Mengenai Saya

Foto saya
Depok, Depok-Jawa Barat, Indonesia
Blog pribadi

Selasa, 28 Desember 2010

SOS BLOG: Refkesi Perlindungan Tahun 2010 dan Prospek 2011

SOS BLOG: Refkesi Perlindungan Tahun 2010 dan Prospek 2011

Refkesi Perlindungan Tahun 2010 dan Prospek 2011


1. Latar belakang
Perlindungan tanaman hortikultura merupakan bagian integral dari sistem produksi hortikultura. Peran perlindungan tanaman dalam mendukung keberhasilan pengembangan hortikultura sangat besar, terutama dalam mempertahankan produktivitas melalui upaya penekanan kehilangan hasil akibat serangan OPT dan meningkatkan kualitas hasil produk yang aman konsumsi, meningkatkan daya saing produk hortikultura sesuai standar yang dipersyaratkan dalam perdagangan, serta menciptakan suatu sistem produksi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Dalam mendukung pengembangan hortikultura, peran perlindungan tanaman sangat penting, terutama dalam hal; 1) pengamanan produksi, 2) peningkatan mutu produk yang aman konsumsi, 3) pemberdayaan petani yang mandiri dalam penguasaan dan penerapan teknologi PHT dan ramah lingkungan, serta 4) memberikan dukungan terhadap upaya penerapan budidaya tanaman sehat dan ramah lingkungan dan peningkatan daya saing produk hortikultura untuk akses pasar domestik dan global.
Kegiatan-kegiatan tersebut ditujukan guna mencapai tujuan efisiensi usahatani yang bermutu dan berdaya saing yaitu 1) penguatan pengamatan OPT, 2) penguatan pengen-dalian OPT melalui penerapan budidaya tanaman sehat untuk mendukung penerapan usahatani yang baik sesuai SOP-GAP, 3) penguatan penerapan dan pemasyarakatan PHT melalui SLPHT, 4) penguatan pemantauan residu pestisida, dan 5) penguatan pemenuhan persyaratan SPS-WTO melalui surveillance, koleksi dan identifikasi OPT dan apabila memungkinkan mengembangan daerah bebas OPT (Pest Free Area/PFA) dan/atau tempat/ lokasi produksi bebas OPT (Pest Free of Production Site/PFPS atau Pest Free Places of Production).

2. Capaian tahun 2010

a. Penguatan Pengamatan OPT
Di bidang pengamatan, penguatan Sistem Informasi Management (SIM) OPT yang telah dirancang sejak 2003 menjadi dasar dalam penghimpunan data, analisis dan evaluasi hasil-hasil pementauan serangan OPT. Sesuai Renstra 2009 – 2014 dan laporan dan hasil analisis serangan OPT oleh UPTD BPTPH (32 provinsi), capaian luas serangan OPT hortikultura 2010 dapat dicapai < 5 % dari luas panennya. Munculnya beberapa OPT yang endemis dan OPT baru, dapat dikendalikan secara baik oleh jajaran perlindungan tanaman di daerah.

b. Penguatan pengendalian OPT dan penerapan teknologi ramah lingkungan
Pengendalian OPT diarahkan dalam rangka penanggulangan OPT melalui gerakan-gerakan pengendalian OPT endemis atau OPT prioritas masing-masing wilayah/daerah dan pemanfaatan agens hayati dan cara-cara pengendalian secara biologi yang berorientasi kepada pengelolaan budidaya tanaman sehat dan ramah lingkungan, serta koordinasi-koordinasi penanggulangan OPT.
Dalam membantu masalah OPT yang timbul di lapangan,jajaran perlindungan tanaman melakukan gerakan pengendalian OPT bersama petani/kelompok tani. OPT yang sering menimbulkan masalah di lapangan dan telah ditangani oleh jajaran perlindungan tanaman di daerah dan berhasil menanggulangi OPT endemis pada komoditas utama hortikultura.

Di samping itu, timbulnya serangan OPT baru di beberapa daerah seperti kutu putih pada papaya, virus kuning kacang panjang, dan virus kuning pada cabai, dapat ditanggulangi dengan menerapkan prinsip-prinsip PHT, teknologi ramah lingkungan, dan gerakan pengendalian melibatkan petani.
Pengendalian OPT secara biologi dengan pemanfaatan agens hayati dan biopestisida juga dilakukan karena merupakan salah satu komponen pengendalian yang didasarkan kepada prinsip utama PHT, yaitu budidaya tanaman sehat, telah banyak diterapkan petani di sentra-sentra produksi, khususnya sayuran.
Pengembangan penerapan agens hayati dan biopestisida dalam rangka pengendalian OPT ramah lingkungan tidak berdampak negatif bagi lingkungan, hewan, dan manusia. Di samping itu memiliki keuntungan, bila dibandingkan dengan teknik pengendalian lain terutama pestisida, yaitu: 1) tidak menimbulkan persisten; 2) aman; dan 3) ekonomis.
Beberapa jenis agens hayati yang telah dikembangkan dan menjadi pilihan cara pengendalian oleh petani hortikultura dan diaplikasikan petani di lapangan, antara lain:

a. Trichoderma sp., Gliocladium sp., Pseudomonas fluorescens, merupakan patogen antagonis, digunakan untuk mengendalikan penyakit terutama patogen tular tanah dan sering diaplikasikan sebagai kompos,
b. Beauveria bassiana, Metarrhizium anisopliae, Bacillus thuringiensis, Sl-NPV, Se-NPV merupakan entomopatogen, digunakan untuk mengendalian larva/ulat berbagai OPT,
c. Trichogramma sp., merupakan parasitoid larva,
d. PGPR, terdiri dari Bacillus, Pseudomonas, Rhizobium dll., yang digunakan untuk memperkuat ketahanan tanaman.

Sedangkan tanaman yang telah dikembangkan sebagai biopestisida, adalah: selasih, nimba, Mellaleucha, akar tuba, sirsak, dan lain-lain. Biopestisida merupakan hasil ekstrak bagian tanaman yaitu : daun, biji/buah, dan/atau akar.
Pengembangan penerapan agens hayati dan biopestisida telah banyak dilakukan di tingkat petani, terutama untuk perbanyakan massalnya. Di beberapa daerah dengan pembinaan Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP), telah banyak dibentuk kelompok-kelompok tani pengguna agens hayati, yaitu Sumatera Barat - POS IPAH (Pos Informasi Pelayanan Agens Hayati) 73 kelompok, Jatim-PPAH (Pusat Pelayanan Agens Hayati) 210 kelompok, Jawa Tengah- PUSPAHATI (Pusat Pelayanan Agens Hayati) 99 kelompok, dan Jambi - POS IPAH 10 kelompok, dan provinsi lain yaitu Provinsi Sumsel 12 kelompok, Kaltim 3 kelompok, Sumut 4 kelompok, Bali 2 kelompok, Banten 1 kelompok, Bengkulu 6 kelompok dan DIY 36 kelompok, Sulut 3 kelompok, NTB 7 kelompok, NAD 27 kelompok, Jabar 4 kelompok, Lampung 12 kelompok, Gorontalo 15 kelompok, dan Maluku 3 kelompok, dengan total sebanyak 527 kelompok.

c. Penguatan Penerapan dan pemasyarakatan PHT
Sesuai dengan semangat UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, pengendalian OPT harus dilaksanakan dengan sistem PHT. Keberhasilan penerapan PHT melalui metodologi Sekolah Lapangan PHT (SLPHT) terletak pada partisipasi petani secara kelompok dalam menerapkan PHT dan menerapkan prinsip budaya tanaman sehat/ramah lingkungan dengan menggunakan agens hayati dan pestisida nabati.
Di subsektor hortikultura, penerapan PHT diarahkan dalam mendukung upaya penerapan budidaya yang baik dan benar sesuai prinsip Good Agricultural Practices (GAP) dan penggunaan pestisida yang baik dan benar dengan residu minimum. Kedua hal tersebut, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penerapan SOP-GAP. Selanjutnya melalui sertifikasi produk dan pemantauan sistem mutu yang dilaksanakan secara baik, akan dapat meningkatkan daya saing produk, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor.

Pemasyarakatan PHT pada budidaya salak yang dilaksanakan sesuai SOP-GAP di DI Yogyakarta (Sleman) dan Jawa Tengah (Magelang) sejak tahun 2009 - saat ini, salak dari dua daerah ini telah diterima pasar/diekspor ke China.

d. Penguatan pemantauan residu pestisida
Penerapan teknologi pengendalian ramah lingkungan, tidak hanya penggunaan dan pemanfaatan agens hayati, tetapi juga penggunaan pestisida secara baik dan benar dengan residu minimal sesuai prinsip GAP (Good Agricultural Practices) yang diwujudkan dalam prinsip GPP (Good Pesticide Practices). Prinsip GPP menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam penerapan GAP, antara lain mengatur berbagai teknik/cara-cara :
• Memilih pestisida : yang tepat jenis, yang mudah terurai (tidak persisten),
• Pengaturan cara aplikasi pestisida yang baik : waktu, dosis, sasaran, jangka waktu sebelum panen, alat dan teknik aplikasi yang tepat,
• Pengambilan sampel dan analisis residu pestisida, dsb.

Kandungan residu pestisida di atas Batas Maksimum Residu (BMR) merupakan faktor pembatas ditolaknya produk untuk ekspor dan berdampak negatif terhadap kesehatan konsumen, dan pencemaran lingkungan. Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura secara rutin melakukan pemantauan residu pestisida dan pemberdayaan masyarakat petani agar penggunaan pestisida dilakukan secara baik dan benar dengan residu minimum.

Kegiatan yang telah dilakukan adalah :
• Pengambilan sampel pada berbagai komoditas di lahan budidaya maupun di pasar-pasar yang menjajakan produk hortikultura impor dan lokal.
• Analisis residu pestisida dilakukan di Laboratorium Pestisida, Balai Pengujian Mutu Produk Pertanian, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan.
• Pembinaan/bimbingan teknis penggunaan pestisida secara baik dan benar dengan residu minimum, diarahkan dalam mendukung penerapan SOP-GAP,
• Penyediaan sarana Laboratorium Pestisida.

Hasil pengambilan sampel produk buah-buahan dan sayuran dari pusat-pusat perdagangan dan analisis residunya oleh Balai Pengujian Mutu Produk Pertanian-Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, menunjukkan bahwa produk hortikultura tersebut masih aman konsumsi dan residu pestisida yang terdeteksi masih di bawah BMR yang ditetapkan.

e. Penguatan Pemenuhan Persyaratan SPS-WTO
Secara internasional, peraturan dibidang kesehatan tanaman tergambar dalam kesepakatan mengenai sanitary and phytosanitary yang ditetapkan WTO (SPS-WTO). Menunjuk pada ketentuan SPS-WTO tersebut, maka dalam perdagangan internasional, produk pertanian termasuk hortikultura dari suatu negara dapat ditolak masuknya ke negara lain karena alasan mengandung OPT berbahaya.
Terkait dengan hal tersebut diatas, peran perlindungan hortikultura akan menjadi semakin vital, tidak saja untuk mengamankan produksi hasil, tetapi juga mendukung terjaminnya mutu produk yang akan diekspor, yang memang bebas cemaran OPT. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meraih maksud tersebut adalah dengan mengembangkan sinergisme sistem perlindungan hortikultura yang lebih diarahkan pada upaya pemenuhan persyaratan SPS-WTO. Sinergisme tersebut menyangkut upaya mensosialisasikan/memasyarakatkan persyaratan SPS-WTO, penyusunan standard dan pelaksanaan surveillance, koleksi dan identifikasi OPT dan pengembang-an daerah bebas OPT (Pest Free Area / PFA), daerah/tempat lokasi produksi bebas OPT (Pest Free Production Site / PFPS) dan atau daerah prevalensi OPT rendah (Area Low of Pest Prevalence / ALPP).

Langkah yang telah ditempuh sampai 2010 (sejak 2008) adalah membangun sinergi kerja sistem perlindungan tanaman sesuai persyaratan SPS-WTO di 12 provinsi (17 LPHP) untuk melaksanakan kegiatan surveillnas, koleksi, dan identifikasi OPT pada komoditas unggulan ekspor.

Salah satu keberhasilan melalui kegiatan sinergisme ini adalah diterimanya produk salak Indonesia oleh China, sementara itu untuk manggis telah dapat dinegosiasikan untuk pangsa pasar ekspor ke Australia, dengan syarat dipenuhinya syarat tambahan yaitu penanganan OPT pasca panen. Upaya penanganan pasca panen telah dipenuhi Indonesia dan saat ini dalam kajian Biosecurity Australia. Untuk produk mangga telah dapat dinegosiasikan untuk menembus pasar Jepang, dengan syarat dipenuhinya persyaratan penanganan hama lalat buah dengan teknologi VHT (Vapour Heat Treatment). Dengan bantuan Pemerintah Jepang dalam kerangka kerjasama Indonesia Japan Economic Partnership (IJEPA), Indonesia pada tahun 2010 ini memperoleh bantuan 2 mesin VHT skala laboratorium dan kelengkapan lainnya, untuk mendesinfestasi (membunuh) lalat buah pada buah mangga gedong gincu yang akan diekspor setelah tahun 2013.

Kunci keberhasilan pelaksanaan kegiatan ini pada umumnya adalah penerapan PHT berbasiskan partisipasi petani dalam menerapkan prinsip budidaya tanaman sehat sesuai SOP-GAP dan upaya-upaya memenuhi persyaratan perdagangan global (SPS-WTO) untuk akses pasar lokal dan internasional, yaitu tersedianya Pest List yang dihasilkan melalui surveilans yang dipersyaratkan, tersedianya koleksi OPT, dan hasil identifikasi OPT yang bersifat ilmiah (scientific justifiable). Sampai dengan tahun 2010, telah disiapkan Pest List pada 26 jenis komoditas. Pest List ini akan terus dilakukan update setiap tahun sesuai permintaan Negara pengimpor produk.
Sedangkan untuk pengembangan daerah prevalensi rendah OPT (Area Low of Pest Prevalence/ALPP), masih terus disempurnakan operasionalisasinya di lapangan.
Dengan upaya-upaya yang ditempuh tersebut, kegiatan perlindungan tanaman diharapkan dapat mencapai hasil yang efektif, efisiensi dan berdaya saing serta memenuhi persyaratan perdagangan.

f. Penguatan Kerjasama Luar Negeri
Pada tahun 2010, kerjasama luar negeri dalam penanganan OPT yang dilaksanakan oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura dilakukan dalam rangka memperkuat basis teknis dan ilmiah di bidang pengelolaan OPT. Kerjasama tersebut dilaksanakan dalam memperkuat akses pasar produk horikultura.
Kerjasama yang dilaksanakan tersebut, yaitu :
• Pemerintah Australia (ACIAR, Australia Centre Institute for Agriculture Reseach) dalam pengelolaan hama lalat buah melalui kegiatan surveilans, koleksi dan identifikasi lalat buah, pengelolaan OPT manggis dan penyakit layu pisang.
• Kerjasama bilateral dengan pemerintah Jepang dalam konteks kerjasama ekonomi (Economic Partnership, dalam IJ-EPA / Indonesia Japan Economic Partnership Agreement) telah disepakati bahwa pemerintah Jepang bersedia memberikan hibah 2 unit mesin Vapor Heat Treatment (VHT) beserta kelengkapannya dan pembangunan Laboratorium VHT melalui kegiatan Improvement of Thermal Technique Against Fruit Flies on Fresh Mango.

Kerjasama ini akan meletakkan dasar ilmiah desinfestasi (mematikan) lalat buah pada buah mangga yang dipersyaratkan Jepang. Kerjasama ini dirintis mulai 2009, dilaksanakan tahun 2010 dan berakhir pada tahun 2013. Setelah tahun 2013, diharapkan buah mangga gedong gincu akan dapat diekspor ke Jepang.

3. Prospek tahun 2011
Berdasarkan capaian kegiatan tahun 2010 tersebut, kegiatan perlindungan hortikultura tetap memfokuskan kegiatan dalam : 1) pengamanan produksi, 2) peningkatan mutu produk yang aman konsumsi, 3) pemberdayaan petani yang mandiri dalam penguasaan dan penerapan PHT dan penerapan teknologi ramah lingkungan, serta 4) memberikan dukungan terhadap upaya penerapan budidaya tanaman sehat dan ramah lingkungan dan peningkatan daya saing produk hortikultura untuk akses pasar domestik dan global.
Namun demikian, sesuai dengan program Direktur Jenderal Hortikultura, terutama pengembangan kawasan yang berintikan penerapan SOP-GAP secara komprehensif di lapangan, maka pada tahun 2011 Direktorat Perlindungan Hortikultura akan lebih memfokuskan kepada kegiatan nyata di lapangan sbb. :

a. Penyediaan dan penerapan teknologi ramah lingkungan dengan agens hayati dan pestisida dalam jumlah yang cukup di tingkat lapangan, diproduksi secara masal dan dimasyarakatkan penggunaannya di tingkat kelompok-kelompok pengguna agens hayati dan pestisida nabati yang dibina dan difasilitasi oleh LPHP (87 unit) tersebar di 32 UPTD BPTPH.
Pemasyarakatan penggunaan teknologi ini diyakini dapat menciptakan budidaya tanaman sehat dan ramah lingkungan, mengurangi penggunaan pestisida dan dapat mensubstitusi penggunaan bahan kimia anorganik.

b. Pemasyarakatan penggunaan bahan kimia anorganik (khususnya pestisida) secara baik dan benar sesuai prinsip Good Pesticide Practices (GPP).
Dengan sosialisasi dan pemasyarakatan penggunaan pestisida yang baik dan benar, diharapkan produk hortikultura aman konsumsi dan residu pada produk di bawah ambang batas (Minimum Residue Limits/MRLs atau Batas Maksimum Residu/BMR) yang ditetapkan WHO dalam Codex Alimantarius Commission (CAC). Kegiatan pemantauan residu pestisida agar residunya minimum, akan dilakukan melalui kegiatan sosialisasi, pemasyarakatan penggunaan, dan analisis residu pestisida.

c. Peningkatan kegiatan sinergisme sistem perlindungan tanaman dalam pemenuhan persyaratan SPS-WTO melalui surveilans, koleksi dan identifikasi pada komoditas unggulan ekspor di sentra produksi unggulan serta mengembangkan area prevalensi rendah OPT (ALPP) atau lokasi/tempat produksi bebas OPT (Pest Free Production Site / PFPS atau Pest Free Places of Production / PFPP) untuk OPT dan komoditas tertentu.
Kegiatan ini dilakukan untuk memperkuat basis/sandaran ilmiah dalam pemenuhan risk analysis yang dipersyaratkan / dimintakan oleh Negara pengimpor.

d. Melanjutkan upaya penerapan teknologi thermal treatment dengan mesin VHT (Vapor Heat Treatment) untuk penanggulangan OPT lain pada komoditas ekspor lain, di samping untuk penanggulangan lalat buah pada mangga. Di samping itu mendorong pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengelolaan mesin VHT di tempat-tempat pelabuhan keluar masuk produk hortikultura. Kerjasama dengan Pusat Karantina Tumbuhan akan ditingkatkan.

e. Melanjutkan upaya-upaya yang mendukung penerapan SOP-GAP komoditas unggulan di sentra-sentra produksinya melalui penerapan dan pemasyarakatan PHT dalam pola pemberdayaan dan partisipasi petani (SLPHT) serta pengembangannya. Di samping itu, kegiatan pengamatan dan pengendalian OPT tetap dilaksanakan untuk mendukung upaya pengamanan produksi dari serangan OPT.

f. Meningkatkan komunikasi dan koordinasi dengan para pakar dari perguruan tinggi dan lembaga penelitian terkait dalam wadah Komisi Perlindungan Tanaman (KPT) dan Kelompok-kelompok Kerja (Pokja) penanggulangan OPT. Peningkatan komunikasi dan koordinasi ini dilakukan untuk memperoleh saran, masukan, dan arahan yang bersifat teknis dalam pengendalian OPT.

g. Menyiapkan ketentuan, peraturan, norma dan standar teknis tentang perlindungan tanaman sebagai tindak lanjut dari diberlakukannya Undang-undang Hortikultura Nomor 13 Tahun 2010.

Di samping itu,
Perubahan Struktur dan Pejabat Ditlinhor, Akhir Tahun 2010, tepatnya tanggal 31 Desember 2010, Direktur Jenderal Hortikultura melantik Pejabat Es III dan IV baru di lingkungan Ditjen Hortikultura, salah satunya adalah Direktorat Perlindungan Hortikultura, yang beberapa waktu lalu juga ditetapkan Direktur baru di lingkungan Ditjen Hortikultura. Direktur Perlindungan Hortikultura saat ini adalah Bapak Ir. Soesilo, MSi.

Perubahan nama Direktorat dan Pemangku Jabatan Es III dan IV adalah sbb.:

1. Subdit Perlindungan Tanaman Buah - Kasubdit : Dr. Ir. Dwi Iswari teridiri dari,
- Seksi Teknologi : Ir. Anik Kustaryati
- Seksi Pengendalian OPT : Issusilaningtyas, UH., S.Sos

2. Subdit Perlindungan Tanaman Sayuran dan Tanaman Obat (sebelumnya dengan nama
Subdit Perlindungan Tanaman Sayuran) - Kasubdit : Ir. Cahyaniati, MSi. (sebelumnya Kasubdit Perlindungan Tanaman Buah),
- Seksi Teknologi : Endik Mulyadi, STP.
- Seksi Pengendalian OPT : Wita Khairia, SP., MSi.

