“RAPID BIOASSAY PESTICIDE RESIDUE (RBPR) “,
SISTEM DETEKSI CEPAT RESIDU PESTISIDA PADA PRODUK HORTIKULTURA
Oleh : Siswanto Mulyaman – Fungsional Pengendali OPT (POPT) Madya,
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura
Akhir-akhir ini residu pestisida sudah menjadi perhatian konsumen modern hasil pertanian. Residu Pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil pertanian, bahan pangan, atau pakan hewan baik sebagai akibat langsung maupun tak langsung dari penggunaan pestisida. Istilah ini mencakup senyawa turunan pestisida, seperti senyawa hasil konversi metabolit, senyawa hasil reaksi, dan zat pencemar yang dapat memberikan pengaruh toksikologis, bahkan bahaya bagi kesehatan konsumen dan lingkungan. Dengan persepsi konsumen ini, membuktikan bahwa penggunaan pestisida tidak boleh lagi sembarangan, tidak bijaksana, karena dapat menimbulkan pengaruh/dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Adalah wajar, bila konsumen memilih hasil pertanian yang aman konsumsi (dalam hal ini yang bebas pestisida) atau kalau mengandung residu pestisida, kadarnya masih di bawah batas toleransi.
Kalau sudah demikian besarnya tuntutan konsumen terhadap produk pertanian, peran pemerintah dalam deteksi dini adanya residu pestisida sangat penting, terutama dalam memberikan informasi (deteksi) dini adanya residu pestisida pada produk-produk pertanian yang akan dikonsumsi masyarakat. Uji Rapid Bioassay Pesticide Residue (RBPR), yaitu suatu cara cepat mendeteksi dini keberadaan residu golongan pestisida tertentu, merupakan jawaban untuk merancang regulasi, membangun sistem peringatan dini, dan mengelola sistem pelayanan kesehatan konsumen untuk produk-produk pertanian yang aman konsumsi masyarakat.
RBPR dikembangkan di Taiwan sejak tahun 1985 dan telah berhasil diadopsi dalam sistem pasokan produk pertanian (sayuran dan buah-buahan), serta rantai pasok pasar swalayan besar. Pengujian “bioassay” adalah pengujian memanfaatkan unsur biologi, yaitu enzym Acetilcholinesterase (AchE) dari otak/kepala lalat rumah, Musa domestica dan bakteri Bacillus thuringiensis. RBPR dilaksanakan dengan biaya rendah dan memberikan hasil cepat (hanya selama 15 menit test uji dapat diketahui), langsung dan praktis. Pemeriksaan sampel secara cepat dapat membantu mendeteksi dini residu pestisida dan jaminan keamanan produk produk sayuran dan buah-buahan yang akan diperdagangkan ke tempat lain dengan aman melalui sistem sertifikasi yang dikelola dengan baik.
Penerapan RBPR di Taiwan, dilandasi pemikiran sederhana yang berbeda dengan prinsip yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga perlindungan konsumen di Negara-negara maju lain seperti Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US-EPA), yaitu mendeteksi residu setelah masuk dalam tubuh melalui produk yang dimakan versus prinsip RBPR, yaitu deteksi sebelum masuk dalam tubuh. Prinsip ini dikembangkan oleh Dr. Edward Chen, seorang pakar di bidang analisa kimia makanan di FFTC (Food and Fertilizer Technology Centre) Taiwan, yang menjadikan dirinya terkenal di Negara-negara Asia Pasifik sebagai pakar RBPR. Metode ini sesungguhnya merupakan teknologi klasik dan telah banyak diketahui oleh kalangan analis kimia di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Namun, menjadikan teknologi ini terapan dengan dukungan regulasi, penelitian yang baik, dan sistem manajemen yang baik, adalah terobosan baru.
Dalam penerapan di Taiwan saat ini, RBPR telah dikembangkan di 282 statiun lapangan dalam sistem rantai pasokan produk hasil pertanian yang diperdagangkan, antara lain di asosiasi petani (51 stasiun), koperasi petani (65 stasiun), grosir dan pasar ritel (18 stasiun), rantai pasokan supermarket dan perusahaan swasta lain (100 stasiun), program makanan bagi militer (29 stasiun), program makan siang sekolah (94 stasiun), perusahaan prosesing makanan (19 stasiun), dsb. Stasiun-stasiun tersebut dilaksanakan oleh masing-masing stasiun dengan pengelolaan, bimbingan teknis, dan pengawasan FFTC (Food and Fertilizer Technology Center).
Di samping penerapan di dalam negeri, beberapa negara yang telah mengadopsi teknologi RBPR adalah Korea Selatan, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Negara lain yang telah mengajukan penyebarluasan RBPR adalah Panama, Argentina, Oman, Singapura, Malaysia, Kamboja, Laos, Pakistan dan Australia.
