan persyaratan SPS-WTO kepada petugas teknis daerah
· Terbinanya petugas perlindungan tanaman di 11 provinsi ekspor untuk 14 komoditas hortikultura
Sementara itu, di tingkat daerah provinsi yang berbasis wilayah Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP), kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada pemenuhan standar SPS harus dirancang dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah surveilans, identifikasi, koleksi, pelaporan dan dokumentasi, penyusunan risk management, serta rintisan area prevalensi rendah OPT (Area Low of Pest Prevalence/ALPP). Kegiatan ini dilaksanakan dengan memenuhi standar ISPM yang dipersyaratkan. Kegiatan sinergisme sistem di daerah seperti matrik di bawah ini.
Output
1
Workshop-workshop di LPHP untuk :
· Survailans dan koleksi OPT
· Identifikasi OPT
· Penyusunan Pest List
· Pelaporan dan dokumentasi OPT
· Risk management
· Tersusunnya Pest List untuk 14 komoditas potensial ekspor di 11 provin
2
Pelaksanaan Lapang :
· Survailans, koleksi, identifikasi, penyusunan Pest List, pelaporan OPT, dan penyusunan Risk Management
· Tersusunnya Pest List untuk 14 komoditas potensial ekspor di 11 provinsi
· Tersedianya specimen koleksi sebagai referens
· Dilaporkannya status dan cara pengelolaan OPT sesuai standar internasional.
6
Rintisan Area Prevalensi OPT Rendah (Area Low of Pest Prevalence / ALPP).
· Terbangunnya Area Prevalensi OPT Rendah di 3 provinsi untuk 3 komoditas potensial ekspor (mangga, salak, paprika)
Dalam perdagangan internasional, SPS dapat merupakan suatu hambatan non tariff untuk ekspor produk Pertanian. Produk pertanian suatu negara dapat ditolak memasuki negara lain apabila produk pertanian tersebut mengandung organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang berdasarkan alasan ilmiah diketahui apabila masuk dan berkembang di negara pengimpor dapat merusak kesehatan manusia atau tanaman. Untuk itu International Plant Protection Convention (IPPC) mempersyaratkan agar setiap negara anggota WTO menyusun, menyediakan, dan memperbarui secara berkala daftar OPT (pest list) untuk masing-masing jenis komoditas yang diekspor. Pest list tersebut disusun berdasarkan hasil surveilans sesuai standar internasional (International Standard for Phytosanitary Measures) ISPM No.6, yang didukung oleh adanya bukti specimen atau voucher specimen. Survailans adalah suatu proses resmi untuk mengumpulkan dan mencatat data tentang terjadinya OPT (pest occurrence) dan/atau ada/tidaknya OPT melalui survey, pemantauan atau prosedur lain (ISPM No.5).
Pest list dapat digunakan untuk pengelolaan tanaman yang mendasarkan pada informasi OPT pada tanaman atau pada suatu lokasi. Selain itu, pest list juga digunakan dalam analisis risiko OPT yang merupakan bagian dari alat negosiasi untuk akses pasar international (ISPM 11). Mitra dagang akan meminta bukti pest list yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan karena industri Pertanian di negaranya mempunyai risiko masuknya OPT eksotik. Catatan OPT dalam pest list biasanya akan menjadi bukti dan faktor penentu apakah akses pasar bias diberikan atau tidak. Catatan OPT mempunyai kumpulan informasi dasar yang harus ada. Informasi tersebut ada di ISPM 8 (metode pengumpulan specimen, koleksi, labelisasi specimen).
Sementara itu, pengambangan Daerah/Area Prevalensi Rendah OPT (Area Low of Pest Prevalence/ALPP) merupakan kegiatan dapat paling mungkin dikembangkan untuk meningkatkan daya saing produk dari pemenuhan persyaratan teknis si bidang pengelolaan OPT di suatu kawasan. ALPP adalah suatu area yang diidentifikasi melalui kegiatan surveilan yang efektif, tindakan pengendalian atau eradikasi yang dinyatakan bahwa keberadaan suatu OPT (contohnya lalat buah) pada tingkat tertentu. Pengembangan daerah / area semacam ini pada dasarnya adalah pengelolaan OPT yang dilakukan dalam rangka mempertahankan atau mengurangi populasi pada tingkat tertentu atau di bawah tingkat tertentu di suatu area dalam rangka memfasilitasi ekspor. Dalam menetapkan daerah/area ini, Organisasi Proteksi Tanaman Nasional atau National Plant Protecion organization (NPPO) harus menjelaskan area yang terkait. Apabila suatu daerah/area semacam ini dikembangkan, maka harus dipertahankan dengan berbagai langkah yang berkelanjutan sehingga memerlukan prosedur dan dokumentasi yang baik. Apabila terjadi perubahan status ALPP, maka diperlukan tindakan korektif.
Kegiatan sinergisme sistem perlindungan tanaman ini pada dasarnya adalah kegiatan dasar tingkat LPHP yang saat ini cenderung berkurang, akibat orientasi berlebihan kepada kegiatan eksplorasi dan penerapan pengendalian hayati. Upaya sinergisme sistem ini pada dasarnya adalah revitalisasi LPHP dalam sistem yang berorientasi pada perdagangan global.
Dengan pengembangan system perlindungan tanaman dalam pemenuhan persyaratan SPS-WTO tersebut, tidak berarti kegiatan lain yang selama ini dilaksanakan diabaikan, namun perlu tetap dan tidak boleh dilupakan untuk ditingkatkan dalam kerangka pengamanan produksi.
Tindak Lanjut dan Penutup
Akhirnya, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengecilkan arti dan peran penting institusi dan kelembagaan perlindungan tanaman yang selama ini telah bekerja keras dalam mengawal upaya peningkatan produksi dalam kerangka ketahanan pangan, tetapi merupakan refleksi dalam menghadapi tantangan dan menangkap peluang pemenuhan persyaratan SPS-WTO. Jajaran institusi Direktorat Perlindungan Tanaman (pangan, hortikultura, perkebunan), harus sadar bahwa mau tidak mau suka atau tidak suka, persyaratan perdagangan internasional, harus menjadi pijakan dalam pengelolaan OPT dan merosponnya melalui upaya sinergisme sistem perlindungan tanaman, melalui peningkatan kemamuan SDM, penguatan kelembagaan di bidang pengamatan, termasuk survailans, identifikasi, dan koleksi OPT, daftar dan status OPT, dan pengelolaan risiko OPT, serta apabila memungkinkan adalah upaya pengembangan daerah bebas OPT (Pest Free Area/PFA), tempat produksi bebas OPT (Pest Free Production Site/PFPS) dan area prevalensi rendah OPT (Area Low of Pest Prevalence/ALPP).
Harapan penulis adalah akan timbul upaya-upaya yang lebih kuat dari jajaran perlindungan tanaman di daerah untuk mengimplementasikan sinergisme sistem dan kegiatan perlindungan tanaman dalam pemenuhan persyaratan SPS-WTO. Kegiatan-kegiatan lain yang selama ini dilaksanakan, seperti pengamatan OPT, penggalian teknologi pengendalian yang ramah lingkungan, pemberdayaan petani melalui pola SLPHT, dan pengembangan gerakan pengendalian, perlu terus dikembangkan.
Jakarta, Juli 2008
Siswanto Mulyaman, Fungsional Pengendali OPT Madya