3. Subdit Perlindungan Tanaman Florikultura (sebelumnya dengan nama Subdit
Perlindungan Tanaman Hias dan Biofarmaka) - Kasubdit : Ir. Siswanto Mulyaman(sebelumnya Fungsional POPT),
- Seksi Teknologi : Ir. Nadra Illiyina Khalid, MM.
- Seksi Pengendalian OPT : Ir. Medirena Railan,MM.

4. Subdit Dampak Iklim dan Persyaratan Teknis (sebelumnya Subdit Pengamatan,
Analisis dan Pelaporan) - Kasubdit : Ir. Ellen Elvinardewi,
- Seksi Pengelolaan Dampak Iklim : Ir. Irwan Adam
- Seksi Informasi dan Persyaratan Teknis : Ir. Ripah Karyatiningsih.

Di samping itu juga terjadi perubahan, dengan mutasi beberapa orang pejabat ke direktorat lain, yaitu :

1. Ir. Liliek Sri Utami, MSc., menjabat salah satu Kasubdit di Direktorat Tanaman
Florikultura,
2. Ir. Sulistio Sukamto, MSc, menjabat salah satu Kasubdit Pasca Panen Tanaman
Buah Terna, Dit. Budidaya dan Pasca Panen Buah
3. Ir. Kurnia Nur, menjabat salah satu Subbag di Bagian Perencanaan, Setditjen
Hortikultura.

Mohon dukungan dan kerjasama semua pihak dalam melaksanakan tugas pembangunan bidang perlindungan hortikultura.


Jakarta, 27 Desember 2010

Siswanto Mulyaman, POPT Ahli Madya,
Direktorat Perlindungan Hortikultura

Jumat, 17 Desember 2010

BELAJAR DARI KERUGIAN PETANI CABAI

Oleh : Irwan Adam 1), Siswanto Mulyaman 2)
1) Staf Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura
2) Fungsional Pengendali OPT (POPT) Madya, Direktorat Perlindungan Tanaman
Hortikultura


Belajar dari pengalaman terjadinya serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada komoditas strategis di beberapa daerah terutama yang berdampak kepada terganggunya pasokan kepada konsumen, sistem mitigasi dan pengelolaan OPT perlu terus menerus disosialisasikan kepada para pihak, sehingga timbul sikap kewaspadaan (awareness) dan cepat anggap (rapid respon) dari para pihak untuk mengambil langkah-langkah antisipasi dan terkoordinasi. Alasan terkait ketidaktahuan timbulnya serangan, gejala, sifat, karakteristik dan dampak serangan OPT, perlu dijawab dengan upaya mendudukan kembali kepada kewenangan dan tanggung jawab operasional pengendalian OPT sesuai peraturan yang ada.
Tulisan ini tidak bermaksud mencari-cari kesalahan, melainkan mencoba menjelaskan permasalahan yang muncul di lapangan baik langsung atau tidak langsung ikut berperan ”memicu” berkembangnya epidemi penyakit virus kuning dalam 5 tahun terakhir (2003 – 2007) di Indonesia. Dengan demikian pengelolaan OPT pada tanaman cabai ke depan makin baik, sehingga keberlangsungan agribisnis cabai berkelanjutan dan menguntungkan petani.

Pendahuluan
Manusia hidup di dunia tidak boleh berhenti untuk belajar baik melalui pendidikan formal di ruang kelas maupun dengan pertemuan tidak formal di bilik-bilik balai desa atau di alam terbuka, secara otodidak perorangan ataupun kumpul bersama teman di bawah bimbimingan guru. Tujuan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam rangka merubah sesuatu yang belum baik menjadi lebih baik, namun begitu belajar tidak hanya dari pengalaman orang yang sukses, tetapi bisa juga dari orang yang mengalami kegagalan guna mengetahui penyebab dan menghindari kegagalan tersebut supaya tidak terulang kembali, sehingga keberuntungan dapat diraih
Demikian pula kita bisa belajar dari kejadian buruk yang menimpa petani cabai akibat mewabahnya serangan penyakit virus kuning di hampir seluruh daerah sentra produksi dan pengembangan cabai di Indonesia, sehingga pada tahun 2007 kerugian petani tercatat Rp 20 Miliyar lebih. Musibah ini merupakan isyarat alam bagi petugas Deptan di pusat dan daerah untuk menjadikannya sebagai pelajaran atau bahan renungan, mengapa penyakit yang disebabkan oleh geminivirus yang awal serangannya pada tahun 2003 terbatas di Kabupaten Magelang – Provinsi Jawa Tengah, kini penyebaran dan luas serangannya sudah bertambah hampir seluruh daerah tanaman cabai di bumi Nusantara. Akibatnya, tidak hanya berdampak buruk terhadap ketersediaan cabai (rantai pasokan) di pasaran tidak lancar, yang kemudian memicu terjadinya harga yang tinggi, terutama menjelang hari-hari besar keagamaan dan nasional, juga prihatin terhadap kehidupan petani karena besarnya kerugian yang diderita akibat usahataninya mengalami gagal panen atau puso. Bahkan sebagian petani mengalami trauma untuk menanam cabai, lalu beralih usahatani pada komoditas pertanian lain.
Kata orang bijak, pengalaman adalah guru yang terbaik. Belajar dari kejadian tentang kurang berhasilnya petugas pertanian di pusat dan daerah dalam koordinasi penanggulangan serangan penyakit virus kuning pada tanaman cabai, hingga menimbulkan kerugian puluhan miliyar bagi petani. Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman buruk tersebut diharapkan menjadi bahan kajian berharga bagi petugas pertanian untuk pembinaan dan bimbingan para pelaku agribisnis cabai ke depan, sehingga hasil jerih payah dalam berusahatani mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga petani, dan kalaupun terserang OPT tidak sampai menimbulkan kerugian secara ekonomi.

Mengenal Gejala Serangan Virus Kuning
Ketika mulai hebohnya serangan virus kuning cabai di Jateng, DIY, dan Lampung Barat (2003-2004), Ditlintan Hortikultura telah mengingatkan daerah sentra produksi dan pengembangan cabai untuk waspada terhadap bahaya penyakit virus kuning cabai dan mengambil langkah operasional secara nyata dan koordinatif. Kurangnya tanggapan dan langkah operasional yang memadai dari semua pihak di daerah, menyebabkan penyebaran virus kuning cabai ini meluas ke seluruh daerah sentra produksi dan pengembangan cabai. Seyogyanya, sejak dini masalah ini dapat ditanggulangi melalui upaya pengendalian vektor dengan menerapkan teknologi yang ada dan telah dikenal petani dan pemberdayaan petani melalui sekolah-sekolah lapang PHT (SLPHT). Sayangnya respon para pihak terhadap serangan virus gemini ini masih kurang bahkan memandang tidak berpengaruh banyak terhadap produksi. Kurangnya awareness dan rapid response dari para pihak ini menyebabkan virus gemini terus berkembang dan potensial mengancam upaya pengembangan agribisnis cabai.

Pengalaman ini menunjukkan, banyak petugas lapang belum paham betul dengan gejala serangan virus kuning, sehingga di lapangan rancu dengan gejala virus lain pada cabai (Mosaic virus, virus keriting, kerupuk, dll). Akibatnya, laporan virus kuning yang masuk ke pusat juga relatif sedikit. Namun setelah dilakukan monitoring, pembinaan dan bimbingan dari pusat ke daerah, telah banyak daerah yang melaporkan serangan virus kuning.
Dari gejalanya, virus ini terjadi sejak di pembibitan sampai periode pertumbuhan vegetatif dan pembungaan. Gejala khas yang terlihat pada tanaman sakit di lapangan adalah klorosis atau kuning pucat antar vena daun, daun menguning cerah, daun melekuk ke atas atau ke bawah, daun meyempit, tanaman kerdil disertai pertumbuhan daun muda yang kecil-kecil banyak, bunga rontok, dan akhirnya tanaman tinggal ranting dan batang saja, kemudian mati. Namun di lapangan tidak semua daun menunjukkan kuning cerah, tergantung respon varietas, tinggi tempat dan agroklimatnya.
Tindakan korektif yang dinilai efektif menekan penularan penyakit lebih lanjut adalah pencabutan dan pemusnahan (eradikasi) tanaman sakit dan pengurangan infestasi vektor. Sebab bila dibiarkan hidup, tanaman tidak akan menghasilkan atau gagal panen (puso). Sedangkan bila gejala serangan baru terlihat saat berbunga, hasil panennya masih bisa diharapkan di atas 50 %.

Perkembangan Virus Kuning
Patogen penyebab penyakit virus kuning adalah Geminivirus “TYLCV” (Tomato Yellow Leaf Curl Virus). Penyakit dari group Begomovirus ini tidak ditularkan melalui biji, tetapi dapat menular melalui penyambungan dan tusukan kutu kebul (Bemisia tabaci) yang hingga kini diketahui merupakan penular efektif dari satu tanaman ke tanaman lain. Terlebih kutu kecil berwarna putih ini termasuk folifag menyerang berbagai jenis tanaman, antara lain tanaman hias, sayuran, buah-buahan, maupun tanaman liar dan gulma. Khusus tanaman budidaya yang menjadi inangnya meliputi, tomat, cabai, kentang, mentimun, terung, kubis,buncis, selada, bunga potong Gerbera, ubi jalar, singkong, kedelai, tembakau, dan lada sedangkan tanaman yang disukai adalah babadotan (Ageratum conyzoides). Pengendalian terhadap serangga vektor yang hanya mengandalkan pestisida kimia saja terbukti kurang efektif karena tubuhnya berlapis lilin, kemampuan terbang tinggi, juga diketahui relatif resisten terhadap pestisida kimia.
Melihat sejarah perkembangannya, penyakit ini cepat menyebar dari satu negara ke negara lain, sehingga penyebarannya di berbagai Negara di dunia tercatat sebagai berikut, di Asia 37 negara, Afrika 39 negara, Eropa 26 negara, Amerika 30 negara dan Oceania 14 negara. Awal infeksi geminivirus pada cabai dilaporkan di Mexiko tahun 1990 dan, Texas 1996, Thailand 1997, dan Indonesia 2003. Kurangnya kesadaran terhadap bahaya penyebaran penyakit yang ditularkan dengan lincah oleh serangga vektor dari tanaman ke tanaman dari daerah terserang ke daerah lain yang masih sehat, menyebabkan luas serangan dan daerah sebarannya meningkat cepat.
Di Indonesia. awal mula serangan virus kuning terjadi pada 2003 terbatas di Magelang, Jateng, Sleman, DIY, dan setelah 5 tahun terakhir (2003 – 2007) perkembangan virus kuning makin bertambah hingga 14 provinsi, meliputi NAD, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, Kaltim, Sulut, Maluku, Gorontalo, Irjabar. Luas tambah serangan virus kuning cabai pada tahun 2003 seluas 884 ha dan pada tahun 2007 meningkat tajam hingga mencapai 3.015,05 ha, terluas terjadi di Jateng 1.071,6 ha, NAD 404 ha dan Jabar 307 ha. Menurut laporan Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura (Ditlintan Hortikultura), bahwa total kerugian pada tanaman cabai akibat serangan virus kunig pada tahun 2007 tercatat lebih dari 20 Miliyar rupiah (harga cabai tingkat petani Rp 6.000/kg), terbesar terjadi di Jateng di atas 5 Miliyar rupiah, Jatim di atas 4 Miliyar rupiah dan Nad di atas 3 Miliyar rupiah.

Pokja Virus kuning
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura dengan daya dan kemampuan yang ada selama lima tahun terakhir telah berusaha maksimal untuk mensosialisasikan upaya penanggulangan penyakit virus kuning cabai setiap tahun anggaran dengan melibatkan instansi terkait di pusat dan daerah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan stakeholder bidang agribisnis sayuran, baik melalui pertemuan formal atau kegiatan non formal lainnya, yaitu meliputi kegiatan-kegiatan : (1) pertemuan Kelompok Kerja (Pokja) Nasional Penanggulangan Penyakit Virus Kuning Pada Tanaman Cabai (sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2008, telah dilaksanakan 6 kali), (2) pertemuan dan sosialisasi di daerah endemis (3 kali), (3) pembinanaan/bimbingan petugas dan monitoring di lahan petani daerah sentra dan pengembangan cabai, (4) penyebaran informasi pengenalan dan pengendalian virus kuning cabai dalam bentuk buku pedoman (3.000 eksp) dan leaflet (1.000 eksp), serta penulisan di koran Sinar Tani (2 kali) dan majalah bulanan Hortikultura (2 kali).
Pertemuan Pokja, menjadi forum andalan dalam menghimpun informasi teknologi dan mencari upaya pemecahan masalah virus kuning. Pada setiap pertemuan para pakar dari perguruan tinggi (IPB, UGM) dan lembaga penelitian (Balitsa-Lembang) dengan praktisi dari jajaran instansi terkait (Diperta/BPTPH), peserta dan narasumber terlibat dalam diskusi intensif memahami fenomena virus kuning cabai. Diskusi hasil-hasil penelitian dan kajian serta pengalaman yang bersifat terapan di lapangan, telah menjadi ”amunisi baru” bagi peserta daerah khususnya bagi daerah endemis virus kuning. Selanjutnya, masukan informasi ini kemudian menjadi bahan perjuangan peserta untuk mengendalikan virus kuning cabai di daerahnya masing-masing. Sampai-sampai Direktur Perlindungan Tanaman Hortikultura setiap kali mengingatkan peserta untuk mencermati diskusi dan memberi penekanan khusus (stressing) agar hasil-hasil Pokja ditindaklanjuti di daerahnya masing-masing. Hal yang diinginkan Direktur adalah menghilangkan kesan bahwa hasil-hasil Pokja tidak ada tindak lanjutnya di daerah. Kegiatan Pokja tidak semata pertemuan rutin tahunan, tetapi perlu tindak lanjut yang memadai dari jajaran perlindungan tanaman dan petani cabai di daerah untuk menerapkan teknologi yang direkomendasikan.

Pertemuan Pokja Virus Kuning Cabai

Rumusan Pokja pada tahun ke empat (2008) telah menghasilkan anjuran teknologi terapan pengendalian virus kuning dan langkah-langkah penerapannya sesuai dengan Pengendalian Hama terpadu (PHT). Bila petani mau melaksanakan rekomendasi pengendalian secara utuh dengan baik dan benar (mulai para tanam sampai dengan panen), hasilnya mampu menekan serangan virus kuning antara 60 – 80 %. Namun sayangnya, baru sebagian kecil petani di daerah endemis yang telah melaksanakan anjuran teknologi pengendalian virus kuning cabai. Hal ini mungkin terjadi karena daerah masih kurang antisipasi terhadap bahaya virus kuning, lemahnya koordinasi pengendalian antar petugas lapang di daerah dan belum seriusnya perhatian pemegang kebijakan terhadap kehilangan hasil akibat virus kuning cabai.

Tindakan antisipatif melalui pengaturan pola tanam
Tanaman cabai dikonsumsi dalam bentuk segar dan tidak dapat disubsitusi dengan bahan lain, maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang meningkat tiap tahun, ketersediaan tanaman cabai harus ada sepanjang tahun sebagaimana diatur dalam quota tanam. Pola pengelolaan quota ini menjadi kunci dari upaya pemenuhan ketersediaan produk cabai. Sayangnya, pengaturan tanam (quota tanam) sering tidak dipatuhi petani terutama saat harga tinggi di pasaran, petani seakan berlomba menanam cabai. Pada kondisi ini akan menyulitkan upaya pengendalian virus kuning di daerah serangan, karena siklus hidupnya tidak terputus sehingga baik inang virus, vektor dan inang vektor selalu ada.
Pemerintah dalam hal ini Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura, sesuai dengan tupoksi melaksanakan kebijakan di bidang perlindungan tanaman, yaitu sebagai fasilitator dan regulator baik kebijakan operasional maupun teknis dalam mendukung keberhasilan program pengembangan agribisnis hortikultura, dan bukan pihak yang bertindak langsung menangani di lapangan. Tanggung jawab di lapangan adalah menjadi tupoksi daerah yang memiliki kewenangan langsung : merencanakan, membina dan mengupayakan agar agribisnis cabai dapat meningkatkan dan mensejahterakan petani serta menyumbang pendapatan asli daerah (PAD). Oleh karena itu, pengelolaan budidaya melalui pewilayahan komoditas dan pengaturan pola tanam yang baik menjadi wewenang pemerintah daerah.
Langkah-langkah pengendalian virus kuning cabai
Teknologi pengendalian penyakit virus kuning pada tanaman cabai ini merupakan penyempurnaan dari hasil penelitian dan kajian para pakar yang berasal dari lembaga penelitian (Balitsa-Lembang), perguruan tinggi (IPB, UGM) dan praktisi di daerah endemis virus kuning. Hasil di lapangan menunjukkan, bahwa apabila petani melaksanakan rekomendasi pengendalian secara utuh (mulai para tanam sampai dengan panen) dengan baik dan benar sesuai PHT, mampu menekan serangan virus kuning antara 60 – 80 %. Bahkan petani di Magelang, Jateng yang lebih menekankan pengendalian pada pengerodongan bibit cabai di pesemaian dengan menggunakan kain sifon/kasa, dan dilapangan dilanjutkan menanam 6 baris tanaman border jagung 2-3 minggu sebelum tanam cabai disekeliling kebun cabai, dari hasil panen lebih kurang 3.000 batang tanaman, mampu membeli 2 unit sepeda motor (harga cabai tingkat petani Rp 18.000/kg). Pengalaman tersebut membuktikan bahwa teknologi yang diterapkan dapat memberikan keuntungan.
Langkah-langkah pengendalian virus kuning cabai yang dianjurkan tersebut adalah sebagai berikut :

• Perendaman benih dengan larutan PGPR (20 ml Pseudomonas fluorescens) selama 6 – 12 jam,
• Mengerudungi pesemaian sejak benih di sebar dengan menggunakan kain sifon/ kelambu/kasa halus yang tembus sinar matahari, guna mencegah kutu kebul masuk untuk menginfeksi pesemaian. Lindungi pesemaian dengan pestisida nabati,

Pengerodongan pembibitan cabai dalam rumah kasa (atas) dan
model tunnel (bawah)

Sampai sekarang, petani umumnya belum mengetahui pembuatan pengerodongan pembibitan cabai yang memenuhi standar baik model rumah maupun model tutup keranda (tunnel) untuk mencegah tanaman terhindar dari vektor dan infeksi virus kuning. Untuk itu perlu alokasi dana guna pengadaan rumah kasa percontohan standar terutama bagi kelompok tani di daerah sentra dan pengembangan cabai yang kronis virus kuning

• Pemberian pupuk kandang yang matang atau kompos minimal 20 ton/ha dan menggunakan plastik perak sebagai mulsa,
• Sanitasi lingkungan kebun, terutama gulma bebadotan dan bunga kancing yang dapat berperan sebagai inang alternatif bagi virus dan vektor, dan eradikasi tanaman terserang dengan segera lalu dimusnahkan,
• Menanam 6 baris tanaman jagung 2-3 minggu sebelum tanaman cabai disekeliling kebun, dengan jarak tanam rapat (15-20 cm). atau tanaman border lain Orok-orok (Clorotoria sp) dan tanaman perangkap tagetes,

6 baris Tanaman border jagung (kiri) dan Orok-orok (kanan)
ditanam di sekeliling pertanaman cabai

• Memasang perangkap likat sebanyak 40 lembar/ha digantung atau dijepit pada kayu/bambu setinggi 30 cm di atas kanopi tanaman,
• Melepaskan predator Monochilus sexmaculatus (kumbang macan) 1 ekor/10 m2 dua minggu sekali,
• Aplikasi pestisida (50-100 lembar daun sirsak atau daun tembakau/5 liter air + 15 gr sabun colek) atau 20 gr biji atau 50 gr daun nimba + 1 gr sabun colek/liter air). Ramuan ditumbuk halus, dicampur air, disaring, dan direndam 1 malam,
• Selain itu menggunakan ekstrak bunga pukul empat dan bayam duri sebagai induser mulai dari pembibitan hingga pembungaan minimal 2 minggu sekali.

Kesimpulan dan Saran
Sejalan dengan perluasan penanaman tanaman cabai di daerah sentra produksi untuk memenuhi permintaan konsumen yang meningkat setiap tahun, maka diprakirakan luas dan daerah sebaran virus kuning ke depan akan meningkat pula, terutama apabila upaya pengendaliannya tidak mendapat perhatian serius dan tidak adanya awareness dan rapid respon yang memadai dari para pihak. Oleh karena itu koordinasi antara pusat dan daerah dalam menyusun program pengendalian perlu terus ditingkatkan dan dikembang-kan, termasuk alokasi dana operasional pengendalian yang memadai, diantaranya alokasi dana untuk pengadaan rumah-rumah kasa percontohan bagi kelompok tani di daerah endemis virus kuning cabai. Selain itu supaya permohonan dan harapan terwujud, perlu pula mandekatkan diri kepada kemauan Yang Maha Kuasa dan mensyukuri atas ni’matnya dengan kerja keras meningkatkan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi kerja yang tulus dan baik dalam mendorong, membina, dan melaksanakan kegiatan perlindungan tanaman yang sebaik-baiknya.
.