Prinsip dan tujuan pengembangan sistem keamanan pangan melalui pengawasan terhadap residu pestisida adalah : (a) melindungi kesehatan manusia/konsumen sebagai prioritas utama, (b) deteksi dini sebagai upaya pencegahan awal yang memberikan warning terjadinya cemaran residu dari golongan pestisida tertentu, dan (c) catatan bahaya dari racun dideteksi/ditoleransi cukup sampai ppm. Untuk memastikan kandungan residu bahan aktif dari pestisida, dilakukan melalui prosedur analisis baku. Berdasarkan pengalaman dan evaluasi Dr. Chen, bahwa metode ini RBPR
Teori Dasar RBPR, didasarkan pada toksikologi dan dapat menentukan seluruh toksisitas pestisida melalui analisis kimiawi yang bersifat ilmiah. RBPR dirancang untuk pestisida neurotik yaitu insektisida organoposfat dan karbamat, dan fungisida karsinogenik golongan ETU (ethylenthiourea), yang mengandung ethylene bis-thiocarbamates (EBDC).
Pengujian insektisida
Uji RBPR dilaksanakan untuk insektisida dari golongan organofosfat dan karbamat. Dengan melakukan ekstrak tanaman melalui uji Ellman's, penghambatan AChE pada insektisida karbamat dan organoposfat mudah dideteksi.
Reaksi insektisida dapat dideteksi secara in vitro pada AChE yang dimurnikan. Dalam uji Ellman's, warna kuning perlahan bereaksi dengan AChE, yang ditandai dengan perbedaan perubahan warna antara sampel dan larutan blankonya (blank), dan dapat dilihat dengan mata telanjang, namun uji dengan alat spektrofotometer untuk melihat secara jelas perubahan warna dari reaksi yang terjadi dan rekaman datanya, dapat segera diketahui.
AChE diisolasi dari sumber enzym yang memiliki kepekaan terhadap insektisida pada kepala lalat, Musa domestica yang telah terbukti sangat sensitif (Chiu et al, 1991). TARI (Taiwan Agriculture Research Institute) telah menyimpan koloni lalat rumah selama lebih dari 40 tahun, yang bebas dari pembiakan silang antara insektisida – lalat rumah, dan telah digunakan dalam pembuatan AChE untuk mendeteksi residu insektisida pada sayuran dan buah-buahan. AChE diproduksi oleh TARI sangat stabil dan dengan penyimpanan yang baik.
Tes AChE demikian cepat, hanya memerlukan waktu 15 menit dalam seluruh proses uji. Untuk 30 sampel dapat diperiksa dalam waktu satu jam, atau rata-rata 2 menit per sampel, dan telah cukup cepat untuk skrining terhadap sayuran dari pasar grosir sebelum diperdagangkan. Untuk sampel dalam jumlah banyak dan harus diperiksa dalam waktu singkat, maka penggunaan metode ELISA dianjurkan untuk mendeteksi penghambatan enzim dalam mode kinetik, dan 96 sampel dapat diuji secara simultan. Pengujian dilakukan dengan 3 tahap kegiatan, yaitu sampling, pengujian, dan penghitungan penghambatan oleh AChE.
Senyawa insektisida yang peka terhadap AChE melalui uji RBPR adalah :
• Senyawa Organoposfat: Azynphosmethyl, clorpyrifos, diazinon, diclorvos, EPN, fonofos, Metidation, mevinphos, monokrotofos, paration, phenthoate, pirimifosmetil-metil, Profenofos, pyrazophos, pyrida phenthion, phosmet, triazofos (0,8 ppm atau lebih rendah); demeton-S-metil, Terkendali Dimetoat, fenthion, malation, metasystox (R), metil-Paration, prothiophos, triklorfon (0,8-8 ppm).
• Karbamat : Bendiocarb, karbaril, karbofuran, carbosulfon, formetanate, Hokein, methiocarb, propoxur (0,8 ppm atau lebih rendah); BPMC, methomil, thiocarb, MIPC, benfuracarb (0,8-8 ppm).
Pengujian fungisida dengan uji Bt (Bacillus thuringiensis)
Bakteri entomopatogen, Bacillus thuringiensis (Bt) sensitif terhadap banyak fungisida, terutama dari golongan ethylene bis dithio carbamates (EBDC). Bila Bt dimasukan dalam kultur ekstrak tumbuhan, pertumbuhan bakteri dapat dideteksi secara normal dengan larutan TTC (2,3,5-triphenil tetrazolium chloride) yang menghasilkan konversi TF (triphenyl formazan) melalui dehidrogenase, dan perlambatan pertumbuhan bakteri menunjukkan adanya fungisida. Bawang putih, jahe, teh, dll, yang mengandung bahan alami yang mengganggu pertumbuhan Bt, tidak cocok untuk tes ini.