Jakarta, Juni 2008

Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura

Ir. Irwan Adam dan Ir. Siswanto Mulyaman

Jumat, 10 Desember 2010

Studi Banding SLPHT Mangga ke Thailand



Berisi laporan :

1. Kegiatan studi banding dilaksanakan pada tanggal 8 - 12 Desember 2010. Tim Sterdiri dari Ir. Soekirno, MSi, Ir. Siswanto Mulyaman, Ir. Kurnia Nur, Novida Sj. SP., Jamilah, SP, dan Sutanto SH. (Asosiasi Mangga "Mitra Usaha Tani" Indramayu, tidak hadir H. Abdurokhim (petani mangga Cirebon)

Kunjungan tersebut dalam kerangka kerjasama Indonesia – Thailand (Joint Agriculturat Working Group / JWAG), khususnya Farmer Field School (FFS) of IPM Implementation on Mango (Project 06/INA/I). Kunjungan tersebut merupakan kunjungan balasan atas kunjungan Tim Thailand tahun 2009 yang lalu dan hasil kesepakatan pertemuan JWAG di Makasar pada 28-30 Juni 2009.

2. Selama kunjungan, dilakukan kegiatan :
Hari 1 : diskusi dengan jajaran Department of Agricultural Extention (DOAE), lakosi Vapor heat Treatment (VHT) skala komersial dan sekaligus Eksportir buah (mangga ”Nam Dokmai” dan mangga ”Mahachanok”, manggis, dan durian),

Hari ke 2 : kunjungan ke Koperasi (Petani) mangga di Provinsi Chachoengsao, Petani/Pengusaha mangga, Penakar benih mangga, dan

Hari ke 3 : kunjungan ke Pusat Pengelolaan OPT / Pest Management Centre di Provinsi Chonburi. Sementara itu, karena ketiadaan kesempatan, jadwal kunjungan ke pasar produk-produk pertanian tidak terlaksana.

3. Beberapa hal yang dapat diambil sebagai pelajaran untuk pengembangan mangga di Indonesia adalah :

a. Sebagai pusat penyuluhan, diseminasi informasi teknis yang dilakukan oleh DOAE cukup baik. Di kantor pusat, tersedia bagian dan ruangan penyebaran informasi dan interaksi yang dapat diakses oleh masyarakat/petani melalui jaringan elektronik termasuk akses internet.


b. Sebagi negara pengekspor (mangga dan buah-buahan lainnya), di Thailand tersedia VHT skala komersial sebanyak 9 unit. Perusahaan VHT (P&F Techno Co., Ltd.) yang dikunjungi sudah beroperasi sekitar 20 tahun melakukan treatment buah mangga, manggis dan durian untuk diekspor ke Jepang. Pada kesempatan ini, Pimpinan perusahaan sempat menawarkan kerjasama operasional VHT di Indonesia sekaligus pelatihan operasionalnya dan pemasaran produk buah ke Jepang. Perusahaan ini mempunyai jaringan pasar buah yang luas di Jepang.

Tekhnologi VHT pada umumnya digunakan untuk mencegah adanya lalat buah pada buah mangga yang akan dipasarkan terutama untuk skala pasar ekspor. Pada umumnya persyaratan ekspor Mangga terutama untuk tujuan ekspor ke Jepang harus memenuhi beberapa persyaratan, salah satunya adalah produk yang aman konsumsi tanpa adanya lalat buah dengan perlakuan VHT.


c. Koperasi (Petani) mangga di Distrik Phanom Sarakham berdiri pada tahun 1998 dengan anggota 180 orang, dengan luas pertanaman mangga 1.600 ha. Produksi mangga sekitar 7.000 ton/tahun, 30 % diantaranya untuk pasar ekspor dan 70 % untuk pasar lokal. Saat ini, aset koperasi senilai 6 juta Baht (sekitar Rp 1,98 milyar). Sistem jaminan mutu produk mendapatkan prioritas tinggi, baik melalui penerapan Good Agricultural Practices (GAP), PHT, perlakuan Hot Water Treatment (HWT) dan penerapan Rapid Test residu pestisida. Satu hal penting yang dicatat dari koperasi ini adalah sistem traceability / ketelusuran buah mangga yang sudah memanfaatkan bar code setiap buah mangga dan dapat ditelusuri melalui jaringan internet (dikembangkan DOAE) oleh konsumen dimanapun.
Asosiasi ini terdiri atas 180 petani dengan total luasan lahan mencapai 1.600 ha. Produksi mangga yang dicapai sebesar 7.000 ton/tahun, sebesar 30% diantaranya adalah untuk pangsa ekspor dan 70% pangsa lokal untuk memenuhi pasar modern, tradisional, dan kebutuhan industri.
Sistem jaminan mutu produk mendapatkan prioritas tinggi, baik melalui penerapan Good Agricultural Practices (GAP), PHT, perlakuan Hot Water Treatment (HWT) dan penerapan Rapid Test residu pestisida. Satu hal penting yang dicatat dari asosiasi/koperasi ini adalah sistem traceability / ketelusuran buah mangga yang sudah memanfaatkan bar code setiap buah mangga dan dapat ditelusuri melalui jaringan internet (dikembangkan DOAE) oleh konsumen dimanapun. Di samping itu, sistem produksi dan penanganan produk pada koperasi ini telah mendapatkan sertifikat GAP, Good Manufacture Practices (GMP) dan Quality Management (QM).

d. Dalam kunjungan ke penangkar benih mangga, diperoleh masukan teknologi perbanyakan berupa ”penyusuan” batang bawah kepada batang atas (varietas unggulan). Reknik ini dianggap mempunyai kelebihan, al. cabang batang atas yang ”disusui” tidak tergantung umur cabang; ketika ditanam jumlah perakaran menjadi 2 kali lipat (berasal dari batang bawah dan batang atas); dan tanaman tidak mudah roboh/patah.


e. Dalam kunjungan ke kebun mangga petani, budidaya mangga yang diterapkan untuk menjamin mutu produk, petani melakukan langkah-langkah GAP al. melalui pemangkasan reguler cabang/batang dan pengurangan jumlah buah.

f. Pengembangan teknologi PHT yang banyak dilakukan petani adalah pengembangan agens hayati, SLPHT maupun diseminasi teknologi ke tingkat kelompok tani. Catatan penting dalam pengembangan PHT ini adalah pengembangan agens hayati jenis ”green lacewing” Chrysoperla spp.: Neuroptera, Chrysopidae) dan ”earwing” (Euborellia spp.: Dermaptera, Proto-diplatidae, Indonesia disebut Cocopet). Jenis Lacewing efektif untuk mengendalikan berbagai hama jenis mealybug (kutu-kutuan), thrips, tungau. Earwing/cocopet, predator yang efektif untuk mengendalikan berbagai ulat/ larva. Berdasarkan penelusuran, ke dua jenis musuh alami tersebut ada di Indonesia, salah satunya adalah earwing yang dapat digunakan untuk mengendalikan penggerek batang tebu.


g. Selain pengembangan di tingkat on farm, hal yang perlu dicatat pula adalah pengembangan sistem maupun penanganan pasca panen dan pemasaran produk buah-buahan yang cukup baik sehingga mampu menjangkau pasar global.

4. Pada kesempatan kunjungan, pihak Thailand mengharapkan kesempatan kedatangan Tim Thailand di Indonesia pada tahun depan. Tim Thailand bersedia menyertakan petani mangga untuk memberikan alih teknologi, termasuk perbanyakan benih kepada petani mangga Indonesia. Dalam kerjasama ini nanti, kunjungan Tim menjadi tanggung jawab negara pengirim, sementara negara penerima bertanggung jawab dalam transport lokal, pendampingan, koordinasi-koordinasi, penyediaan/penyiapan lokasi/objek kunjungan, dan biaya-biaya internal lainnya.

5. Sebagai tindak lanjut dan dalam rangka percontohan pengembangan kawasan buah-buahan, khususnya mangga, diusulkan agar kelompok usaha Asosiasi Mangga ”Mitra Usaha Tani” (Mutan), Indramayu, dapat didorong untuk menangani usahatani mangga secara komprehensif seperti koperasi petani mangga di Distrik Phanom Sarakham, Chachoengsao, Thailand. Kelompok Asosiasi Mangga Mutan, saat ini telah ditetapkan sebagai kelompok PMD yang mencakup 15 kelompok tani mangga dengan cakupan areal seluas 22.000 ha.

Minggu, 27 Juni 2010

RBPR

“RAPID BIOASSAY PESTICIDE RESIDUE (RBPR) “,
SISTEM DETEKSI CEPAT RESIDU PESTISIDA PADA PRODUK HORTIKULTURA



Oleh : Siswanto Mulyaman – Fungsional Pengendali OPT (POPT) Madya,
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura


Akhir-akhir ini residu pestisida sudah menjadi perhatian konsumen modern hasil pertanian. Residu Pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil pertanian, bahan pangan, atau pakan hewan baik sebagai akibat langsung maupun tak langsung dari penggunaan pestisida. Istilah ini mencakup senyawa turunan pestisida, seperti senyawa hasil konversi metabolit, senyawa hasil reaksi, dan zat pencemar yang dapat memberikan pengaruh toksikologis, bahkan bahaya bagi kesehatan konsumen dan lingkungan. Dengan persepsi konsumen ini, membuktikan bahwa penggunaan pestisida tidak boleh lagi sembarangan, tidak bijaksana, karena dapat menimbulkan pengaruh/dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Adalah wajar, bila konsumen memilih hasil pertanian yang aman konsumsi (dalam hal ini yang bebas pestisida) atau kalau mengandung residu pestisida, kadarnya masih di bawah batas toleransi.

Kalau sudah demikian besarnya tuntutan konsumen terhadap produk pertanian, peran pemerintah dalam deteksi dini adanya residu pestisida sangat penting, terutama dalam memberikan informasi (deteksi) dini adanya residu pestisida pada produk-produk pertanian yang akan dikonsumsi masyarakat. Uji Rapid Bioassay Pesticide Residue (RBPR), yaitu suatu cara cepat mendeteksi dini keberadaan residu golongan pestisida tertentu, merupakan jawaban untuk merancang regulasi, membangun sistem peringatan dini, dan mengelola sistem pelayanan kesehatan konsumen untuk produk-produk pertanian yang aman konsumsi masyarakat.

RBPR dikembangkan di Taiwan sejak tahun 1985 dan telah berhasil diadopsi dalam sistem pasokan produk pertanian (sayuran dan buah-buahan), serta rantai pasok pasar swalayan besar. Pengujian “bioassay” adalah pengujian memanfaatkan unsur biologi, yaitu enzym Acetilcholinesterase (AchE) dari otak/kepala lalat rumah, Musa domestica dan bakteri Bacillus thuringiensis. RBPR dilaksanakan dengan biaya rendah dan memberikan hasil cepat (hanya selama 15 menit test uji dapat diketahui), langsung dan praktis. Pemeriksaan sampel secara cepat dapat membantu mendeteksi dini residu pestisida dan jaminan keamanan produk produk sayuran dan buah-buahan yang akan diperdagangkan ke tempat lain dengan aman melalui sistem sertifikasi yang dikelola dengan baik.

Penerapan RBPR di Taiwan, dilandasi pemikiran sederhana yang berbeda dengan prinsip yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga perlindungan konsumen di Negara-negara maju lain seperti Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US-EPA), yaitu mendeteksi residu setelah masuk dalam tubuh melalui produk yang dimakan versus prinsip RBPR, yaitu deteksi sebelum masuk dalam tubuh. Prinsip ini dikembangkan oleh Dr. Edward Chen, seorang pakar di bidang analisa kimia makanan di FFTC (Food and Fertilizer Technology Centre) Taiwan, yang menjadikan dirinya terkenal di Negara-negara Asia Pasifik sebagai pakar RBPR. Metode ini sesungguhnya merupakan teknologi klasik dan telah banyak diketahui oleh kalangan analis kimia di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Namun, menjadikan teknologi ini terapan dengan dukungan regulasi, penelitian yang baik, dan sistem manajemen yang baik, adalah terobosan baru.


Dalam penerapan di Taiwan saat ini, RBPR telah dikembangkan di 282 statiun lapangan dalam sistem rantai pasokan produk hasil pertanian yang diperdagangkan, antara lain di asosiasi petani (51 stasiun), koperasi petani (65 stasiun), grosir dan pasar ritel (18 stasiun), rantai pasokan supermarket dan perusahaan swasta lain (100 stasiun), program makanan bagi militer (29 stasiun), program makan siang sekolah (94 stasiun), perusahaan prosesing makanan (19 stasiun), dsb. Stasiun-stasiun tersebut dilaksanakan oleh masing-masing stasiun dengan pengelolaan, bimbingan teknis, dan pengawasan FFTC (Food and Fertilizer Technology Center).
Di samping penerapan di dalam negeri, beberapa negara yang telah mengadopsi teknologi RBPR adalah Korea Selatan, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Negara lain yang telah mengajukan penyebarluasan RBPR adalah Panama, Argentina, Oman, Singapura, Malaysia, Kamboja, Laos, Pakistan dan Australia.

Prinsip dan tujuan pengembangan sistem keamanan pangan melalui pengawasan terhadap residu pestisida adalah : (a) melindungi kesehatan manusia/konsumen sebagai prioritas utama, (b) deteksi dini sebagai upaya pencegahan awal yang memberikan warning terjadinya cemaran residu dari golongan pestisida tertentu, dan (c) catatan bahaya dari racun dideteksi/ditoleransi cukup sampai ppm. Untuk memastikan kandungan residu bahan aktif dari pestisida, dilakukan melalui prosedur analisis baku. Berdasarkan pengalaman dan evaluasi Dr. Chen, bahwa metode ini RBPR
Teori Dasar RBPR, didasarkan pada toksikologi dan dapat menentukan seluruh toksisitas pestisida melalui analisis kimiawi yang bersifat ilmiah. RBPR dirancang untuk pestisida neurotik yaitu insektisida organoposfat dan karbamat, dan fungisida karsinogenik golongan ETU (ethylenthiourea), yang mengandung ethylene bis-thiocarbamates (EBDC).

Pengujian insektisida
Uji RBPR dilaksanakan untuk insektisida dari golongan organofosfat dan karbamat. Dengan melakukan ekstrak tanaman melalui uji Ellman's, penghambatan AChE pada insektisida karbamat dan organoposfat mudah dideteksi.
Reaksi insektisida dapat dideteksi secara in vitro pada AChE yang dimurnikan. Dalam uji Ellman's, warna kuning perlahan bereaksi dengan AChE, yang ditandai dengan perbedaan perubahan warna antara sampel dan larutan blankonya (blank), dan dapat dilihat dengan mata telanjang, namun uji dengan alat spektrofotometer untuk melihat secara jelas perubahan warna dari reaksi yang terjadi dan rekaman datanya, dapat segera diketahui.


AChE diisolasi dari sumber enzym yang memiliki kepekaan terhadap insektisida pada kepala lalat, Musa domestica yang telah terbukti sangat sensitif (Chiu et al, 1991). TARI (Taiwan Agriculture Research Institute) telah menyimpan koloni lalat rumah selama lebih dari 40 tahun, yang bebas dari pembiakan silang antara insektisida – lalat rumah, dan telah digunakan dalam pembuatan AChE untuk mendeteksi residu insektisida pada sayuran dan buah-buahan. AChE diproduksi oleh TARI sangat stabil dan dengan penyimpanan yang baik.

Tes AChE demikian cepat, hanya memerlukan waktu 15 menit dalam seluruh proses uji. Untuk 30 sampel dapat diperiksa dalam waktu satu jam, atau rata-rata 2 menit per sampel, dan telah cukup cepat untuk skrining terhadap sayuran dari pasar grosir sebelum diperdagangkan. Untuk sampel dalam jumlah banyak dan harus diperiksa dalam waktu singkat, maka penggunaan metode ELISA dianjurkan untuk mendeteksi penghambatan enzim dalam mode kinetik, dan 96 sampel dapat diuji secara simultan. Pengujian dilakukan dengan 3 tahap kegiatan, yaitu sampling, pengujian, dan penghitungan penghambatan oleh AChE.

Senyawa insektisida yang peka terhadap AChE melalui uji RBPR adalah :
• Senyawa Organoposfat: Azynphosmethyl, clorpyrifos, diazinon, diclorvos, EPN, fonofos, Metidation, mevinphos, monokrotofos, paration, phenthoate, pirimifosmetil-metil, Profenofos, pyrazophos, pyrida phenthion, phosmet, triazofos (0,8 ppm atau lebih rendah); demeton-S-metil, Terkendali Dimetoat, fenthion, malation, metasystox (R), metil-Paration, prothiophos, triklorfon (0,8-8 ppm).
• Karbamat : Bendiocarb, karbaril, karbofuran, carbosulfon, formetanate, Hokein, methiocarb, propoxur (0,8 ppm atau lebih rendah); BPMC, methomil, thiocarb, MIPC, benfuracarb (0,8-8 ppm).

Pengujian fungisida dengan uji Bt (Bacillus thuringiensis)
Bakteri entomopatogen, Bacillus thuringiensis (Bt) sensitif terhadap banyak fungisida, terutama dari golongan ethylene bis dithio carbamates (EBDC). Bila Bt dimasukan dalam kultur ekstrak tumbuhan, pertumbuhan bakteri dapat dideteksi secara normal dengan larutan TTC (2,3,5-triphenil tetrazolium chloride) yang menghasilkan konversi TF (triphenyl formazan) melalui dehidrogenase, dan perlambatan pertumbuhan bakteri menunjukkan adanya fungisida. Bawang putih, jahe, teh, dll, yang mengandung bahan alami yang mengganggu pertumbuhan Bt, tidak cocok untuk tes ini.

Bt juga sensitif terhadap fungisida selain EBDC, misalnya, antibiotik, captan, flopet, TPTA, clorothalonil, dll. Pengujian dilakukan dengan 3 tahapan kegiatan, yaitu penyiapan larutan Bt, sampling dan ekstraksi larutan campuran, inkubasi dan pengujian. Prosedur selengkapnya seperti dalam lampiran.

Standar BMR dan hasil uji RBPR
Melalui prosedur dan peralatan analisis residu pestisida di laboratorium standar, kandungan bahan aktif suatu pestisida mudah diketahui, meski dalam jumlah yang sangat kecil sekalipun (satu per sejuta/ppm atau bahkan satu per milyar bagian/ppb). Penetapan ambang batas yang aman dikonsumsi oleh konsumen menjadi perhatian masyarakat modern. Oleh karena itu, Codex Allimentarius Commission (CAC), sebagai lembaga dunia yang dibentuk oleh FAO dan WHO pada tahun 1963, telah menetapkan standarnya, yang setiap 2 tahun disidangkan untuk diambil kesepakatan.
Standar Codex tentang residu pestisida menyatakan bahwa Batas Maksimum Residu pestisida (BMR) adalah konsentrasi maksimum residu pestisida (dalam mg/kg), yang diijinkan terdapat pada komoditi pertanian termasuk pakan ternak. Dalam penetapan BMR harus didukung dengan data yang berdasarkan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan/ scientific evidence dan mengutamakan keamanan dan kesehatan pada manusia. BMR ditetapkan melalui Joint FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues (JMPR) yang bersidang setiap dua tahun untuk menentukan level residu yang dapat ditoleransi toxisitasnya.

Menurut JMPR, BMR pestisida diestimasikan berdasarkan asesmen (kemungkinan) tiga risiko residu pestisida, yaitu : (1) asesmen toksikologik terhadap pestisida dan residu pestisida dalam pangan yang berasal dari komoditas pertanian, dengan tujuan menetapkan BMR yang dapat diterima secara toksikologik, baik toksisitas kronik (asupan per hari yang dapat diterima/ ADI (Acceptable Daily Intake) dan akut (dosis referensi, reference dose/RfD), (2) asessmen paparan residu pestisida di lahan produksi komoditas pertanian melalui review data residu pestisida yang berasal dari data percobaan residu, dan (3) pestisida tersupervisi (supervised pesticide residue trial, SPRT) dengan cara aplikasi pestisida menurut panduan nasional cara berbudidaya yang baik dan benar/Good Agricultural Practices agar dapat merefleksikan praktek penggunaan pestisida secara baik dan benar dengan residu minimal.

Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura sejak tahun 2000-an sampai saat ini, bekerjasama dengan Laboratorium Pengujian Mutu Produk Pertanian (Ditjen Tanaman Pangan, terakreditasi), telah memantau berbagai kandungan residu pestisida pada produk hortikultura (buah dan sayuran) baik dari wilayah produksi maupun dari ekspor, dan hasilnya dinilai masih aman konsumsi atau kandungan residunya masih di bawah BMR yang ditetapkan.
Meski kegiatan pemantauan rutin telah dilakukan, namun peringatan dini dan jaminan keamanan konsumsi sebelum produk dikonsumsi masyarakat, masih belum dikembangkan secara memadai. Deteksi dini dengan uji RBPR merupakan altenatif pemecahannya. Dalam uji RBPR, meski belum secara pasti dapat menentukan jenis dan kandungan residu pestisida, namun konsumen telah diberikan warning bahwa produk yang dikonsumsinya telah terpapar pestisida tertentu.