Bt juga sensitif terhadap fungisida selain EBDC, misalnya, antibiotik, captan, flopet, TPTA, clorothalonil, dll. Pengujian dilakukan dengan 3 tahapan kegiatan, yaitu penyiapan larutan Bt, sampling dan ekstraksi larutan campuran, inkubasi dan pengujian. Prosedur selengkapnya seperti dalam lampiran.
Standar BMR dan hasil uji RBPR
Melalui prosedur dan peralatan analisis residu pestisida di laboratorium standar, kandungan bahan aktif suatu pestisida mudah diketahui, meski dalam jumlah yang sangat kecil sekalipun (satu per sejuta/ppm atau bahkan satu per milyar bagian/ppb). Penetapan ambang batas yang aman dikonsumsi oleh konsumen menjadi perhatian masyarakat modern. Oleh karena itu, Codex Allimentarius Commission (CAC), sebagai lembaga dunia yang dibentuk oleh FAO dan WHO pada tahun 1963, telah menetapkan standarnya, yang setiap 2 tahun disidangkan untuk diambil kesepakatan.
Standar Codex tentang residu pestisida menyatakan bahwa Batas Maksimum Residu pestisida (BMR) adalah konsentrasi maksimum residu pestisida (dalam mg/kg), yang diijinkan terdapat pada komoditi pertanian termasuk pakan ternak. Dalam penetapan BMR harus didukung dengan data yang berdasarkan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan/ scientific evidence dan mengutamakan keamanan dan kesehatan pada manusia. BMR ditetapkan melalui Joint FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues (JMPR) yang bersidang setiap dua tahun untuk menentukan level residu yang dapat ditoleransi toxisitasnya.
Menurut JMPR, BMR pestisida diestimasikan berdasarkan asesmen (kemungkinan) tiga risiko residu pestisida, yaitu : (1) asesmen toksikologik terhadap pestisida dan residu pestisida dalam pangan yang berasal dari komoditas pertanian, dengan tujuan menetapkan BMR yang dapat diterima secara toksikologik, baik toksisitas kronik (asupan per hari yang dapat diterima/ ADI (Acceptable Daily Intake) dan akut (dosis referensi, reference dose/RfD), (2) asessmen paparan residu pestisida di lahan produksi komoditas pertanian melalui review data residu pestisida yang berasal dari data percobaan residu, dan (3) pestisida tersupervisi (supervised pesticide residue trial, SPRT) dengan cara aplikasi pestisida menurut panduan nasional cara berbudidaya yang baik dan benar/Good Agricultural Practices agar dapat merefleksikan praktek penggunaan pestisida secara baik dan benar dengan residu minimal.
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura sejak tahun 2000-an sampai saat ini, bekerjasama dengan Laboratorium Pengujian Mutu Produk Pertanian (Ditjen Tanaman Pangan, terakreditasi), telah memantau berbagai kandungan residu pestisida pada produk hortikultura (buah dan sayuran) baik dari wilayah produksi maupun dari ekspor, dan hasilnya dinilai masih aman konsumsi atau kandungan residunya masih di bawah BMR yang ditetapkan.
Meski kegiatan pemantauan rutin telah dilakukan, namun peringatan dini dan jaminan keamanan konsumsi sebelum produk dikonsumsi masyarakat, masih belum dikembangkan secara memadai. Deteksi dini dengan uji RBPR merupakan altenatif pemecahannya. Dalam uji RBPR, meski belum secara pasti dapat menentukan jenis dan kandungan residu pestisida, namun konsumen telah diberikan warning bahwa produk yang dikonsumsinya telah terpapar pestisida tertentu.
Nilai ekonomi dan investasi yang diperlukan untuk pengembangan deteksi cepat residu pestisida (RBPR)
Untuk mengembangkan penerapan deteksi cepat residu pestisida pada produk buah-buahan dan sayuran, bukan pekerjaan yang mudah dan perlu analisis yang memberikan nilai ekonomi. Taiwan sebagai negara pertama yang mengimplementasikan uji klasik ini, melalui lembaga penelitiannya telah menginformasikan efektifitas dan efisiensi uji ini.