Nilai ekonomi dan investasi yang diperlukan untuk pengembangan deteksi cepat residu pestisida (RBPR)
Untuk mengembangkan penerapan deteksi cepat residu pestisida pada produk buah-buahan dan sayuran, bukan pekerjaan yang mudah dan perlu analisis yang memberikan nilai ekonomi. Taiwan sebagai negara pertama yang mengimplementasikan uji klasik ini, melalui lembaga penelitiannya telah menginformasikan efektifitas dan efisiensi uji ini.

Di suatu lembaga analisis kimia di Taiwan, dengan 18 orang peneliti yang melakukan analisis sebanyak 14,000 sampel/tahun dapat menemukan 420 kasus residu pestisida (sekitar 3 %). Sementara itu, di Grosir supermarket yang menerapkan RBPR dengan 2 orang inspektur pangan yang sudah dilatih RPBR, setiap tahun dapat memeriksa 20.000 sampel. Melalui sistem terpadu (analisis laboratorium residu pestisida dan RBPR), dari 20.000 sampel dapat dideteksi (dengan RBPR) kasus residu sebanyak 300 kasus (20.000 x 3 % x 50 % (deteksi kemampuan RBPR)). Sistem terpadu yang dikembangkan di Taiwan dilaksanakan oleh 2 orang terlatih RBPR dan 1 orang analis kimia residu. Apabila 18 orang peneliti dikerahkan bekerja maksimal dalam sistem terpadu, maka dalam setahun akan dapat menemukan kasus paparan residu pestisida sebanyak 1.800 kasus (300 kasus x 6 working group (18 orang dibagi 3 orang). Dengan sistem terpadu, pekerjaan deteksi dini residu pestisida cukup efektif dalam pengawasan mutu keamanan pangan.

Implikasinya bagi Indonesia
Kunci penerapan RBPR di Taiwan adalah adanya aturan hukum yang memayungi upaya perlindungan konsumen, ketersediaan sarana dan pra-sarana laboratorium, SDM terlatih, komitmen dan fasilitasi pemerintah, serta pengelolaan oleh institusi yang ditunjuk dalam pembinaan dan pengawasan jaringan stasiun-stasiun yang dibangun.
Demikian pula dengan pengalaman Negara Korea Selatan. Di Korea Selatan, melalui Federasi Koperasi Pertanian Nasional (National Agricultural Cooperative Federation, NACF) telah mengembangkan RBPR sejak 1996. Korea Selatan awalnya kurang tertarik untuk menerapkan teknologi ini, namun setelah beberapa staf pertaniannya dikirim ke Taiwan Agricultural Research Institute (TARI) untuk berlatih prosedur bioasai cepat (RBPR), pada awalnya tidak menerima cara pengujian ini. Namun, akhirnya, dengan sistem dan kelembagaan yang tidak berbeda, Korea Selatan mampu mengembangkan sistem aplikasi pengujian residu cepat ini, bahkan akhir-akhir ini mereka telah mengembangkan teknologi ini di stasiun-stasiun (> 100 unit stasiun) yang dibangun Pemerintah, termasuk di lembaga-lembaga pemerintah yang ada. Berbeda dengan di Taiwan, perangkat peraturan yang mengikat di Korea Selatan belum dibangun.
Negara Korea Selatan saja yang termasuk negara maju telah mengadopsi teknologi ini, bagaimana dengan Indonesia ?. Jawabanya terletak kepada good will kita semua. Balitsa, menurut situs resminya juga telah mengembangkan metode ini, hanya belum mengimplementasikan dalam sistem dan kelembagaan yang ada. Teknologi ini merupakan teknologi klasik dan scientific based dan mudah diterapkan.
Bagi Indonesia, teknologi pengujian RBPR merupakan hal penting dan bukan suatu teknologi yang rumit, dan dapat diadopsi untuk pengembangannya. Kelembagaan laboratorium yang ada cukup memadai dan dapat dimanfaatkan untuk penerapan RBPR. Namun demikian, hal-hal yang perlu disiapkan adalah SDM pelaku yang terlatih, penyediaan sarana dan pra-sarana laboratorium uji, dan perlunya di bangun sistem stasiun-stasiun uji, serta adanya aturan yang mengikat semua pelaku agribisnis hortikultura.

Akhirnya, diperlukan tindak lanjut yang diperlukan untuk pengembangan RBPR, yaitu : (1) adanya aturan hukum yang mengikat bagi semua stakeholder termasuk dunia usaha dan peningkatan awareness petani agar mau memeriksakan hasil tanamannya untuk di uji di stasiun di bangun, (2) pelatihan SDM yang kompeten dalam sistem pengawasan mutu keamanan produk, (3) membangun stasiun-stasiun pengujian di pusat-pusat pengumpul, pusat penjualan, grosir, koperasi petani, petani pengumpul, dsb., (4) mengembangkan sistem manajemen pengujian yang baik dan konsisten berbasiskan jaringan stasiun-stasiun, (5) mengembangkan penelitian untuk mengurangi ketergantungan dari negara lain dalam penyediaan bahan uji dasar (explorasi enzim AChE dari lalat rumah dan isolat Bacillus thuringiensis), dan (6) perlunya komitmen pemerintah dalam sistem pengendalian residu pestisida sejak dini dalam kesatuan yang utuh dan fasilitasi sarana pengujian di stasiun-stasiun pengawasan mutu hasil pertanian. Semoga dapat diwujudkan…..



Jakarta, Juli 2010

Siswanto Mulyaman – Fungsional Pengendali OPT Madya,
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura

Sabtu, 20 Maret 2010

Puncak Remunerasi PNS

Mudah-mudahan benar nih.....

Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia (RI) Nomor:195/VII/2009 tanggal 27 juli 2009 tentang Perbaikan Gaji PNS dan Tunjangan (REMUNERASI) menjadi Keppres paling dicari oleh sebagian besar Pegawai Negeri Sipil di seluruh Indonesia. Karena menurut isu yang beredar di sejumlah PNS menyebutkan bahwa. Kepres RI No 195/VII/2009 menyebutkan tentang Kenaikan Gaji dan Tunjangan PNS terdapat perubahan yang sangat signifikan melebihi 100 persen.



Dari gosip yang beredar. Besaran Kenaikan Gaji Menurut Keputusan Presiden (Kepres) RI Nomor:195/VII/2009 disesuaikan berdasarkan Golongan dengan rincian sebagai berikut:
• Besaran Gaji PNS Golongan I menurut Keppres No:195/VII/2009 tanggal 27 Juli 2009 adalah sebesar Rp.3.000.000,- (Tiga Juta Rupiah).
• Besaran Gaji PNS Golongan II menurut Keppres No:195/VII/2009 tanggal 27 Juli 2009 adalah sebesar Rp.5.000.000,- (Lima Juta Rupiah).
• Besaran Gaji PNS Golongan IIIa/IIIb menurut Keppres No:195/VII/2009 tanggal 27 Juli 2009 adalah sebesar Rp.7.500.000,- (Tujuh Juta Lima Ratus Ribu Rupiah).
• Besaran Gaji PNS Golongan IIIc/IIId menurut Keppres No:195/VII/2009 tanggal 27/7/2009 adalah sebesar Rp.8.500.000,- (Delapan Juta Lima Ratus Ribu Rupiah).
• Besaran Gaji PNS Golongan IVa/IVb menurut Keppres No:195/VII/2009 tanggal 27 Juli 2009 adalah sebesar Rp.9.500.000,- (Sembilan Juta Lima Ratus Ribu Rupiah).
• Besaran Gaji PNS Golongan IVc/IVd/IVe menurut Keppres Nomor 195/VII/2009 tanggal 27 Juli 2009 adalah sebesar Rp.12.000.000,- (Dua Belas Juta Rupiah).


Menurut isu yang semakin beredar luas, kenaikan besaran gaji dan tunjangan PNS ini akan dibayarkan pada tanggal 1 April 2010, dan berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010. Seluruh PNS akan mendapatkan rapelan gaji.

Kendati demikian, sejumlah PNS masih meragukan kebenaran gosip kenaikan gaji yang disebut berdasarkan Keputusan Presiden RI tersebut. Selain menilai berdasarkan kemampuan keuangan Negara dan Daerah untuk membayarkan Gaji sesuai yang disebutkan dalam isu REMUNERASI mengataskanamakan Kepres RI No:195/VII/2009 tersebut, sejumlah Pegawai Negeri Sipil yang berusaha mendownload Keputusan Presiden (Kepres) tentang REMUNERASI yang diisukan tersebut juga mengaku masih belum berhasil menemukan Copy dari Kepres yang dianggap akan menyejahterakan seluruh PNS. Mereka juga meragukan kebenaran isu ini karena rencana kenaikan gaji PNS sebesar 5 % sesuai Pidato Presiden beberapa waktu lalu, bahkan belum dibayarkan (terealisasi) di sejumlah daerah. Beberapa PNS yang menerima kabar ini mengaku bahwa info tentang kenaikan gaji PNS ini pertama kali mereka peroleh dari pesan singkat (SMS).

Berdasarkan pengamatan Admin, pada sejumlah situs resmi Pemerintahan seperti website Departemen Keuangan (DEPKEU) dan Departemen Hukum dan Ham (DEPKUMHAM) juga banyak sekali permintaan agar Kepres tersebut dikirimkan ke alamat e-mail masing-masing yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.

Update Admin 17 Maret 2009 : Berdasarkan kesimpulan dan masukan dari berbagai pihak, akhirnya pertanyaan pengunjung mengenai SMS (Keputusan Presiden) Keppres RI No.195/VII/ 2009 tentang Remunerasi Gaji PNS yang beredar seperti disebutkan di atas hanyalah ISU yang tidak berdasar. Semoga saja melalui artikel ini bisa menjawab tingginya tingkat pencarian di Google terhadap Keputusan Presiden yang diisukan tersebut. Melalui update terbaru ini, atas nama Admin juga mengucapkan terimakasih kepada para pengunjung yang telah membantu memberikan penjelasan dan masukan kepada pengunjung lainnya mengenai analisa kebenaran Keppres tentang Remunerasi Gaji PNS di atas. Termasuk tentang kaidah penomoran sebuah Keppres yang terdiri atas Nomor dan Tahun, jadi jika memang benar, maka Keppres tersebut seharusnya adalah Keppres RI Nomor 195 Tahun 2009.

Terimakasih.

Minggu, 14 Maret 2010

Pengaturan Penggunaan Pestisida dengan Residu Minimum

Para pembaca yang budiman...

Di bidang hortikultura, penerapan SOP-GAP dalam pelaksanaan budidaya sudah menjadi keharusan. Demikian pula dengan registrasi kebun. Khusus di bidang perlindungan tanaman, sistem-sistem tersebut tidak asing dan menjadi satu kesatuan dalam penerapan PHT. Konsepsi PHT sudah disertakan dalam pendekatan sistem mutu maupun penerapan SOP-GAP termasuk sertifikasi Prima.....Prima satu, utamanya adalah residu pestisida pada produk harus minimal...

Nah, dalam penerapan sistem tersebut, perlu penataan/pengaturan penggunaan pestisida agar residu pada produk yang dihasilkan minimal. Ada saran...bagaimana sebaiknya mengatur penggunaan pestisida agar residu pada produk minimal.

Silahkan kirim ke mulyamansos@yahoo.com


Terima kasih.

Selasa, 12 Januari 2010

Jadwal hari ini, 12 Januari 2010

Pelepasan para Pejabat yang memasuki pensiun/purna tugas. Pada hari ini, Bapak Ir. Daryanto/Direktur Perlindungan Hortikultura 2000 - 2005, Ir. Atje Hikmat (Kasubdit Perlindungan Tanaman Sayuran 2000 - 2009, Drs Aceng M. Samsu (Kasubbag TU 2005 - 2009), dan Supardi (staf TU), dilepas oleh Pimpinan Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura dan staf...... Semoga dengan purna tugas tersebut, Bapak-bapak dapat lebih meningkatkan lagi kiprah di lingkungannya masing-masing. Purna tugas tidak berarti berhenti segala-galanya, yang berhenti adalah pengabdian kepada institusi......, sedangkan pengabdian kepada negara dan bangsa masih terbuka luas di ladang kemasyarakatan, dunia swasta....dsb. Selamat berkarya yang lebih bermutu....semoga sukses selalu........

SISTEM MITIGASI PENYIAPAN PRODUK EKSPOR HORTIKULTURA DARI DAERAH PREVALENSI OPT RENDAH

SISTEM MITIGASI PENYIAPAN PRODUK EKSPOR HORTIKULTURA DARI DAERAH PREVALENSI OPT RENDAH


Oleh : Siswanto Mulyaman –
Fungsional Pengendali OPT (POPT) Madya,
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura

Sinar Tani, No. 3254 : 28 Mei - 3 Juni 2008


Dengan adanya tekanan perdagangan internasional melalui penerapan prinsip kesehatan tumbuhan (Sanitary and Phytosanitary, SPS) pada umumnya, sistem pendekatan yang terpadu telah menjadi kebutuhan terutama dari sisi pengurangan risiko berkembangnya organisme pengganggu tumbuhan (OPT) baru, antara lain melalui penyediaan data biologis OPT dalam proses penilaian risiko (a biological basis to risk assessment). Sistem mitigasi adalah sistem peringatan melalui serangkaian kegiatan yang secara kumulatif memperoleh hasil maksimal dibandingkan satu sara tunggal. Dalam pengelolaan OPT sistem ini dapat dilakukan melalui program penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) skala luas, dan telah dikembangkan lebih luas dalam menjawab tantangan perdagangan global tersebut (Jang dan Moffit, 1994).
Sistem mitigasi ini dikembangkan paralel dengan upaya-upaya penerapan PHT dan mendukung pemenuhan persyaratan SPS serta penerapan prinsip budidaya tanaman sehat sesuai prinisp GAP (Good Agricultural Practices) dan standar prosedur operasionalnya (SOP). Sistem PHT yang dilaksanakan Indonesia sejak tahun 1989 melalui program Nasional PHT hingga saat ini, telah meletakkan dasar pemberdayaan petani dalam berusahatani yang didasarkan kepada analisis agroekosistem dan kelestarian sumberdaya alam, melalui pemanfaatan unsur pengendali alami dalam menekan perkembangan OPT. Dalam per-kembangan selanjutnya, penerapan PHT dikembangkan dalam areal yang luas (kawasan) untuk menangani OPT di kawaan. Penerapan PHT skala luas tersebut idealnya dapat dikembangkan dalam rangka penyiapan produk untuk ekspor.
Tulisan ini memaparkan berbagai prosedur kompleks yang merupakan metode yang menjamin hubungan investasi OPT dapat diminimalisasi, antara lain melalui sistem mitigasi penerapan PHT skala luas (Area Wide Integrated Pest Management, AWIPM) dalam mengurangi risiko OPT seperti hama lalat buah (Tephrididae) di daerah dengan prevalensi lalat buah rendah (Area of Low Pest Prevalence. ALPP).

Konsepsi Penerapan PHT Skala Luas
Program pengembangan agribisnis hortikultura berbasis kawasan hortikultura saat ini telah dicanangkan oleh Direktur Jenderal Hortikultura. Konsepsi kawasan ini terletak pada ruang geografis yang dideliniasi oleh ekosistem yang disatukan oleh fasilitas infrastruktur yang sama sehingga membentuk kawasan yang berisi berbagai kegiatan usaha berbasis hortikultura melalui penyediaan sarana produksi, budidaya, penanganan dan pengolahan pasca panen, pemasaran serta berbagai kegiatan pendukungnya. Konsepsi atau lebih tepat disebut sebagai pendekatan sistem pengelolaan terpadu mulai periode pratanam, pertanaman, penanganan dan pengolahan pasca panen dan pemasarannya yang dilaksanakan dengan dukungan infrastruktur sistem produksi, investasi dan sistem jaminan mutunya.

Dalam aspek produksi, penerapan GAP dan teknologi maju merupakan langkah operasional yang perlu dilakukan, sehingga memperoleh hasil yang tinggi dan mutu produk yang baik. Dalam aspek distribusi, penataan dan pengembangan pengelolaan rantai pasokan (Supply Chain Management / SCM) merupakan langkah penataan rantai distribusi dan pemasaran, yang mampu menjamin keberlanjutan produksi dan ke-puasan produsen, pedagang dan konsumen. Ketiga aspek tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang ada, baik lingkung-an domestik maupun global, serta keberadaan potensi, tantangan dan peluangnya.

Tantangan di bidang perlindungan tanaman dalam mendukung pengembangan agrisbisnis hortikultura adalah penerapan PHT. Penerapan PHT skala luas sesungguhnya dapat menjawab tantangan tersebut. Salah satu contoh negara yang berhasil mengembangkan sistem mitigasi ini adalah Hawai. Penerapan PHT skala luas atau Area Wide Integrated Pest Management (AWIPM) telah diterapkan di kawasan produksi pepaya yang disiapkan untuk ekspor ke USA. Sementara hambatan utamanya adalah adanya lalat buah mediterranean fruit fly, Ceratitis capitata (Medfly).
Beberapa hal penting yang perlu dilakukan untuk menginisiasi mitigasi sistem AWIPM antara lain adalah melakukan penilian risiko (Risk Assessment), cara mitigasinya, sistem perkarantinaan yang diterapkan, dan pengembangan keterpaduan langkah yang perlu dilakukan membangun sistem mitigasi tersebut.

Penilaian Risiko OPT (Pest Risk Assessments)
Untuk tujuan penilaian yang memadai karena ancaman OPT, beberapa negara melaksanakan penilaian risiko OPT (Pest Risk Assessments), yaitu suatu metode untuk menentukan secara relatif potensi risiko masuknya OPT ke wilayah produksi dari perdagangan yang dilakukan. Apabila suatu OPT telah diketahui dan berpotensi tinggi mengancam sistem budidaya dan perdagangan karena kemampuan bertahannya diperkirakan mengancam sistem budidaya, maka OPT tersebut dikategorikan sebagai OPT karantina (OPTK). Kategorisasi kelompok jenis OPT sebagai OPTK atau non OPTK penting dilaku-kan sebagai proses awal (initiation), proses selanjutnya penilaian risiko (risk assessment) terkait dengan kemungkinan berkembang, menetap dan menyebarnya, serta kemungkinan opsi yang dimintakan untuk pengelolaan OPT (risk management). Proses tersebut telah diatur dalam standarnya, yaitu International Standard on Phytosanitary Measures (ISPM) yang dihasilkan melalui konvensi perlindungan tanaman internasional (International Plant Protection Convention, IPPC, 1997) oleh Negara-negara anggota organisasi perdagangan dunia (World Trade Organizarion, WTO). Sampai saat ini sekurang-kurangnya telah diterbitkan 29 standar ISPM yang diberlakukan untuk mengatur perdagangan hasil tumbuhan.

Mitigasi Risiko OPT (Mitigation of Pest Risk)
Mitigasi risiko OPT adalah tanggung jawab negara-negara pengimpor produk dalam menentukan produk impor boleh masuk ke negaranya. Termasuk dalam kategori mitigasi sistem ini adalah persyaratan suatu produk yang akan diekspor dari daerah bebas OPT tertentu (Pest Free Area, PFA), daerah/tempat produksi bebas OPT (Pest Free Production Site, PFPS), daerah prevalensi OPT rendah (Area of Low Pest Prevalence, ALPP) dan diperlukannya tindakan karantina, seperti fumigasi, perlakuan panas dan dingin (hot and cold treatments), iradiasi, dsb. Pendekatan sistem mitigasi kompleks (multiple mitigation systems approaches) lainnya yang secara kumulatif dapat menurangi/ mencegah risiko OPT pada areal produksi adalah penerapan AWIPM dalam mitigasi risiko OPT yang invasif.

Pendekatan sistem untuk keamanan perkarantinaan
Penerapan sistem mitigasi risiko OPT ini bukanlah konsep baru, tetapi telah popular sejak 20-30 tahun lalu sebagai suatu kebutuhan pengambilan keputusan pencegahan OPT berdasarkan aspek biologi dalam melakukan analisis risiko. Namun demikian, perlakukan tunggal di bidang perkarantinaan yang saat ini masih tetap berlangsung, seperti perlakuan fumigasi dengan metil bromida (saat ini penggunaannya dibatasi hanya untuk tindakan karantina yang terkontrol) terutama untuk pengendalian OPT pasca panen. Dalam penanganan OPT semacam ini diperlukan pendekatan terpadu, mulai tindakan pra dan pasca panen, pengepakan dan perdagangan yang dipersyaratkan ketentuan perkatantinaan. Lebih jauh, IPPC telah menetapkan pendekatan sistem, yaitu integrasi pengelolaan terpadu berdasarkan pertimbangan yang layak di bidang perlindungan tanaman (Appropriate Level of Phytosanitary/Protection, ALOP) seperti yang diatur dalam ISPM No. 14, tahun 2002. Penetapan ALOP masing-masing negara berbeda-beda berdasarkan pertimbangan penentu kebijakan yang kompeten.
Pendekatan sistem terpadu selayaknya mengintegrasikan aspek biologi, fisik, dan faktor operasional yang berpengaruh kepada biologi OPT terkait hubungannya dengan lingkungannya, kemampuan bertahannya, dan cara penanganan risikonya. Hal ini telah ditetapkan dalam ISPM No. 14, tentang integrasi aturan dalam pendekatan sistem pengelolaan risiko OPT (The use of integrated mesures in a system approach for pest risk management).

Komponen Sistem Mitigasi
Bagan 1 menunjukkan contoh bagaimana pendekatan sistem dilaksanakan pada suatu komoditas dengan target OPTK tertentu. Komponen sistemnya sangat luas, tetapi secara umum dimulai dengan identifikasi OPT, pengetahuan dasar biologi OPT termasuk hubungannya dengan lingkungan terutama tanaman inangnya, penyebaran OPT, inang alternatif, habitat dan dinamika populasinya. Sejak dini, deteksi dan surveilans OPT sesuai standar internasional (ISPM No. 6), sangat penting dilakukan untuk mengetahui/meng-identifikasi jenis OPT secara pasti dan scientific (ilmiah), disebut pula sebagai “ambang terjadinya OPT (Pest Incidence Threshold, PITs)”.
Komponen lainnya adalah tindakan pasca panen, pengepakan, penjualan produk dan aspek regulasinya seperti sertifikat kesehatan tumbuhan (Phytosanitary Certificate) dari dan oleh negara pengimpor dan pengekspor. Pendekatan sistem ini secara umum cukup rumit dilakukan dibandingkan dari pada hanya mengandalkan satu tindakan pasca pangan tunggal. Secara skematis sistem mitigasi penanganan produk untuk ekspor seperti bagan 2.

PHT dan PHT Skala Luas (Integrated Pest Management (IPM) and Area-Wide Inte-grated pest management, AWIPM)
Pengendalian OPT di lapangan selalu menjadi dasar pencapaian sasaran produksi pertanian. PHT dilaksanakan dengan cara memadukan berbagai cara yang dilandasi pertimbangan informasi biologi OPT melalui pengendalian populasi di bawah ambang ekonominya. PHT telah menjadi satu alat kontrol penanganan OPT dan menjawab berbagai masalah yang berkembang, seperti berkembangnya berbagai cara pengendalian dengan pestisida (pestisida penggunaannya harus makin dikurangi), terjadinya resistensi/resurjensi OPT dan berkembangnya pertanian organik. Prinsip PHT tergantung pada pengelolaan biologi untuk pengambilan keputusan (melalui survei, ekologi, dsb.) dibandingkan cara pengendalian konvensional yaitu penggunaan pestisida secara kalender. Di samping itu, pendekatan PHT didasarkan kepada pengelolaan risiko dibandingkan cara eradikasi total terhadap OPT. Sistem PHT memadukan cara-cara pengendalian yang ada (biologi, kimia, dan budidaya, dsb.) dan menjamin tercapainya kelangsungan budidaya pertanian yang berwawasan ekologi dan ekonomi.

PHT skala luas (AWIPM) merupakan bagian penting dari pendekatan penerapan PHT, terutama terkait dengan OPT tertentu yang memiliki kisaran inang yang sangat luas dan tidak dapat dikendalikan pada suatu kawasan usahatani seperti lalat buah. Penerapan AWIPM dapat kompatibel dengan sistem keamanan perkarantinaan melalui upaya memperkecil risiko timbulnya OPT pada setiap pintu masuknya (pathway), mulai tingkat produksi sampai produk siap diekspor. Dengan mengurangi tingkat populasi sejak dini pada semua pintu masuk mulai proses produksi sampai proses pemasaran, kemungkinan risiko masuknya OPT dapat diminimalisasikan.

Berikut adalah mitigasi saat pra dan pasca panen dalam pendekatan sistem AWIPM dalam penanganan hama lalat buah (medfly) di Hawai pada komoditas pepaya, yaitu :

Mitigasi lapangan pada prapanen :
· Monitoring dan deteksi lapangan untuk menentukan tingkat populasi OPT,
· Pemerangkapan dan pengumpulan koleksi dengan jaring serangga, survey, sampling buah terserang saat panen untuk mengetahui pemicu timbulnya serangan OPT,
· Perlakuan lapangan seperti pemasangan umpan, penyemprotan pestisida, perlakuan terhadap buah gugur, pengantongan buah, sterilisasi serangga, dan pengendalian hayati,
· Mitigasi lapangan lainnya seperti pembebasan OPT di areal pertanaman inang utama atau inang lain melalui pengembangan daerah bebas OPT, penggunaan kultivar resisten, daerah bebas OPT atau daerah tempat/lokasi produksi bebas OPT, daerah dengan prevalensi OPT rendah, dsb.

Cara pengumpulan populasi lalat buah
Identifikasi jenis OPT dengan pakar

Mitigasi pascapanen :
· Pengawalan (safeguarding) produk dari infestasi lalat buah, mulai panen-pengepakan-ekspor
· Inspeksi kerusakan pada saat proses pengimporan atau pengeksporan,
· Pemanenen buah yang baik
· Volume pengapalan/tipe/pelabuhan masuk sesuai kesepakatan dengan negara pengimpor
· Tingkat kematangan buah yang dipersyaratkan (1/4 masak atau kurang)
· Persyaratan izin, audit fumigasi, pelabelan, dsb.

Strategi Karantina dalam Pengembangan Ekspor
Perdagangan ekspor selalu membutuhkan keterlibatan institusi pengatur, yaitu institusi negara yang bertanggungjawab terhadap pengaturan boleh tidaknya komoditas impor masuk ke wilayah negaranya. Di berbagai negara atau bagian negara dalam kawasan suatu negara telah melakukan harmonisasi prosedur dan aturan kesehatan tumbuhan (phytosanitary) sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh WTO. Beberapa negara seperti China melalui AQSIQ (Administration Quality Service and Information Quarantine), Amerika Utara melalui NAPPO (North American Plant Protection Organization), New Zealand melalui Departemen Pertanian-nya, AQIS (Australia Quarantine Information Service), atau Indonesia melalui Badan Karantina Pertanian adalah otoritas perlindungan tanaman yang bertanggung jawab melakukan pengaturan perdagangan internasional atas masuknya berbagai produk ke negaranya masing-masing. Kadang-kadang organisasi ini dapat berupa organisasi regional yang telah melakukan harmonisasi sistem SPS. Organisasi-organisasi tersebut sering memerlukan berbagai informasi terkait komoditas yang masuk ke wilayahnya, antara lain tentang :

· Identifikasi jenis lalat buah oleh negara pengimpor melalui NPPO
· Rancangan prosedur mitigasi yang diusulkan,
· Penilaian biaya dan keuntungan,
· Dokumentasi yang baik dari system mitigasinya,
· Penggalian data sesuai standar internasional (harus ilmiah)
· Publikasi/laporan tentang efektivitas mitigasi,
· Pengujian sistemnya,
· Penilaian Risiko Analisa OPT (Pest Risk assessment / PRA)
· Mitigasi OPT lain dalam PRA yang dilakukan,
· Penulisan proposal/rencana tindak lanjutnya.

Rencana tindak lanjut dan proposal yang teliti dan cermat dan masukan informasi yang lengkap sangat diperlukan dari entitas pengekspor serta verifikasi barang oleh otoritas pengimpor untuk pengujian dan pembuktian lebih lanjut. Secara umum, tanggung jawab untuk memberikan bukti yang memuaskan terletak kepada pengekpor untuk menunjukkan bahwa komoditas dan sertifikat yang dipersyaratkan haruslah sesuai dengan tingkat risiko yang diminta oleh negara pengimpor.
Salah satu contoh pendekatan sistem mitigasi mulai pra-panen adalah ekpor pepaya dari Hawai ke USA yang harus memenuhi ketentuan USDA (USDA 7CFR 319.56-2W), sebagai berikut :

· Komoditas yang diekspor ke USA adalah papaya (Carica papaya L.) dari daerah yang telah disepakati
· OPT yang diwaspadai adalah mediterranean fruit fly, Ceratitis capitata (Medfly)
· Aturan mitigasi utama/pokok yang diperlukan : komoditas yang diperdagangkan adalah papaya, dari daerah prevalensi OPT rendah, pada kultivar khusus, tingkat kematangan buah khusus yang dipersyaratkan, dilakukannya tindakan pencelupan/perendaman buah dalam air panas (suhu tertentu), dan dilakukan sesuai ketentuan audit fitosanitari.
· Secara khusus ketentuan mitigasi tersebut meliputi :
- persyaratan tipe papaya yang dikapalkan ke USA dari wilayah area/negara yang ditentukan, 30 hari sebelum panen haruslah bebas dari pepaya yang ½ matang atau lebih, semua buah jelek/jatuh dimusnahkan dari lapangan,
- perendaman buah dalam air hangat selama 20 menit pada suhu 49o C,
- hanya papaya yang < ½ matang dan bebas OPT yang boleh dipak,
- pengawasan sampah papaya dari paparan lalat buah sejak panen sampai pengeksporan,
- tidak boleh ada buah lain dalam barang kiriman dengan tanda tidak diperjualbelikan untuk Hawai,
- semua pengapalan barang dilengkapi sertifikat fitosanitari dari menteri Pertanian,
- mulai 1 tahun sebelum panen harus dilakukan :
§ pemerangkapan lalat buah di lapangan dengan ketentuan : 1 trap/ha dipantau setiap minggu (setiap trapping/ha/minggu) oleh Departemen Pertanian,
§ komposisi trapping : 50% McPhail trap dan 50% Jackson trap,
§ pemicu/trigger : 7 ekor/trap/minggu, mulai dilakukan pengendalian apabila tertangakap > 7 ekor/trap/minggu s/d < 14 ekor/trap/minggu dan tidak dilakukan importasi, serta boleh dilakukan importasi dari daerah produksi apabila tangkapan lalat buah < 7 ekor/trap/minggu (nilai hasil tangkapan ini merupakan implikasi dari tingkat prevalensi OPT yang disepakati)

Prosedur mitigasi lain dapat dilaksanakan apabila pihak pengimpor mempertimbang-kan secara cermat tingkat risiko yang dapat diterima secara wajar (appropriate low of protection, ALOP) tidak dipenuhi. Pihak eksportir disarankan untuk selalu menghubungi kantor perdagangan internasional untuk memenuhi semua ketentuan yang ada termasuk apabila terjadi perubahan-perubahan.

Implikasi penerapan PHT skala luas (AWIPM) di Indonesia dalam penyiapan produk eksor
Penerapan PHT skala luas (AWIPM) yang perlu dilakukan di Indonesia adalah upaya-upaya untuk mengembangkan sistem terpadu mulai tingkat budidaya (pra panen), penanganan panen dan pasca panen, serta sertifikasi untuk produk potensial ekspor, seperti mangga atau paprika.
Penerapan PHT skala luas yang dikembangkan haruslah mulai dari upaya mem-bangun kepedulian petani/masyarakat (public awareness) tentang perlunya menangani lalat buah, dengan melakukan pemasangan perangkap lalat buah di kawasan. Kepedulian masyarakat dapat dibangun melalui pola sekolah lapangan PHT (SLPHT).
Prosesnya adalah kelompok-kelompok kecil petani (sebagai unit inti SL) melakukan proses SLPHT dan diskusi-diskusi membahas penanganan lalat buah dengan perangkap beratraktan seperti methyl eugenol, dsb. Selanjutnya, gerakan penanganan lalat buah ini dikembangkan oleh kelompok inti oleh alumni SLPHT ke kelompok-kelompok lainnya sehingga mencakup kawasan komoditas yang lebih luas. Materi SL yang dibahas oleh petani dengan bimbingan Pemandu (fungsional Pengendali OPT/POPT-Pengamat Hama dan Penyakit/PHP), haruslah mencakup upaya penerapan sistem budidaya yang baik sesuai GAP dan SOP-nya (standar operasional prosedur), upaya membangun kepedulian petani melakukan pemerangkapan lalat buah, cara pemrosesan hasil panen yang baik, dsb.

Pengendalian lalat buah di lapangan dilakukan dengan menerapkan teknologi dan cara yang minimal menggunakan bahan kimia (insektisida) yang dapat mempengaruhi penilaian pasar karena residu pestisidanya dan sesuai hasil kajian bahwa populasi lalat buah telah melampaui ambang batas yang dipersyaratkan dan disepakati negara pengimpor. Pengendalian yang dilakukan inipun dilakukan berdasarkan pertimbangan pemantauan dan analisis populasi dalam proses SLPHT yang berlangsung.
Hal penting yang perlu dilakukan dalam SLPHT skala luas dalam pendekatan sistem ini adalah tersedianya hasil-hasil pencatatan setiap kegiatan yang dilakukan seperti yang dipersyaratkan dalam GAP, termasuk catatan hasil pemerangkapan lalat buah (ekor/ perangkap/minggu) yang dipantau dan dibina secara baik oleh petugas lapang (POPT-PHP). Koleksi dan identifikasi jenis lalat buah juga perlu dilakukan oleh petugas dengan bimbingan ahli taksonomi serangga (entomolog) dan ahli penyakit (/fitopatolog). Hasil-hasil tangkapan, koleksi dan identifikasi spesies lalat buah tersebut merupakan bukti ilmiah yang nantinya diperlukan dalam negosiasi perdagangan dengan negara pengekspor. Dalam hal ini, perlu diketahui pula tingkat populasi tangkapan lalat buah yang dapat diterima dari negara pengimpor (ekor/perangkap/minggu).
Proses selanjutnya yang mempengaruhi suatu produk diterima oleh negara pengimpor adalah penanganan pasca penen dan pengangkutan yang baik serta persyaratan tindakan karantina yang dipersyaratkan oleh negara pengimpor. Dalam sistem yang terpadu ini, mulai proses penanganan pasca panen, haruslah dilibatkan eksportir yang kapabel dan memahami prosedur karantina yang berlaku.

Kesimpulan
Pengelolaan OPT pada pra dan pasca panen merupakan suatu hal yang kritis dalam pemenuhan prosedur standar karantina untuk mencegah masuknya OPT invasif. Pendekatan penerapan PHT dan PHT skala luas (AWIPM) dapat dipadukan dalam kerangka mengurangi risiko OPT yang terjadi mulai pra panen sampai pasca panen, melalui prosedur mitigasi yang kompleks. Salah satunya adalah memadukan berbagai cara pengendalian lalat buah dalam area yang luas dan dilaksanakan dengan pola sekolah lapang. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah deteksi dan surveilans OPT, trapping, pemberian makanan (baiting) lalat buah, sanitasi lingkungan, pelepasan serangga jantan mandul (dihasilkan melalui teknologi sterilisasi serangga, Sterile Insect Technology, SIT), dan cara-cara budidaya sesuai prinsip GAP termasuk penanganan produk yang baik Good Handling Practices/GHP, Good Manufacturing Practices/GMP, dan Good Trading Practices/GTP, dsb. Dengan pendekatan sistem mitigasi tersebut, serangkaian kegiatan pemenuhan produk untuk ekspor dapat dilaksanakan dengan baik oleh semua pelakunya mulai tingkat budidaya sampai produk diperdagangkan.

Jakarta, Mei 2008

Siswanto Mulyaman – Fungsional Pengendali OPT Madya,
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura

BELAJAR DARI KERUGIAN PETANI CABAI


Oleh : Irwan Adam 1), Siswanto Mulyaman 2)
1) Staf Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura
2) Fungsional Pengendali OPT (POPT) Madya, Direktorat Perlindungan Tanaman
Hortikultura

Sinar Tani No. 3258 : 25 Juni - 1 Juli 2008


Belajar dari pengalaman terjadinya serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada komoditas strategis di beberapa daerah terutama yang berdampak kepada terganggunya pasokan kepada konsumen, sistem mitigasi dan pengelolaan OPT perlu terus menerus disosialisasikan kepada para pihak, sehingga timbul sikap kewaspadaan (awareness) dan cepat anggap (rapid respon) dari para pihak untuk mengambil langkah-langkah antisipasi dan terkoordinasi. Alasan terkait ketidaktahuan timbulnya serangan, gejala, sifat, karakteristik dan dampak serangan OPT, perlu dijawab dengan upaya mendudukan kembali kepada kewenangan dan tanggung jawab operasional pengendalian OPT sesuai peraturan yang ada.
Tulisan ini tidak bermaksud mencari-cari kesalahan, melainkan mencoba menjelaskan permasalahan yang muncul di lapangan baik langsung atau tidak langsung ikut berperan ”memicu” berkembangnya epidemi penyakit virus kuning dalam 5 tahun terakhir (2003 – 2007) di Indonesia. Dengan demikian pengelolaan OPT pada tanaman cabai ke depan makin baik, sehingga keberlangsungan agribisnis cabai berkelanjutan dan menguntungkan petani.

Pendahuluan
Manusia hidup di dunia tidak boleh berhenti untuk belajar baik melalui pendidikan formal di ruang kelas maupun dengan pertemuan tidak formal di bilik-bilik balai desa atau di alam terbuka, secara otodidak perorangan ataupun kumpul bersama teman di bawah bimbimingan guru. Tujuan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam rangka merubah sesuatu yang belum baik menjadi lebih baik, namun begitu belajar tidak hanya dari pengalaman orang yang sukses, tetapi bisa juga dari orang yang mengalami kegagalan guna mengetahui penyebab dan menghindari kegagalan tersebut supaya tidak terulang kembali, sehingga keberuntungan dapat diraih
Demikian pula kita bisa belajar dari kejadian buruk yang menimpa petani cabai akibat mewabahnya serangan penyakit virus kuning di hampir seluruh daerah sentra produksi dan pengembangan cabai di Indonesia, sehingga pada tahun 2007 kerugian petani tercatat Rp 20 Miliyar lebih. Musibah ini merupakan isyarat alam bagi petugas Deptan di pusat dan daerah untuk menjadikannya sebagai pelajaran atau bahan renungan, mengapa penyakit yang disebabkan oleh geminivirus yang awal serangannya pada tahun 2003 terbatas di Kabupaten Magelang – Provinsi Jawa Tengah, kini penyebaran dan luas serangannya sudah bertambah hampir seluruh daerah tanaman cabai di bumi Nusantara. Akibatnya, tidak hanya berdampak buruk terhadap ketersediaan cabai (rantai pasokan) di pasaran tidak lancar, yang kemudian memicu terjadinya harga yang tinggi, terutama menjelang hari-hari besar keagamaan dan nasional, juga prihatin terhadap kehidupan petani karena besarnya kerugian yang diderita akibat usahataninya mengalami gagal panen atau puso. Bahkan sebagian petani mengalami trauma untuk menanam cabai, lalu beralih usahatani pada komoditas pertanian lain.
Kata orang bijak, pengalaman adalah guru yang terbaik. Belajar dari kejadian tentang kurang berhasilnya petugas pertanian di pusat dan daerah dalam koordinasi penanggulangan serangan penyakit virus kuning pada tanaman cabai, hingga menimbulkan kerugian puluhan miliyar bagi petani. Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman buruk tersebut diharapkan menjadi bahan kajian berharga bagi petugas pertanian untuk pembinaan dan bimbingan para pelaku agribisnis cabai ke depan, sehingga hasil jerih payah dalam berusahatani mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga petani, dan kalaupun terserang OPT tidak sampai menimbulkan kerugian secara ekonomi.

Mengenal Gejala Serangan Virus Kuning
Ketika mulai hebohnya serangan virus kuning cabai di Jateng, DIY, dan Lampung Barat (2003-2004), Ditlintan Hortikultura telah mengingatkan daerah sentra produksi dan pengembangan cabai untuk waspada terhadap bahaya penyakit virus kuning cabai dan mengambil langkah operasional secara nyata dan koordinatif. Kurangnya tanggapan dan langkah operasional yang memadai dari semua pihak di daerah, menyebabkan penyebaran virus kuning cabai ini meluas ke seluruh daerah sentra produksi dan pengembangan cabai. Seyogyanya, sejak dini masalah ini dapat ditanggulangi melalui upaya pengendalian vektor dengan menerapkan teknologi yang ada dan telah dikenal petani dan pemberdayaan petani melalui sekolah-sekolah lapang PHT (SLPHT). Sayangnya respon para pihak terhadap serangan virus gemini ini masih kurang bahkan memandang tidak berpengaruh banyak terhadap produksi. Kurangnya awareness dan rapid response dari para pihak ini menyebabkan virus gemini terus berkembang dan potensial mengancam upaya pengembangan agribisnis cabai.

Pengalaman ini menunjukkan, banyak petugas lapang belum paham betul dengan gejala serangan virus kuning, sehingga di lapangan rancu dengan gejala virus lain pada cabai (Mosaic virus, virus keriting, kerupuk, dll). Akibatnya, laporan virus kuning yang masuk ke pusat juga relatif sedikit. Namun setelah dilakukan monitoring, pembinaan dan bimbingan dari pusat ke daerah, telah banyak daerah yang melaporkan serangan virus kuning.
Dari gejalanya, virus ini terjadi sejak di pembibitan sampai periode pertumbuhan vegetatif dan pembungaan. Gejala khas yang terlihat pada tanaman sakit di lapangan adalah klorosis atau kuning pucat antar vena daun, daun menguning cerah, daun melekuk ke atas atau ke bawah, daun meyempit, tanaman kerdil disertai pertumbuhan daun muda yang kecil-kecil banyak, bunga rontok, dan akhirnya tanaman tinggal ranting dan batang saja, kemudian mati. Namun di lapangan tidak semua daun menunjukkan kuning cerah, tergantung respon varietas, tinggi tempat dan agroklimatnya.
Tindakan korektif yang dinilai efektif menekan penularan penyakit lebih lanjut adalah pencabutan dan pemusnahan (eradikasi) tanaman sakit dan pengurangan infestasi vektor. Sebab bila dibiarkan hidup, tanaman tidak akan menghasilkan atau gagal panen (puso). Sedangkan bila gejala serangan baru terlihat saat berbunga, hasil panennya masih bisa diharapkan di atas 50 %.

Perkembangan Virus Kuning
Patogen penyebab penyakit virus kuning adalah Geminivirus “TYLCV” (Tomato Yellow Leaf Curl Virus). Penyakit dari group Begomovirus ini tidak ditularkan melalui biji, tetapi dapat menular melalui penyambungan dan tusukan kutu kebul (Bemisia tabaci) yang hingga kini diketahui merupakan penular efektif dari satu tanaman ke tanaman lain. Terlebih kutu kecil berwarna putih ini termasuk folifag menyerang berbagai jenis tanaman, antara lain tanaman hias, sayuran, buah-buahan, maupun tanaman liar dan gulma. Khusus tanaman budidaya yang menjadi inangnya meliputi, tomat, cabai, kentang, mentimun, terung, kubis,buncis, selada, bunga potong Gerbera, ubi jalar, singkong, kedelai, tembakau, dan lada sedangkan tanaman yang disukai adalah babadotan (Ageratum conyzoides). Pengendalian terhadap serangga vektor yang hanya mengandalkan pestisida kimia saja terbukti kurang efektif karena tubuhnya berlapis lilin, kemampuan terbang tinggi, juga diketahui relatif resisten terhadap pestisida kimia.
Melihat sejarah perkembangannya, penyakit ini cepat menyebar dari satu negara ke negara lain, sehingga penyebarannya di berbagai Negara di dunia tercatat sebagai berikut, di Asia 37 negara, Afrika 39 negara, Eropa 26 negara, Amerika 30 negara dan Oceania 14 negara. Awal infeksi geminivirus pada cabai dilaporkan di Mexiko tahun 1990 dan, Texas 1996, Thailand 1997, dan Indonesia 2003. Kurangnya kesadaran terhadap bahaya penyebaran penyakit yang ditularkan dengan lincah oleh serangga vektor dari tanaman ke tanaman dari daerah terserang ke daerah lain yang masih sehat, menyebabkan luas serangan dan daerah sebarannya meningkat cepat.
Di Indonesia. awal mula serangan virus kuning terjadi pada 2003 terbatas di Magelang, Jateng, Sleman, DIY, dan setelah 5 tahun terakhir (2003 – 2007) perkembangan virus kuning makin bertambah hingga 14 provinsi, meliputi NAD, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, Kaltim, Sulut, Maluku, Gorontalo, Irjabar. Luas tambah serangan virus kuning cabai pada tahun 2003 seluas 884 ha dan pada tahun 2007 meningkat tajam hingga mencapai 3.015,05 ha, terluas terjadi di Jateng 1.071,6 ha, NAD 404 ha dan Jabar 307 ha. Menurut laporan Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura (Ditlintan Hortikultura), bahwa total kerugian pada tanaman cabai akibat serangan virus kunig pada tahun 2007 tercatat lebih dari 20 Miliyar rupiah (harga cabai tingkat petani Rp 6.000/kg), terbesar terjadi di Jateng di atas 5 Miliyar rupiah, Jatim di atas 4 Miliyar rupiah dan Nad di atas 3 Miliyar rupiah.

Pokja Virus kuning
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura dengan daya dan kemampuan yang ada selama lima tahun terakhir telah berusaha maksimal untuk mensosialisasikan upaya penanggulangan penyakit virus kuning cabai setiap tahun anggaran dengan melibatkan instansi terkait di pusat dan daerah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan stakeholder bidang agribisnis sayuran, baik melalui pertemuan formal atau kegiatan non formal lainnya, yaitu meliputi kegiatan-kegiatan : (1) pertemuan Kelompok Kerja (Pokja) Nasional Penanggulangan Penyakit Virus Kuning Pada Tanaman Cabai (sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2008, telah dilaksanakan 6 kali), (2) pertemuan dan sosialisasi di daerah endemis (3 kali), (3) pembinanaan/bimbingan petugas dan monitoring di lahan petani daerah sentra dan pengembangan cabai, (4) penyebaran informasi pengenalan dan pengendalian virus kuning cabai dalam bentuk buku pedoman (3.000 eksp) dan leaflet (1.000 eksp), serta penulisan di koran Sinar Tani (2 kali) dan majalah bulanan Hortikultura (2 kali).
Pertemuan Pokja, menjadi forum andalan dalam menghimpun informasi teknologi dan mencari upaya pemecahan masalah virus kuning. Pada setiap pertemuan para pakar dari perguruan tinggi (IPB, UGM) dan lembaga penelitian (Balitsa-Lembang) dengan praktisi dari jajaran instansi terkait (Diperta/BPTPH), peserta dan narasumber terlibat dalam diskusi intensif memahami fenomena virus kuning cabai. Diskusi hasil-hasil penelitian dan kajian serta pengalaman yang bersifat terapan di lapangan, telah menjadi ”amunisi baru” bagi peserta daerah khususnya bagi daerah endemis virus kuning. Selanjutnya, masukan informasi ini kemudian menjadi bahan perjuangan peserta untuk mengendalikan virus kuning cabai di daerahnya masing-masing. Sampai-sampai Direktur Perlindungan Tanaman Hortikultura setiap kali mengingatkan peserta untuk mencermati diskusi dan memberi penekanan khusus (stressing) agar hasil-hasil Pokja ditindaklanjuti di daerahnya masing-masing. Hal yang diinginkan Direktur adalah menghilangkan kesan bahwa hasil-hasil Pokja tidak ada tindak lanjutnya di daerah. Kegiatan Pokja tidak semata pertemuan rutin tahunan, tetapi perlu tindak lanjut yang memadai dari jajaran perlindungan tanaman dan petani cabai di daerah untuk menerapkan teknologi yang direkomendasikan.

Rumusan Pokja pada tahun ke empat (2008) telah menghasilkan anjuran teknologi terapan pengendalian virus kuning dan langkah-langkah penerapannya sesuai dengan Pengendalian Hama terpadu (PHT). Bila petani mau melaksanakan rekomendasi pengendalian secara utuh dengan baik dan benar (mulai para tanam sampai dengan panen), hasilnya mampu menekan serangan virus kuning antara 60 – 80 %. Namun sayangnya, baru sebagian kecil petani di daerah endemis yang telah melaksanakan anjuran teknologi pengendalian virus kuning cabai. Hal ini mungkin terjadi karena daerah masih kurang antisipasi terhadap bahaya virus kuning, lemahnya koordinasi pengendalian antar petugas lapang di daerah dan belum seriusnya perhatian pemegang kebijakan terhadap kehilangan hasil akibat virus kuning cabai.

Tindakan antisipatif melalui pengaturan pola tanam
Tanaman cabai dikonsumsi dalam bentuk segar dan tidak dapat disubsitusi dengan bahan lain, maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang meningkat tiap tahun, ketersediaan tanaman cabai harus ada sepanjang tahun sebagaimana diatur dalam quota tanam. Pola pengelolaan quota ini menjadi kunci dari upaya pemenuhan ketersediaan produk cabai. Sayangnya, pengaturan tanam (quota tanam) sering tidak dipatuhi petani terutama saat harga tinggi di pasaran, petani seakan berlomba menanam cabai. Pada kondisi ini akan menyulitkan upaya pengendalian virus kuning di daerah serangan, karena siklus hidupnya tidak terputus sehingga baik inang virus, vektor dan inang vektor selalu ada.
Pemerintah dalam hal ini Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura, sesuai dengan tupoksi melaksanakan kebijakan di bidang perlindungan tanaman, yaitu sebagai fasilitator dan regulator baik kebijakan operasional maupun teknis dalam mendukung keberhasilan program pengembangan agribisnis hortikultura, dan bukan pihak yang bertindak langsung menangani di lapangan. Tanggung jawab di lapangan adalah menjadi tupoksi daerah yang memiliki kewenangan langsung : merencanakan, membina dan mengupayakan agar agribisnis cabai dapat meningkatkan dan mensejahterakan petani serta menyumbang pendapatan asli daerah (PAD). Oleh karena itu, pengelolaan budidaya melalui pewilayahan komoditas dan pengaturan pola tanam yang baik menjadi wewenang pemerintah daerah.
Langkah-langkah pengendalian virus kuning cabai
Teknologi pengendalian penyakit virus kuning pada tanaman cabai ini merupakan penyempurnaan dari hasil penelitian dan kajian para pakar yang berasal dari lembaga penelitian (Balitsa-Lembang), perguruan tinggi (IPB, UGM) dan praktisi di daerah endemis virus kuning. Hasil di lapangan menunjukkan, bahwa apabila petani melaksanakan rekomendasi pengendalian secara utuh (mulai para tanam sampai dengan panen) dengan baik dan benar sesuai PHT, mampu menekan serangan virus kuning antara 60 – 80 %. Bahkan petani di Magelang, Jateng yang lebih menekankan pengendalian pada pengerodongan bibit cabai di pesemaian dengan menggunakan kain sifon/kasa, dan dilapangan dilanjutkan menanam 6 baris tanaman border jagung 2-3 minggu sebelum tanam cabai disekeliling kebun cabai, dari hasil panen lebih kurang 3.000 batang tanaman, mampu membeli 2 unit sepeda motor (harga cabai tingkat petani Rp 18.000/kg). Pengalaman tersebut membuktikan bahwa teknologi yang diterapkan dapat memberikan keuntungan.
Langkah-langkah pengendalian virus kuning cabai yang dianjurkan tersebut adalah sebagai berikut :

· Perendaman benih dengan larutan PGPR (20 ml Pseudomonas fluorescens) selama 6 – 12 jam,
· Mengerudungi pesemaian sejak benih di sebar dengan menggunakan kain sifon/ kelambu/kasa halus yang tembus sinar matahari, guna mencegah kutu kebul masuk untuk menginfeksi pesemaian. Lindungi pesemaian dengan pestisida nabati,

Sampai sekarang, petani umumnya belum mengetahui pembuatan pengerodongan pembibitan cabai yang memenuhi standar baik model rumah maupun model tutup keranda (tunnel) untuk mencegah tanaman terhindar dari vektor dan infeksi virus kuning. Untuk itu perlu alokasi dana guna pengadaan rumah kasa percontohan standar terutama bagi kelompok tani di daerah sentra dan pengembangan cabai yang kronis virus kuning

· Pemberian pupuk kandang yang matang atau kompos minimal 20 ton/ha dan menggunakan plastik perak sebagai mulsa,
· Sanitasi lingkungan kebun, terutama gulma bebadotan dan bunga kancing yang dapat berperan sebagai inang alternatif bagi virus dan vektor, dan eradikasi tanaman terserang dengan segera lalu dimusnahkan,
· Menanam 6 baris tanaman jagung 2-3 minggu sebelum tanaman cabai disekeliling kebun, dengan jarak tanam rapat (15-20 cm). atau tanaman border lain Orok-orok (Clorotoria sp) dan tanaman perangkap tagetes, 6 baris Tanaman border jagung (kiri) dan Orok-orok (kanan)
ditanam di sekeliling pertanaman cabai

· Memasang perangkap likat sebanyak 40 lembar/ha digantung atau dijepit pada kayu/bambu setinggi 30 cm di atas kanopi tanaman,
· Melepaskan predator Monochilus sexmaculatus (kumbang macan) 1 ekor/10 m2 dua minggu sekali,
· Aplikasi pestisida (50-100 lembar daun sirsak atau daun tembakau/5 liter air + 15 gr sabun colek) atau 20 gr biji atau 50 gr daun nimba + 1 gr sabun colek/liter air). Ramuan ditumbuk halus, dicampur air, disaring, dan direndam 1 malam,
· Selain itu menggunakan ekstrak bunga pukul empat dan bayam duri sebagai induser mulai dari pembibitan hingga pembungaan minimal 2 minggu sekali.

Kesimpulan dan Saran
Sejalan dengan perluasan penanaman tanaman cabai di daerah sentra produksi untuk memenuhi permintaan konsumen yang meningkat setiap tahun, maka diprakirakan luas dan daerah sebaran virus kuning ke depan akan meningkat pula, terutama apabila upaya pengendaliannya tidak mendapat perhatian serius dan tidak adanya awareness dan rapid respon yang memadai dari para pihak. Oleh karena itu koordinasi antara pusat dan daerah dalam menyusun program pengendalian perlu terus ditingkatkan dan dikembang-kan, termasuk alokasi dana operasional pengendalian yang memadai, diantaranya alokasi dana untuk pengadaan rumah-rumah kasa percontohan bagi kelompok tani di daerah endemis virus kuning cabai. Selain itu supaya permohonan dan harapan terwujud, perlu pula mandekatkan diri kepada kemauan Yang Maha Kuasa dan mensyukuri atas ni’matnya dengan kerja keras meningkatkan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi kerja yang tulus dan baik dalam mendorong, membina, dan melaksanakan kegiatan perlindungan tanaman yang sebaik-baiknya.


Jakarta, Juni 2008

Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura
Ir. Irwan Adam dan Ir. Siswanto Mulyaman

Mewaspadai OPT Baru yang Eksplosif dan Upaya Penanggulangannya,

MEWASPADAI OPT BARU YANG EKSPLOSIF DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA


Sinar Tani N0. 3254 : 28 Mei - 3 Juni 2009


Perubahan iklim dan cara budidaya serta kebijakan global, dapat mengubah komposisi spesies serangga di alam. Perubahan faktor iklim biasanya paling awal dituding sebagai penyebab merebaknya serangan OPT. Hal ini sering terjadi pada lahan pangan, beberapa OPT sering meningkat saat perubahan faktor iklim terjadi dan sangat ekstrim. Di bidang hortikultura, ada 2 (dua) kategori OPT baru, yaitu OPT yang benar-benar baru ada di suatu wilayah dan OPT yang memang baru diketahui dan dilaporkan. Kategori OPT yang benar-benar baru di suatu wilayah, umumnya terjadi karena berbagai hal, antara lain perubahan faktor iklim yang mengubah komposisi (nisbah) musuh alami dan OPT yang tidak imbang di alam dan terbawa benih yang diimpor. Sementara OPT yang baru diketahui dan dilaporkan, lebih banyak terjadi akibat keterbatasan pengetahuan petugas lapangan untuk mengenali, memantau dan mengupayakan langkah penanggulangannya.

Konsepsi OPT baru

P

ara ahli bidang perlindungan tanaman yang tergabung dalam Komisi Perlindungan Tanaman (KPT) dalam suatu pertemuan KPT di Mataram, Maret 2009 mendeskripsikan penyebab rimbulnya serangan OPT baru, disebabkan karena perubahan iklim mengakibatkan perubahan musim, pola tanam, cara budidaya, dan penurunan ketahanan tanaman terhadap OPT seperti perubahan dominasi spesies dan peningkatan intensitas serangan. Adanya cara budidaya yang tidak tepat, mengabaikan syarat tumbuh yang hakiki, sehingga perlu dilakukan budidaya tanaman sehat dalam pengembangan suatu komoditas. Munculnya OPT baru, memang benar-benar baru atau sebenarnya sudah ada tetapi baru muncul dan diketahui, karena menimbulkan masalah. Pergeseran status OPT baik hama maupun penyakit, dari lemah menjadi kuat karena kondisi tanaman yang lemah. Kelemahan tanaman disebabkan karena berbagai faktor antara lain kurangnya unsur hara untuk tanaman, lingkungan, dan adanya dampak anomali iklim sehingga kondusif bagi perkembangan OPT.

Dengan penjelasan tersebut, memberikan gambaran kepada kita bahwa timbulnya serangan OPT itu memerlukan penanganan yang komprehensif, terutama dalam pengelolaan tanaman yang memenuhi prinsip budidaya tanaman sehat sesuai sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

Beberapa OPT baru dan langkah penanggulangannya

1. Kutu putih Pepaya

Beberapa OPT pada komoditas hortikultura akhir-akhir ini diketahui sebagai OPT baru yang eksplosif adalah OPT kutu putih (Paracoccus marginatus William and Granara de Willink, 1992, Hemiptera: Pseudococcidae) yang menyerang tanaman pepaya dengan wilayah penyebaran di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Kota Depok Propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten.

Kutu kebul papaya bersifat polifag, menyerang beberapa tanaman inang, termasuk tanaman buah tropis dan tanaman hias. Pada tahun 1998, ditemukan di Negara Bagian Florida, yaitu Manatee and Palm Beach dan menyebar secara cepat ke Negara bagian lainnya. Serangan kutu kebul ini merugikan jutaan dollar di Florida, bila tidak dikendalikan. Pengendalian biologi telah diidentifikasi sebagai strategi kunci pengendalian yang efektif. Program pengendalian biologi telah dimulai pada tahun 1999 berdasarkan kerjasama antara Departemen Pertanian Amerika, Departemen Pertanian Puerto Rico dan Kementrian Pertanian republik Dominika.

Kutu betina tidak bersayap berwarna kuning, tubuhnya diselimuti dengan lilin berwarna putih, panjang 2,2 mm dan lebar 1.4 mm. Telur berwarna kuning kehijauan diletakkan pada kantong telur yang panjangnya 3 – 4 kali panjang tubuhnya dan diselimuti dengan lapisan lilin putih. Kutu jantan berwarna merah muda namun pada saat instar pertama dan kedua berwarna kuning. Kutu jantan berbentuk oval dengan panjang kira-kira 1,0 mm dan lebar 0,3 mm. Kutu jantan bersayap dan mempunyai antena dengan 10 segmen. Unruk identifikasi sederhana, kutu ini akan berubah menjadi hitam kebiruan apabila dicelupkan kedalam alkohol, berbeda dengan kutu putih lainnya.

Di Indonesia, pada bulan Agustus, 2008, serangga tersebut telah dilaporkan menyerang tanama papaya di Kabupaten Bogor. Prof Dr. Aunu Rauf (IPB) dan berdasarkan konfirmasi identifikasi dengan pakar entomologi Dr. Gillian W. Watson, dari Plant Pest Diagnostic Center - California Department of Food & Agriculture, secara jelas mengidentifikasinya sebagai kutu kebul papaya (Paracoccus marginatus) – dalam terminologi Bayer Code diakronimkan sebagai PACOMA.

Dari pemantauan di lapangan, serangga berlilin ini disebarkan oleh angin (instar 1), burung/serangga, bibit bahkan pakaian ini telah menyebar luas. Di samping wilayah Propinsi Jawa Barat, juga telah ditemukan di wilayah DKI Jakarta yaitu di Jakarta Selatan (Kecamatan Jagakarsa, Cilandak, Pasar Minggu dan Senayan). Akibat serangan berat, daun menjadi kering, tanaman merangas, daun muda keriting dan tunas baru pertumbuhananya menjadi terhambat. Selain tanaman pepaya, juga ditemukan cukup berat menyerang tanaman singkong, jarak pagar, jati emas dan beberapa jenis gulma.

Langkah dan upaya penanggulangan

Sifat kutu putih yang invasif dan belum ada musuh alaminya ini, memerlukan upaya penanganan yang komprehensif. Apabila dilihat asal OPT dan sifatnya invasif / merusak, maka perlu segera dilakukan langkah cepat untuk mendatangkan musuh alami yang dianggap efektif dari negara asalnya melalui serangkaian kajian yang baik. Hal ini karena musuh alami, predator lokal masih jarang dijumpai di lapangan, sementara dari golongan cendawan, yaitu Neozygites, dinilai terlambat dan belum dapat diperbanyak di laboratorium. Jalan pintas yang baik, meskipun memerlukan waktu, adalah mendatangkan parasitoid dari negara asalnya. Beberapa parasitoid yang ada di daerah asal kutu putih pepaya tersebut adalah Anagyrus loecki, Acerophagus papaya, Pseudleptomastix mexicana. Beberapa negara yang sudah melakukan introduksi parasitoid tersebut untuk pengendalian kutu putih pepaya adalah Republik Dominika, Puerto Rico, Guam, Palau, Florida dan Hawai. Satu tahun setelah pelepasan parasitoid tersebut populasi kutu putih menurun sampai 97 %. Oleh karena itu, upaya introduksi musuh alami seperti yang dilakukan oleh negara-negara tersebut, perlu ditiru dengan pengawasan Komisi Agens Hayati Departemen Pertanian.

Hal ini dilakukan, agar nantinya musuh alami tersebut mampu beradaptasi dengan lingkungan Indonesia dan tidak menjadi menjadi spesies asing (Invasive Alien Spesies, IAS) yang mungkin juga menimbulkan perubahan biodiversitas lokal, menimbulkan kerusakan, dan persaingan makan dengan musuh alami lokal, dan menyerang/ mengancam keberadaan musuh alami lokal.

Langkah yang perlu ditempuh untuk mendatangkan musuh alami tersebut adalah penyusunan Environmental Assessment, survey baseline parasitisasi, dan penentuan tempat pelepasan dan evaluasinya. Hal-hal tersebut lebih lanjut diatur oleh Komisi Agens Hayati, Departemen Pertanian.

Langkah penanggulangan yang disarankan

a. Mencegah agar tidak menyebar dari daerah terserang ke daerah belum terserang, dilakukan dengan tindakan eradikasi. Meskipun relatif sulit dilaksanakan, namun perlu keterpaduan semua pihak di lapangan, baik institusional, teknik dan operasionalnya. Di samping itu, tindakan pengaturan lalu lintas media pembawanya (bagian tanaman, buah terserang) dari daerah terserang ke daerah yang belum terserang. Peran Pemerintah Daerah melalui Dinas Pertanian sangat penting.

b. Menurunkan populasi di daerah terserang, dengan melakukan gerakan pengendalian untuk melakukan sanitasi tanaman terserang (pembakaran/penimbunan), penyemprot-an air sabun pada bagian tanaman terserang, dan penyemprotan insektisida pada bagian tanaman terserang saat eksplosi terjadi.

c. Melakukan pemantauan dan surveilans sesuai standar kesehatan tumbuhan (Sanitary and Phytosanitary) dengan melakukan surveilans, penetapan status, dan pelaporan OPT. Hal ini terutama karena OPT ini menyerang komoditas pepaya yang saat ini, Indonesia berupaya mengekspor pepaya unggulan ekspor, yaitu pepaya hawai. Informasi serangan OPT yang terlanjur ada dalam berbagai situs internet, tidak bisa dihindarkan bagi calon negara pengekspor untuk mengklarifikasi keberadaan OPT dan pengelolaan risiko yang dilakukan.

2. Penyakit virus kuning pada kacang panjang

OPT ke dua yang juga cukup merepotkan upaya budidaya kacang panjang adalah virus kuning pada tanaman kacang panjang di beberapa daerah pantai utara (Pantura) Jawa Barat. Informasi serangan OPT ini awalnya disampaikan oleh Dr. Ir. Suryo Wiyono, anggota KPT pada pertemuan KPT di Bogor pada bulan November 2008.

Hasil pemantauan Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura pada bulan-bulan berikutnya dan laporan beberapa UPTD BPTPH mengindikasikan bahwa penyakit ini telah menyebar ke berbagai provinsi Jawa Barat (Bekasi, Karawang, Subang, Purwakarta, Bogor), Jawa Tengah (Brebes, Tegal), D.I. Yogyakarta (Sleman / Muntilan), Banten (Tangerang). Mungkinkan serangan penyakit telah ada di wilayah provinsi lain ?. Masih memerlukan kerja keras jajaran perlindungan tanaman untuk memantaunya.

Awalnya, identifikasi para pakar per-lindungan tanaman, masih belum ada kesama-an penyebabnya. Ada pakar yang menyebutkan sebagai BCMV (Bean Common Mosaic Virus), BGMV (Begomo Virus, Bean Golden Mosaik Virus dari kelompok Gemini Virus, bahkan perusahaan penyedia benih Nasional, PT East West Seed meyakini pathogen penyakit tergolong gemini virus, dan hasil uji laboratorium di IPB menyimpulkan sementara bahwa virus tersebut bukan sebagai gemini virus maupun BYMV (Bean Yellow Mosaic Virus).

Namun, akhirnya Dr. Sri Sulandari dari UGM pada pertemuan Pokja virus kuning di Yogyakarta pada bulan April 2009 lalu bersama pakar-pakar lainnya, memastikan gejala menguning pada tanaman kacang panjang, disebabkan oleh sebagai Begomo Virus, Bean Golden Mosaik Virus dari kelompok Gemini Virus berdasarkan hasil pengujian dengan PCR (Polymerase Chain Reaction). Virus ini tidak tertular melalui benih, tetapi dapat menular melalui penyambungan dan tusukan kutu kebul (Bemisia tabaci), vektornya.

Dengan kejelasan hasil identifikasi ini, jajaran perlilindungan tanaman tetap dituntut untuk mengamanankan areal pertanaman kacang panjang dari virus kuning ini di wilayahnya masing-masing dengan langkah-langkah yang komprehensif.

Langkah dan upaya penanggulangan

Langlah penangggulangan yang direkomendasikan ini terkait dengan kebijakan nasional dalam pengaturan peredaran dan penggunaan benih serta langkah operasional di lapangan, yaitu :

a. Kebijakan pemasukan benih dilakukan sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku. Yang terlebih penting lagi adalah hasil analisis risiko OPT yang direkomendasi-kan oleh Badan Karantina Pertanian, harus dijadikan pedoman untuk memantau adanya – tidaknya OPT potensial terbawa media pembawa atau benih yang diimpor tersebut.

b. Jajaran perlindungan tanaman di daerah melakukan pemantauan yang rutin, melaporkan dan melakukan upaya pengendaliannya apabila diperlukan.

c. Secara operasional, jajaran perlindungan tanaman di daerah melakukan tindakan budidaya yang baik dan benar,yaitu :

· Penggunaan benih sehat dan bukan berasal dari daerah terserang. Benih yang bebas virus dapat diproduksi dengan cara menghindari sumber infeksi awal dengan menanam stok benih sehat. Menanam varietas tahan atau tidak menularkan virus lewat biji.

· Penanaman dengan jarak tanam yang rapat dapat menekan serangan serangga vektor. Beberapa jenis serangga vektor dilaporkan lebih banyak tertangkap pada pertanaman dengan jarak tanam renggang.

· Pergiliran tanaman dengan tanaman non kacang-kacangan

· Menghilangkan tanaman terinfeksi/sanitasi tanaman dan sumber infeksi lain di lapangan, dengan cara mencabut tanaman sakit untuk mengurangi penyebaran vektor lebih lanjut, serta mencabut gulma yang merupakan inang alternatif virus kacang-kacangan.

· Menerapkan teknologi budidaya yang ramah lingkungan dengan penggunaan agens hayati atau perendaman benih dalam larutan PGPR (Plant Growth Promotion Rhizobacter) terutama dengan Pf/Pseudomonas flourescens dengan dosis 20 ml/liter air selama 6 – 12 jam),

· Melakukan pemerangkapan serangga vektor dengan cara pemasangan likat kuning sebanyak 40 lembar/ha secara serentak di pertanaman atau melalui penggunaan plastik reflektif aluminium (sebagai plastik mulsa atau alat pengusiran serangga vektor dengan plastik berkilau di pertanaman dengan cara digantung/dijepit pada kayu/bambu setinggi 30 cm di atas tajuk daun guna mengurangi populasi vektor).

3. OPT lain

a. Turnip Mosaik Virus (TuMV)

Pada awal 2008 tahun lalu, penyakit ini dilaporkan oleh pakar virus tanaman dari Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB, Dr. Sri Hendrastuti Hidayat PhD telah menyerang sentra sayuran di Lampung, Bengkulu, Pontianak, Balikpapan, Samarinda, Poso dan Donggala. Sebelum adanya informasi ini, TuMV masih tergolong dalam OPT Karantina A1 (belum ada di Indonesia). Saat ini melalui pembahasan panjang, status OPTK ini telah ada di Indonesia. Dengan perubahan kategori OPT tersebut, mengharuskan jajaran perlindungan tanaman di daerah perlu memantau secara baik penyebaran OPT ini, melaporkan dan mengupayakan langkah penanggulangannya.

TuMV merupakan virus yang umum menyerang sayuran dari famili kubis-kubisan (Cruciferae) dan tersebar luas di dunia. TuMV termasuk anggota kelompok “potyvirus” dan mempunyai partikel filamen yang berukuran 750x12 mm. Virus ini terdiri dari beberapa strain yang mempunyai tanaman inang berbeda dan gejala yang berbeda pula. TuMV ditularkan oleh vektor dari beberapa spesies kutu dengan cara yang nonpersisten. Serangga vektor yang penting adalah Bevicoryne brassicae dan Myzus persicae.

TuMV berpengaruh terhadap usahatani kubis, lobak, dan salada air. Sayuran lain yang dapat terinfeksi antara lain selada daun (lettuce), dan tanaman hias juga sebagai tanaman inang.

Gejala klorotik atau spot-spot nekrotik dan cincin, atau umumnya mosaik. Beberapa kultivar berkembang secara sistematik nekrotik dan mosaik.

Infeksi awal, menyebabkan beberapa daun berkerut dan kerdil, dan pada beberapa kasus, terjadi dan tanaman mati.

Pada kubis, beberapa bagian pada daun terlihat gejala bintik-bintik hitam (black spotting) yang lebih berat dibandingkan bagian lain. Pada kubis di penyimpanan, TuMV dapat berkembang pada daun bagian dalam dan menimbulkan gejala luka-luka hitam (kadang-kadang seperti gejala terbakar oleh rokok) seluas 5-10 mm, dan menghasilkan krop yang bermutu rendah (tidak diterima di pasar).

Langkah dan upaya penanggulangan

Langlah penangggulangan yang direkomendasikan sama dengan langkah sebelumnya, terutama terkait dengan kebijakan nasional dalam pengaturan peredaran dan penggunaan benih serta langkah operasional di lapangan melalui pengelolaan budidaya tanaman, yaitu :

a. Kebijakan pemasukan benih dilakukan sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku. Yang terlebih penting lagi adalah hasil analisis risiko OPT yang direkomendasi-kan oleh Badan Karantina Pertanian, harus dijadikan pedoman untuk memantau adanya – tidaknya OPT potensial terbawa media pembawa atau benih yang diimpor tersebut.

b. Jajaran perlindungan tanaman di daerah disarankan untuk melakukan pemantauan rutin, melaporkan dan melakukan upaya pengendaliannya apabila diperlukan.

c. Secara operasional, jajaran perlindungan tanaman di daerah disarankan untuk melakukan sosialisasi penerapan budidaya yang baik dan benar,yaitu :

· Menanam tanaman yang resisten,

· Cara-cara budidaya yang baik/kultur teknis;

· Rotasi tanaman (terutama dengan non famili kubis),

· Pemupukan berimbang, dengan menambah kompos,

· Memilih waktu tanam yang tepat untuk mengurangi serangan penyakit,

· Pengaturan kebutuhan air yang tepat.

· Sanitasi, terutama dari tanaman atau bagian tanaman (sisa tanaman) yang terinfeksi, dikumpulkan lalu dimusnahkan, serta sanitasi gulma,

· Aplikasi insektisida yang terdaftar, untuk pengendalian serangga (kutu) vektor,

· Pengendalian biologi, dengan musuh alami (parasit dan predator) dari serangga kutu vektor.

b. Nematoda Sista kentang (NSK)

Nematoda sista kuning (NSK), Globodera rostochiensis, yang sebelum tahun 2003 dikategorikan sebagai OPTK A-1, pertama kali ditemukan di Indonesia pada Maret 2003 menyerang tanaman kentang di daerah Batu – Jawa Timur. Saat ini, OPT ini telah dapat ditanggulangi dan dilokalisir serangannya hanya di 4 provinsi saja di sentra kentang tertentu di Jabar, Jateng, Jatim dan Sumut.

Keberhasilan melokalisir serangan NSK ini, akrena upaya yang terus menerus diulakukan oleh jajaran perlindungan tanaman di daerah, petani, dan pemerintah daerah setempat.

Namun demikian, upaya-upaya melokalisir agar tidak menyebar ke provinsi sentra kentang lain masih perlu ditingkatkan, termasuk upaya pencegahan dengan peraturan karantina untuk benih kentang dari negara-negara pengekspor di Eropah.

Langkah dan upaya penanggulangan

a. Jajaran perlindungan tanaman di daerah didarankan melakukan pemantauan rutin, melaporkan dan melakukan upaya pencegahan agar tidak menyebar ke wilayah sentra kenatng lainnya, serta pengendalian dengan pestisida yang dianjurkan.

b. Secara operasional, jajaran perlindungan tanaman di daerah disarankan untuk melakukan sosialisasi penerapan budidaya yang baik dan benar,yaitu :

· Menanam benih kentang bermutu bebas NSK (benih harus bersertifikat),

· Tidak membawa tanah atau media pembawa lain dari daerah yang terserang ke daerah belum terserang,

· Penanaman tanaman perangkap (misalnya tomat murah) sebulan ditanam kentang, guna memancing menetasnya larva NSK saat menginfeksi akar tomat (pada umur 30 hari hst, tanaman tomat dicabut dan dimusnahkan)

· Pemupukan berimbang (pupuk organik 20 ton/Ha),

· Rotasi dengan tanaman bukan Solaneceae),

· Penggenangan lahan dalam waktu tertentu (disawahkan), terutama dilahan datar yang relatif luas, mampu menekan populasi NSK,

· Sanitasi, pencabutan tanaman sakit, lalu dimusnahkan,

· Pencegahan penularan NSK di instalasi pengembangan benih kentang,

· memproteksi tamu/karyawan/tenaga harian yang masuk ke kebun dengan cara menyediakan kolam desinfektan, kran air untuk cuci, tempat ganti sepatu/alas kaki dalam lahan,

· pemasangan papan peringatan secara jelas,

· memperbaiki pagar yang rusak disekeliling kebun sehingga tidak menjadi jalan pintu bagi orang yang akan masuk ke kebun,

· Surveillan rutin di daerah yang dicurigai, guna mengetahui keberadaan NSK.

c. Virus kuning pada cabai

Demikian pula dengan virus kuning pada cabai, telah banyak informasi tentang OPT ini. Dari gejalanya, virus ini terjadi sejak di pembibitan sampai periode pertumbuhan vegetatif dan pembungaan. Gejala khas yang terlihat pada tanaman sakit di lapangan adalah klorosis atau kuning pucat antar vena daun, daun menguning cerah, daun melekuk ke atas atau ke bawah, daun meyempit, tanaman kerdil disertai pertumbuhan daun muda yang kecil-kecil banyak, bunga rontok, dan akhirnya tanaman tinggal ranting dan batang saja, kemudian mati. Namun di lapangan tidak semua daun menunjukkan kuning cerah, tergantung respon varietas, tinggi tempat dan agroklimatnya.

Patogen penyebab penyakit virus kuning adalah Geminivirus, TYLCV (Tomato Yellow Leaf Curl Virus). Penyakit dari group Begomovirus (Bean Golden Mosaic Virus) ini tidak ditularkan melalui biji, tetapi dapat menular melalui penyambungan dan tusukan kutu kebul (Bemisia tabaci) yang hingga kini diketahui merupakan penular efektif dari satu tanaman ke tanaman lain. Terlebih kutu kecil berwarna putih ini termasuk folifag menyerang berbagai jenis tanaman, antara lain tanaman hias, sayuran, buah-buahan, maupun tanaman liar dan gulma. Khusus tanaman budidaya yang menjadi inangnya meliputi, tomat, cabai, kentang, mentimun, terung, kubis,buncis, selada, bunga potong Gerbera, ubi jalar, singkong, kedelai, tembakau, dan lada sedangkan tanaman yang disukai adalah babadotan (Ageratum conyzoides). Pengendalian terhadap serangga vektor yang hanya mengandalkan pestisida kimia saja terbukti kurang efektif karena tubuhnya berlapis lilin, kemampuan terbang tinggi, juga diketahui relatif resisten terhadap pestisida kimia. Oleh karena itu, jajaran perlindungan tanaman di daerah telah bekerja maksimal mengendalikan OPT ini.

Dengan penerapan teknologi budidaya untuk pencegahan penyebaran virus kuning melalui upaya penanaman tanaman perangkap jagung, penanaman bibit cabai dalam screen house (pengerodongan) untuk mencegah kehadiran vektor pembawa virus, pemasangan perangkap likat kuning, dan melalui pola pelaksanaan SLPHT. Sudahkah teknologi budidaya ini diterapkan ?, jawabannya adalah tergantung dari upaya sosialisasi kepada petani oleh jajaran perlindungan tanaman di daerah. Bila teknologi ini diterapkan petani, mestinya perkembangan serangan OPT ini dapat ditekan dengan baik.

Langkah dan upaya penanggulangan

Dalam penanggulangan penyakit virus kuning pada cabai, upaya pencegahan masuknya vektor (kutu kebul) ke dalam areal tanaman sangat penting, salah satunya dengan pengerodongan tanaman dalam rumah kassa.

Sementara itu di tingkat lapangan, perlu disosialisasikan langkah budidaya tanaman yang baik dan benar, yaitu :

· Menanam pinggiran lahan dengan 6 baris tanaman jagung 2 – 3 minggu sebelum tanam cabai dengan jarak rapat 15 – 20 cm. Tanaman lainnya : Orok – orok,

· Pemberian pupuk kandang/kompos minimal 20 ton/ha,

· Rotasi/pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang virus (terutama bukan famili solanaceae (tomat, kentang, tembakau) dan famili cucurbitaceae (mentimun), dilakukan dalam satu hamparan, tidak perorangan, dilakukan serentak tiap satu musim tanam dan seluas mungkin.

· Penggunaan mulsa plastik perak di dataran tinggi, dan jerami di dataran rendah mengurangi infestasi serangga pengisap daun dan mengurangi gulma,

· Memasang perangkap likat kuning sebanyak 40 lembar/ha, digantung atau dijepit pada kayu/bambu setinggi 30 cm di atas kanopi tanaman;

· Perendaman benih dengan larutan PGPR (20 ml Pseudomonas fluorescens / liter air) selama 6 – 12 jam;

· Aplikasi PGPR (konsentrasi 20 ml/l air) dikocorkan sekitar perakaran tanaman (21 hst) bersamaan pemupukan susulan,

· Melepaskan predator Menochilus sexmaculatus (1 ekor/10 m2) dua minggu sekali;

· Aplikasi pestisida nabati (50–100 lbr daun sirsak atau daun tembakau/5 liter air+15 gr sabun colek) atau (20 gr biji atau 50 gr daun nimba + 1 gr sabun colek/1 liter air). Ramuan ditumbuk halus, dicampur air, diamkan 1 malam, dan disaring. Selain itu dapat menggunakan ekstrak bunga pukul 4, bayam duri, sirsak dan eceng gondok, sebagai inducer.

· Sanitasi lingkungan, mengendalikan gulma berdaun lebar dari jenis babadotan, gulma bunga kancing, dan ciplukan yang dapat menjadi inang virus.

Kesimpulan

Pengelolaan OPT baru memerlukan langkah penanganan yang komprehensif. Apabila komoditas yang terserang OPT merupakan komoditas potensial ekspor, maka langkah penanganan yang sesuai standar kesehatan tumbuhan (Sanitary and Phytosanitary, SPS) sangat penting dilakukan. Apabila tidak dilakukan, maka negara mitra dagang akan melakukan assessment terhadap pengelolaan risiko yang dilakukan negara pengekspor.

Kunci keberhasilan penanganan OPT baru adalah keterpaduan strategi, kebijakan, dan operasionalnya di lapangan. Jajaran perlindungan tanaman di daerah merupakan pihak terdepan dalam memantau, menganalisis, melaporkan, mengantisipasi dan menentukan tindakan pengendalian yang perlu dilakukan.

Jakarta, Juni 2009

Siswanto Mulyaman – Fungsional Pengendali OPT Madya,

Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura

SINERGISME SISTEM PERLINDUNGAN TANAMAN, TANTANGAN DAN PELUANG PENANGANAN OPT UNTUK AKSES PASAR

Oleh : Siswanto Mulyaman – Fungsional Pengendali OPT (POPT) Madya, Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura

Perlindungan tanaman sebagai suatu sistem, sesuai Undang-undang No 12 tahun 1996 tentang Sistem Budidaya Tanaman, mengemban amanah melaksanakan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Penerapan PHT telah mengalami per-kembangan yang pesat bahkan sampai kepada penerapannya sebagai teknologi terobosan untuk memecahkan berbagai permasalahan penanganan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Penerapan PHT untuk penanganan OPT dilandasi oleh 7 prinsip dasar, yaitu : (1) sifat dinamis ekosistem pertanian, (2) adanya analisa biaya-manfaat, (3) adanya toleransi tanaman terhadap kerusakan, (4) pengelolaan populasi OPT sedikit mungkin berada di tanaman, (5) budidaya tanaan sehat, (6) pemantauan lahan, dan (7) pemasyarakatan konsepsinya (Kasumbogo, 1993). Penerapan prinsip dasar ini menuntut kemampuan sumberdaya manusia, adanya kelembagaan yang baik, tersedianya standar dan mekanisme operasional yang dinamis.
Dalam subsektor tanaman pangan, kelembagaan dan sistem perlindungan tanaman telah mampu menyumbangkan upaya peningkatan produksi, khususmya padi selama dasa warsa belakangan ini. Kegiatan pengamatan OPT (termasuk survailans, diagnosis OPT dan serangan), pemberian rekomendasi pengendalian, peramalan, pelaporan, penyediaan teknologi serta sarana/prasarana pengendalian OPT, dan terlatihnya petani, telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pengamanan produksi. Sementara, di bidang hortikultura, tantangan perlindungan tanaman, tidak hanya untuk tujuan peningkatan produksi dan konsumsi, tetapi juga diarahkan untuk peningkatan mutu yang berorientasi akses pasar internasional. Di balik tantangan ini, justru ada peluang untuk lebih meningkatkan peran perlindungan tanaman dalam memenuhi persyaratan kesehatan tumbuhan (Sanitary and Phytosanitary/SPS) yang diatur oleh organisasi perdagangan internasional (World Trade Organization/WTO). Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura sejak tahun 2000 berupaya secara serius mensosialisasikan dan menerapkan standar-standar yang berlaku dalam perdagangan internasional tersebut.

Tantangan Penanganan OPT Hortikultura untuk Akses Pasar

Organisme pengganggu tumbuhan adalah salah satu penghambat produksi dan diterimanya produk tersebut masuk ke suatu negara. Dari pengalaman selama ini, masih saja ada OPT yang belum tuntas penanganannya dan perlu kerja keras untuk mengatasinya dengan berbagai upaya dilakukan, seperti lalat buah pada berbagai produk buah dan sayuran buah, virus gemini pada cabai, nematoda sista kuning pada kentang, dan penyakit layu pisang. Belum lagi apabila dikaitkan dengan keberadaannya atau terbawa pada produk yang akan diekspor dan dianalis potensial masuk, menyebar dan menetap di suatu wilayah negara, akan menjadi hambatan yang berarti dalam perdagangan internasional.

Hambatan perdagangan dengan Korea selatan
Salah satu contoh untuk akses produk buah mangga ke Korea Selatan pada tahun 2002 adalah hambatan adanya beberapa OPTK yang mereka mintakan informasinya berdasarkan analisis risiko yang mereka dilakukan, yaitu :
· Permintaan informasi biologi terkait bagian tanaman yang terserang, ekobiologi, tingkat kerusakan, dan status patogen (Crossopora kemangae, Hendersonia mangiferae, Physalospora persea, Zimmermaniella trispora).
· Konfirmasi penyebaran 10 jenis OPT lainnya (Asterina punctiformis, Dothiorella aromatica, D. dominic, D. mangiferae, Elsinoe mangiferae, Hendersonula toruloidea, Mucor circinelloides, Oidium/Pytium mangiferae, Phytophthora heveae.

Prosedur yang diterapkan oleh Korea Selatan dalam penilaian risiko OPT terhadap setiap akses pasar produk buah-buahan yang diekspor ke Korea, termasuk buah mangga dari Indonesia, harus dilakukan melalui tahapan-tahapan analsis risiko OPTyang mereka persyaratkan dalam prosedur :
a. IRA (Import Risk Analysis), khususnya terkait dengan penyediaan informasi tentang jenis produk/komoditi, OPT, gejala, prevalensi OPT di daerah PRA (negara pengekspor produk),
b. Kategorisasi OPT (Preliminary IRA) : Pest List yang dihasilkan oleh negara pengekspor sesuai persyaratan, kategorisasi dan determinasi OPT untuk penilaian risiko OPT,
c. Penilaian risiko OPT terkait risiko introduksi, menetap dan menyebar dan dampak ekonomi, penilaian tingkat risiko untuk mengurangi risiko introduksi, dan komentar/ pernyataan umum tentang OPT,
d. Pengelolaan risiko OPT yang mereka persyaratkan menyangkut opsi pengelolaan OPT melalui penilaian oleh penentu kebijakan perkarantinaan (tumbuhan) dalam organisasi NPQS (National Plant Quarantine Service), konsultasi yang dilakukan dengan negara pengekspor tentang opsi pengelolaan, dan komentar umum yang diperlukan,
e. Konsep/draft ketentuan karantina import yang harus dipenuhi,
f. Penyampaian ketentuan/aturan karantina impor,
g. Notifikasi/pernyataan dan pelaksanaan ekpor produk.

Pest List yang disediakan oleh Indonesia tersebut baru memenuhi 3 tahap awal untuk terpenuhinya syarat akses pasar ke Korea Selatan.

Kasus Hambatan Akses Pasar Ekspor Produk Buah-buahan ke Cina. Serangkaian komunikasi pembukaan akses pasar ekspor produk buah-buahan ke Cina mulai dilakukan pada akhir tahun 2006 lalu. Pemerintah Indonesia menawarkan 12 (dua belas) jenis komoditas buah tropis ke Cina (mangga, salak, alpokat, belimbing, rambutan, nenas, jambu biji, durian, papaya, duku, semangka, dan melon). Pemerintah Cina melalui Deputi Direktur Animal Plant Qurantine Department, Administration of Quality Supervision, Inspection and Quarantine/AQSIQ, telah memberikan informasi tentang persyaratan akses produk ekspor buah-buahan Indonesia ke Cina, menyangkut : (1) isian IRA tentang informasi tanaman dan produk tanaman yang akan diekspor (dengan 7 butir isian), dan (2) informasi OPT dan pengelolaannya (dengan 9 butir informasi yang diperlukan), salah satunya adalah daftar OPT/Pest List, haruslah dihasilkan melalui survailans sesuai standar ISPM No. 6. Belum lagi persyaratan lain terkait dengan status bebas OPT yang dipersyaratkan oleh negara pengimpor, haruslah dibangun sesuai standar ISPM yang berlaku.
Kasus Hambatan Akses Pasar Ekspor Produk Buah-buahan ke Australia
Australia adalah negara yang sangat memproteksi masuknya produk dari negara lain, kecuali dengan memenuhi persyaratan standar SPS yang mereka terapkan. Pada tahun 2007, Indonesia telah menawarkan produk manggis kepada mereka dan memenuhi Draft Protocol Export (DPE) yang mereka persyaratkan. Namun sampai saat ini, tanggapan atas tawaran Indonesia ini belum direspon dengan baik, dengan dalih bahwa belum adanya jaminan mutu produk dan belum tersertifikasikan kebun buah secara baik.
Hal-hal tersebut membuktikan bahwa upaya merespon hambatan ekspor oleh suatu negara terkait keberadaan OPT, harus dipersiapkan dan dilakukan serangkaian kegiatan yang mengarah kepada upaya pemenuhan standar-standar perdagangan yang dipersyaratkan.

Peluang Akses Pasar Internasional
Pada tahap awal untuk menangkap peluang akses pasar adalah melakukan analisis peluang ekspor. Analisis peluang ekspor dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan menyangkut kebutuhan negara pengimpor, terutama terkait dengan : (1) ada tidaknya isu perdagangan dari negara pengimpor yang membatasi peluang ekspor, isu/hambatan karantina, dan isu logistik dari negara pengimpor, (2) analisis permintaan penawaran pasar terutama tekait dengan negara kompetitor, periode permintaan, segmen pasar, volume/ukuran potensial pasar, nilai potensial keuntungan ekonomi dan keuntungan kompetitifnya, (3) persyaratan karantina terkait daftar OPT, perlakuan karantina, analisis dan manajemen risiko OPT, penelitian dan pengembangan perlakuan produk, dsb., (4) analisis kapasitas produksi, lokasi, jumlah, varietas, musim dan penelitian yang dilakukan, (5) analisis peredaran dan logistik terutama terkait dengan aktivitas eksporter, fasilitas pembiayaan dan pelayanan rantai pasokan produk (SCM), kemampuan sistem transportasi, dan penelitian yang dilaksnakan.
Bagaimana melakukan tahapan akses pasar ekspor. Hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam mengakses pasar ekspor adalah memahami ada tidaknya hambatan karantina dan penerapan jaminan keamanan pangan oleh negara tujuan ekspor, serta kemampuan pengelolaan rantai pasokan produk (SCM) secara baik, mulai di tingkat produksi di lahan usahatani, penanganan pasca panen, dan manajemen pengangkutan/ transportasinya saat ekspor dilakukan.
Sementara itu, bagi pelaku eksporter sebagai satu mata rantai pasokan produk, diperlukan dukungan teknis terkait dengan sistem perancangan produk yang bermutu (designing handling system), tersedianya panduan pengelolaan mutu produk, penerapan sistem pengeloaan suhu/temperatur yang baik, dan identifikasi pengembangan serta penelitian yang dapat mengatasi berbagai hambatan yang mungkin timbul selama proses pengaliran produknya.
Pangsa pasar ekspor produk hortikultura khususnya buah-buahan telah terbuka, bahkan telah memperoleh tanggapan yang baik dari negara-negara pengimpornya, antara lain Korea Selatan, China dan Jepang. Negara-negara pengimpor tersebut mempersyaratkan dipenuhinya standar SPS atas risiko masuknya OPT ke wilayah negara mereka. Hal ini sesungguhnya membuka peluang pasar yang baik, apabila Indonesia sebagai negara pengekspor dapat membuktikan secara scientific/ilmiah bahwa produk yang diekspor tidak membawa OPT/K dan dikelola/diatasi secara baik serta mampu menganalisis peluang ekspor seperti diuraikan di atas.
Sinergisme Sistem Perlindungan Tanaman
Pengembangan hortikultura dalam perspektif paradigma baru tidak hanya terfokus pada upaya peningkatan produksi komoditas saja tetapi terkait juga dengan isu-isu strategis dalam pembangunan yang lebih luas lagi. Pengembangan hortikultura merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya: 1) pelestarian lingkungan, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan, 2) menarik investasi skala menengah kecil dengan luasan usaha 1 – 5 Ha dan investasi Rp 1 – 25 milyar di pedesaan, 3) pengendalian inflasi stabilisasi harga komoditas strategis (cabe merah dan bawang), 4) pelestarian dan pengembangan identitas nasional (anggrek, jamu, dll), 5) peningkatan ketahanan pangan melalui penyediaan karbohidrat alternatif, dan 6) menunjang pengembangan sektor parawisata.
Berbagai kendala dan permasalahan yang terkait dalam upaya meningkatkan produksi, mutu dan daya saing produk hortikultura tersebut perlu disikapi dengan pendekatan pengembangan hortikultura secara terpadu dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yang dikenal dengan 6 (enam) pilar pengembangan hortikultura, yang merupakan fokus kegiatan prioritas dalam mengembangkan hortikultura yang dilaksanakan secara simultan dan terintegrasi antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten dalam memfasilitasi dan mempermudah akses swasta/pengusaha dalam mengembangkan hortikultura. Ke 6 (enam) pilar kegiatan pengembangan hortikultura tersebut adalah:
1. Pengembangan Kawasan Agribisnis Hortikultura,
2. Penataan Manajemen Rantai Pasokan (supply chain management),
3. Penerapan Budidaya Pertanian yang Baik (Good Agricultural Practices/GAP) dan Standard Operating Procedure (SOP),
4. Fasilitasi Terpadu Investasi Hortikultura,
5. Pengembangan Kelembagaan Usaha,
6. Peningkatan Konsumsi dan akselerasi ekspor.
Ke semua program tersebut di atas menjadi satu kesatuan yang saling terkait dan tergantung sehingga tidak dapat di pisah – pisahkan.
Dukungan sistem perlindungan tanaman dalam penerapan enam pilar pengembangan agribisnis hortikultura diarahkan kepada upaya pencapaian sasaran : (1) pengamanan produksi, (2) pengembangan sistem jaminan mutu produk termasuk residu pestisida, dan (3) pengembangan akses pasar ekspor. Pencapaian sasaran tersebut ditopang oleh kebijakan dan sistem prosedur kerja, kelembagaan institusi perlindungan tanaman, dan pelaksanaan kegiatan perlindungan tanaman yang mantap di bidang pengamatan/peramalan OPT, penerapan teknologi PHT dan ramah lingkungan, dan pemberdayaan pelaku perlindungan tanaman.

Dengan keberlakuan ketentuan SPS-WTO, menuntut tersedianya produk-produk hortikultura yang memenuhi standar keselamatan dan kesehatan manusia dan kesehatan tumbuhan / SPS. Permasalahannya adalah, sistem perlindungan tanaman hortikultura yang ada saat ini belum mampu memenuhi persyaratan standar-standar SPS-WTO tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya sinergisme sistem perlindungan tanaman yang ada dengan pemenuhan persyaratan SPS-WTO. Tanpa mengubah struktur organisasi perlindungan tanaman yang ada, kegiatan-kegiatan yang sudah berlangsung perlu disesuaikan untuk tujuan pemenuhan persyaratan perdagangan, sekaligus sebagai upaya untuk mendukung akselerasi ekspor produk hortikultura. Dengan demikian pemenuhan persyaratan SPS-WTO menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem perlindungan tanaman hortikultura yang ada.
Tujuan sinergisme sistem perlindungan tanaman ini adalah :
· Mengembangkan sinergisme sistem perlindungan tanaman hortikultura dengan pemenuhan persyaratan SPS-WTO
· Mendukung penyediaan produk hortikultura yng memenuhi standar SPS-WTO untuk ekspor.

Di tingkat Pusat, termasuk instalasi peramalan OPT, mempunyai tugas dan fungsi dalam menyediakan norma, standard teknis dan prosedur yang diperlukan untuk pelaksana kegiatan perlindungan tanaman (pengamatan dan peramalan OPT) oleh jajaran perlindungan di tingkat provinsi sampai kelompok tani. Semua software tersebut diarahkan dalam upaya peningkatan produksi.
Sementara itu, dalam memenuhi tuntutan dan akses pasar global/internasional, sistem perlindungan tanaman, khususnya subsektor hortikultura dituntut lebih jauh dalam pemenuhan standar SPS-WTO, apabila produk yang dihasilkan ingin berkiprah di pasar internasional. Dalam upaya pemenuhan persyaratan SPS-WTO, sistem perlindungan tanaman yang perlu dikembangkan adalah upaya-upaya mensinergikan kegiatan yang ada ke dalam sistem yang memenuhi standar yang dipersyaratkan SPS-WTO, yaitu International Standard on Sanitary and Phytosanitary Measures (ISPM). Sinergisme sistem ini pada prinsipnya tidak mengubah struktur pengembangan system yang ada, tetapi lebih ditingkatkan untuk hal-hal yang berorientasi pemenuhan standar internasional tersebut.

Bagaimana dan apa yang harus disinergikan
Kegiatan pemenuhan standar SPS-WTO terutama berbasis pada Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman (LPHPT). Pada tahun 2009 direncanakan kegiatan sinergisme sistem perlindungan tanaman dalam pemenuhan persyaratan SPS-WTO. Sebagai tahap awal diprioritaskan di 18 Laboratorium PHP di 12 provinsi daerah produksi yang produknya potensial ekspor (14 komoditas: mangga, manggis, alpukat, salak, durian, nenas, buah naga, pepaya, paprika, sayuran daun, anggrek, palm Raphis, rimpang, dan temu lawak).
Sesuai dengan kewenangan masing-masing, di tingkat pusat, kegiatan yang dilakukan adalah dalam penyediaan pedoman dan sosialisasi kerangka tercapainya kesamaan persepsi penerapan sistem yang memenuhi persyaratan SPS-WTO, seperti matriks berikut :

Output
1
Penyusunan pedoman-pedoman
· Tersedianya pedoman-pedoman
2
Sosialisasi kegiatan kepada petugas teknis
· Tercapainya kesamaan persepsi dalam penerapan sinergi sistem perlindungan tanaman yang memenuhi ketentuan SPS-WTO bagi stakeholder dan jajaran perlindungan tanaman di 11 provinsi sumber ekspor 14 produk hortikultura.
3
Workshop Nasional tentang pemenuhan persyaratan SPS-WTO kepada petugas teknis daerah
· Terbinanya petugas perlindungan tanaman di 11 provinsi ekspor untuk 14 komoditas hortikultura

Sementara itu, di tingkat daerah provinsi yang berbasis wilayah Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP), kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada pemenuhan standar SPS harus dirancang dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah surveilans, identifikasi, koleksi, pelaporan dan dokumentasi, penyusunan risk management, serta rintisan area prevalensi rendah OPT (Area Low of Pest Prevalence/ALPP). Kegiatan ini dilaksanakan dengan memenuhi standar ISPM yang dipersyaratkan. Kegiatan sinergisme sistem di daerah seperti matrik di bawah ini.

Output
1
Workshop-workshop di LPHP untuk :
· Survailans dan koleksi OPT
· Identifikasi OPT
· Penyusunan Pest List
· Pelaporan dan dokumentasi OPT
· Risk management
· Tersusunnya Pest List untuk 14 komoditas potensial ekspor di 11 provin

2
Pelaksanaan Lapang :
· Survailans, koleksi, identifikasi, penyusunan Pest List, pelaporan OPT, dan penyusunan Risk Management
· Tersusunnya Pest List untuk 14 komoditas potensial ekspor di 11 provinsi
· Tersedianya specimen koleksi sebagai referens
· Dilaporkannya status dan cara pengelolaan OPT sesuai standar internasional.
6
Rintisan Area Prevalensi OPT Rendah (Area Low of Pest Prevalence / ALPP).
· Terbangunnya Area Prevalensi OPT Rendah di 3 provinsi untuk 3 komoditas potensial ekspor (mangga, salak, paprika)

Dalam perdagangan internasional, SPS dapat merupakan suatu hambatan non tariff untuk ekspor produk Pertanian. Produk pertanian suatu negara dapat ditolak memasuki negara lain apabila produk pertanian tersebut mengandung organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang berdasarkan alasan ilmiah diketahui apabila masuk dan berkembang di negara pengimpor dapat merusak kesehatan manusia atau tanaman. Untuk itu International Plant Protection Convention (IPPC) mempersyaratkan agar setiap negara anggota WTO menyusun, menyediakan, dan memperbarui secara berkala daftar OPT (pest list) untuk masing-masing jenis komoditas yang diekspor. Pest list tersebut disusun berdasarkan hasil surveilans sesuai standar internasional (International Standard for Phytosanitary Measures) ISPM No.6, yang didukung oleh adanya bukti specimen atau voucher specimen. Survailans adalah suatu proses resmi untuk mengumpulkan dan mencatat data tentang terjadinya OPT (pest occurrence) dan/atau ada/tidaknya OPT melalui survey, pemantauan atau prosedur lain (ISPM No.5).
Pest list dapat digunakan untuk pengelolaan tanaman yang mendasarkan pada informasi OPT pada tanaman atau pada suatu lokasi. Selain itu, pest list juga digunakan dalam analisis risiko OPT yang merupakan bagian dari alat negosiasi untuk akses pasar international (ISPM 11). Mitra dagang akan meminta bukti pest list yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan karena industri Pertanian di negaranya mempunyai risiko masuknya OPT eksotik. Catatan OPT dalam pest list biasanya akan menjadi bukti dan faktor penentu apakah akses pasar bias diberikan atau tidak. Catatan OPT mempunyai kumpulan informasi dasar yang harus ada. Informasi tersebut ada di ISPM 8 (metode pengumpulan specimen, koleksi, labelisasi specimen).

Sementara itu, pengambangan Daerah/Area Prevalensi Rendah OPT (Area Low of Pest Prevalence/ALPP) merupakan kegiatan dapat paling mungkin dikembangkan untuk meningkatkan daya saing produk dari pemenuhan persyaratan teknis si bidang pengelolaan OPT di suatu kawasan. ALPP adalah suatu area yang diidentifikasi melalui kegiatan surveilan yang efektif, tindakan pengendalian atau eradikasi yang dinyatakan bahwa keberadaan suatu OPT (contohnya lalat buah) pada tingkat tertentu. Pengembangan daerah / area semacam ini pada dasarnya adalah pengelolaan OPT yang dilakukan dalam rangka mempertahankan atau mengurangi populasi pada tingkat tertentu atau di bawah tingkat tertentu di suatu area dalam rangka memfasilitasi ekspor. Dalam menetapkan daerah/area ini, Organisasi Proteksi Tanaman Nasional atau National Plant Protecion organization (NPPO) harus menjelaskan area yang terkait. Apabila suatu daerah/area semacam ini dikembangkan, maka harus dipertahankan dengan berbagai langkah yang berkelanjutan sehingga memerlukan prosedur dan dokumentasi yang baik. Apabila terjadi perubahan status ALPP, maka diperlukan tindakan korektif.
Kegiatan sinergisme sistem perlindungan tanaman ini pada dasarnya adalah kegiatan dasar tingkat LPHP yang saat ini cenderung berkurang, akibat orientasi berlebihan kepada kegiatan eksplorasi dan penerapan pengendalian hayati. Upaya sinergisme sistem ini pada dasarnya adalah revitalisasi LPHP dalam sistem yang berorientasi pada perdagangan global.
Dengan pengembangan system perlindungan tanaman dalam pemenuhan persyaratan SPS-WTO tersebut, tidak berarti kegiatan lain yang selama ini dilaksanakan diabaikan, namun perlu tetap dan tidak boleh dilupakan untuk ditingkatkan dalam kerangka pengamanan produksi.

Tindak Lanjut dan Penutup
Akhirnya, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengecilkan arti dan peran penting institusi dan kelembagaan perlindungan tanaman yang selama ini telah bekerja keras dalam mengawal upaya peningkatan produksi dalam kerangka ketahanan pangan, tetapi merupakan refleksi dalam menghadapi tantangan dan menangkap peluang pemenuhan persyaratan SPS-WTO. Jajaran institusi Direktorat Perlindungan Tanaman (pangan, hortikultura, perkebunan), harus sadar bahwa mau tidak mau suka atau tidak suka, persyaratan perdagangan internasional, harus menjadi pijakan dalam pengelolaan OPT dan merosponnya melalui upaya sinergisme sistem perlindungan tanaman, melalui peningkatan kemamuan SDM, penguatan kelembagaan di bidang pengamatan, termasuk survailans, identifikasi, dan koleksi OPT, daftar dan status OPT, dan pengelolaan risiko OPT, serta apabila memungkinkan adalah upaya pengembangan daerah bebas OPT (Pest Free Area/PFA), tempat produksi bebas OPT (Pest Free Production Site/PFPS) dan area prevalensi rendah OPT (Area Low of Pest Prevalence/ALPP).

Harapan penulis adalah akan timbul upaya-upaya yang lebih kuat dari jajaran perlindungan tanaman di daerah untuk mengimplementasikan sinergisme sistem dan kegiatan perlindungan tanaman dalam pemenuhan persyaratan SPS-WTO. Kegiatan-kegiatan lain yang selama ini dilaksanakan, seperti pengamatan OPT, penggalian teknologi pengendalian yang ramah lingkungan, pemberdayaan petani melalui pola SLPHT, dan pengembangan gerakan pengendalian, perlu terus dikembangkan.

Jakarta, Juli 2008
Siswanto Mulyaman, Fungsional Pengendali OPT Madya