Di suatu lembaga analisis kimia di Taiwan, dengan 18 orang peneliti yang melakukan analisis sebanyak 14,000 sampel/tahun dapat menemukan 420 kasus residu pestisida (sekitar 3 %). Sementara itu, di Grosir supermarket yang menerapkan RBPR dengan 2 orang inspektur pangan yang sudah dilatih RPBR, setiap tahun dapat memeriksa 20.000 sampel. Melalui sistem terpadu (analisis laboratorium residu pestisida dan RBPR), dari 20.000 sampel dapat dideteksi (dengan RBPR) kasus residu sebanyak 300 kasus (20.000 x 3 % x 50 % (deteksi kemampuan RBPR)). Sistem terpadu yang dikembangkan di Taiwan dilaksanakan oleh 2 orang terlatih RBPR dan 1 orang analis kimia residu. Apabila 18 orang peneliti dikerahkan bekerja maksimal dalam sistem terpadu, maka dalam setahun akan dapat menemukan kasus paparan residu pestisida sebanyak 1.800 kasus (300 kasus x 6 working group (18 orang dibagi 3 orang). Dengan sistem terpadu, pekerjaan deteksi dini residu pestisida cukup efektif dalam pengawasan mutu keamanan pangan.
Implikasinya bagi Indonesia
Kunci penerapan RBPR di Taiwan adalah adanya aturan hukum yang memayungi upaya perlindungan konsumen, ketersediaan sarana dan pra-sarana laboratorium, SDM terlatih, komitmen dan fasilitasi pemerintah, serta pengelolaan oleh institusi yang ditunjuk dalam pembinaan dan pengawasan jaringan stasiun-stasiun yang dibangun.
Demikian pula dengan pengalaman Negara Korea Selatan. Di Korea Selatan, melalui Federasi Koperasi Pertanian Nasional (National Agricultural Cooperative Federation, NACF) telah mengembangkan RBPR sejak 1996. Korea Selatan awalnya kurang tertarik untuk menerapkan teknologi ini, namun setelah beberapa staf pertaniannya dikirim ke Taiwan Agricultural Research Institute (TARI) untuk berlatih prosedur bioasai cepat (RBPR), pada awalnya tidak menerima cara pengujian ini. Namun, akhirnya, dengan sistem dan kelembagaan yang tidak berbeda, Korea Selatan mampu mengembangkan sistem aplikasi pengujian residu cepat ini, bahkan akhir-akhir ini mereka telah mengembangkan teknologi ini di stasiun-stasiun (> 100 unit stasiun) yang dibangun Pemerintah, termasuk di lembaga-lembaga pemerintah yang ada. Berbeda dengan di Taiwan, perangkat peraturan yang mengikat di Korea Selatan belum dibangun.
Negara Korea Selatan saja yang termasuk negara maju telah mengadopsi teknologi ini, bagaimana dengan Indonesia ?. Jawabanya terletak kepada good will kita semua. Balitsa, menurut situs resminya juga telah mengembangkan metode ini, hanya belum mengimplementasikan dalam sistem dan kelembagaan yang ada. Teknologi ini merupakan teknologi klasik dan scientific based dan mudah diterapkan.
Bagi Indonesia, teknologi pengujian RBPR merupakan hal penting dan bukan suatu teknologi yang rumit, dan dapat diadopsi untuk pengembangannya. Kelembagaan laboratorium yang ada cukup memadai dan dapat dimanfaatkan untuk penerapan RBPR. Namun demikian, hal-hal yang perlu disiapkan adalah SDM pelaku yang terlatih, penyediaan sarana dan pra-sarana laboratorium uji, dan perlunya di bangun sistem stasiun-stasiun uji, serta adanya aturan yang mengikat semua pelaku agribisnis hortikultura.
Akhirnya, diperlukan tindak lanjut yang diperlukan untuk pengembangan RBPR, yaitu : (1) adanya aturan hukum yang mengikat bagi semua stakeholder termasuk dunia usaha dan peningkatan awareness petani agar mau memeriksakan hasil tanamannya untuk di uji di stasiun di bangun, (2) pelatihan SDM yang kompeten dalam sistem pengawasan mutu keamanan produk, (3) membangun stasiun-stasiun pengujian di pusat-pusat pengumpul, pusat penjualan, grosir, koperasi petani, petani pengumpul, dsb., (4) mengembangkan sistem manajemen pengujian yang baik dan konsisten berbasiskan jaringan stasiun-stasiun, (5) mengembangkan penelitian untuk mengurangi ketergantungan dari negara lain dalam penyediaan bahan uji dasar (explorasi enzim AChE dari lalat rumah dan isolat Bacillus thuringiensis), dan (6) perlunya komitmen pemerintah dalam sistem pengendalian residu pestisida sejak dini dalam kesatuan yang utuh dan fasilitasi sarana pengujian di stasiun-stasiun pengawasan mutu hasil pertanian. Semoga dapat diwujudkan…..
Jakarta, Juli 2010
Siswanto Mulyaman – Fungsional Pengendali OPT Madya,
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura